Keping 1: Moonflower
"She was a ray of sunshine, a warm summer rain, a bright fire on a cold winter's day, and now she could be dead because she had tried to save the man she loved."
― Grace Willows
Sejumlah gobo yang terpencar di langit-langit menembakkan sorot cahaya dengan motif dan warna yang berbeda-beda di atas lantai panggung. Bergerak berkejaran ke sana kemari melintasi kaki seorang penyanyi solo wanita terpopuler saat ini beserta para penari latarnya. Kemudian redup. Moonflower mulai bermunculan satu persatu. Warnanya kuning, hijau, merah, biru, ungu. Mereka menyatu, lalu menyebar, lalu berlarian membentuk gerakan ombak. Gobo-gobo dihidupkan lagi, lampu sorot, lampu panel hingga centerpiece dihidupkan diiringi ritme musik yang kian cepat, kian menguatkan degup jantung. Para musisi berkumpul di atas panggung, bersahut-sahutan dalam nyanyian yang merdu, semarak. Puncaknya, ketika nada tinggi terakhir dilengkingkan, drum ditabuh semakin cepat, dan permainan efek cahaya seakan meledak, semuanya kemudian padam. Tiba-tiba saja. Kembang api elektrik menyembur dari bagian depan panggung, membuat para penonton riuh gelak dalam gemerlap suasana itu.
Euforia itu masih belum berakhir bahkan ketika pertunjukan telah resmi dibubarkan. Panggung sudah tidak lagi diberi sentuhan permainan cahaya, musik megah, dan penyanyi kelas atas. Penonton pun sudah mulai pulang satu persatu, tetapi suasana masih begitu hidup. Kenalan, rekan bisnis, para penanggung jawab acara. Semua orang berpesta malam ini.
Denting-denting gelas. Sendok dan garpu beradu dengan piring porcelain. Lalu suara obrolan dan tawa. Dan lebih banyak lagi tawa. Jagad ikut larut dalam kemeriahan malam itu. Dengan segelas wine di tangan, ia tertawa, mengobrol singkat pada siapa pun yang mendekat padanya dan mengucapkan selamat.
"Selamat atas kesuksesan acaranya!" ujar mereka, rata-rata pria-pria setengah baya dengan setelan jas Dormeuil atau Kiton, seraya menepuk punggung pria 30 tahun itu sekali atau dua.
"Selamat, Jagad! Selamat! Selamat! Hebat kamu."
"Masih muda sudah sesukses ini, ya. Hebat sekali!"
Jagad tersenyum simpul lagi, berusaha agar hidungnya tidak mengembang atas pujian-pujian yang dialamatkan padanya. Ia bangga, hal itu jelas terpancar. Dan rasa-rasanya ia tidak bisa membusungkan dada lebih lagi malam ini.
Acaranya berjalan lancar. Sebuah acara grand award yang diadakan oleh stasiun TV miliknya untuk kali kedua. Beberapa bintang besar, dalam negeri maupun internasional tengah berkolaborasi sekarang di atas panggung yang megah sebagai penutup acara malam itu. Confetti bertaburan seperti hujan menambah sukacita yang dirasakan semua orang. Jagad senang kerja kerasnya terbayar sudah. Usahanya merintis bisnis, jatuh bangun di bidang yang sudah ia geluti sejak lima tahun ini telah menunjukkan bunganya.
"Terimakasih, Mr. Hendra, Mr. Collins," ia memberikan anggukan pada pria yang menghampirinya barusan dan pria lain di sampingnya, yang juga Jagad kenal melalui beberapa kerja sama, seorang CEO dari sebuah perusahaan elektronik dunia, Mr. Collins.
Matanya mengedar ke salah satu sudut aula, pada tim orkestra yang sekarang menyajikan musik mendayu mengiringi acara makan-makan setiap tamu. Ia sedang memikirkan sesuatu untuk membuat obrolannya dengan kedua tamu penting itu selesai begitu saja. Dan sepertinya, Mr. Hendra berpikiran sama. Namun, ketika pria plontos itu membuka mulutnya, bersiap melontarkan bentuk pujian berbeda, ponsel Jagad bergetar dan ia secara otomatis menariknya keluar dari saku.
Ayla.
Ada dua pesan dari wanita itu.
Kamu ingin makan pasta atau tumis daging malam ini? Sebenarnya udah masak daging, tapi kalau-kalau kamu pengennya pasta?
Itu adalah pesan pertama. Terkirim sekitar empat jam yang lalu. Lama, sangat lama. Mata Jagad kemudian beranjak pada pesan kedua yang baru diterimanya.
Maaf aku lupa soal grand award malam ini. Kamu pulang kapan? Mau pulang nyetir sendiri atau dijemput pake taksi aja? Sudah larut soalnya.
Dengan cepat, Jagad mengetik balasannya.
Maaf saya lupa bilang. Saya pulang sendiri dan sudah bawa kunci rumah. Jangan ditunggu.
"Istrimu, ya?"
Teguran itu membuat Jagad buru-buru menyimpan kembali ponselnya. Ia tersenyum dan mengangguk pada Mr. Hendra. Pria itu, ah, agak terlalu ramah─dan suka mencampuri urusan pribadi dalam berbasa-basi.
"Iya. Dia nanya bagaimana saya pulang."
"Perhatian sekali, ya. Istrimu itu kenapa nggak datang ke sini juga, sih? Kan perayaan besar."
Karena Jagad tidak mengundangnya. Tapi tentu, bukan itu yang patut ia katakan. Jagad mengembangkan senyum secukupnya, memberikan sedikit sentuhan malu di sana. "Kalau saya bawa, nanti banyak yang mau ngambil," selorohnya.
Mr. Hendra menyemburkan tawa.
"Tepat sekali!" ujarnya dengan logat Bataknya yang kental, masih terkekeh-kekeh. "Kau itu beruntung sekali, sudah sukses, terus dapat istri cantik, baik, perhatian pula. Aku pernah melihat dia beberapa kali waktu sama ayahnya, Radianur. Kalau saja aku punya anak laki-laki, Jagad, kupastikan bukan kamu menantu Pak Radianur saat ini."
Jagad tahu Mr. Hendra saat ini hanya setengah bercanda, dan sisanya berbasa-basi. Tapi perkataan itu menusuk. Membuat moodnya jatuh. Merasa bersalah.
"Wanita itu sempurna. Sialan, kalian adalah pasangan yang sempurna."
Sempurna. Mendadak suara-suara lain di sekitarnya terasa seperti dikedapkan. Hanya kata itu yang diulang-ulang seperti gaung. Sempurna. Sempurna. Mendadak, Jagad merasa gamang. Ia tersenyum singkat dan tidak dapat memaksakan otaknya untuk memberikan jawaban yang lebih berarti. Karena itu tidak benar. Tidak sama sekali.
Pelan-pelan menjauh dari keramaian, masih dengan gelas wine yang belum tersentuh di tangan kanan, Jagad mendudukkan diri di salah satu kursi paling ujung. Di sudut gelap di mana orang lain tidak akan menyadari keberadaannya.
Pikirannya beranjak dari pesta itu.
Jika kerabat, rekan bisnis, teman-teman, dan semua orang mengatakan bahwa pernikahan mereka adalah pernikahan yang sempurna, dengan suami yang tampan dan istri yang cantik juga cekatan, well, mereka salah besar. Jika mereka berpikir pernikahan ini adalah dongeng modern, pernikahan impian, di mana Cinderella bersatu dengan pangerannya atau segala omong kosong itu, Jagad berpikir sebaliknya. Pernikahan mereka dibangun oleh segalanya kecuali satu hal, cinta. Yeah, seberapa payah pun kedengarannya, Jagad percaya bahwa itu adalah hal dasar yang diperlukan dalam sebuah hubungan, dalam sebuah pernikahan. Cinta. Namun, di sinilah ia, terjebak dalam kekacauan. Baginya, pernikahannya sendiri adalah sebuah kesalahan.
Dia tidak cukup mengenal seorang Rahayla binti H. Radianur saat mereka bersanding disaksikan puluhan kerabat dan ratusan tamu. Dia masih belum cukup mengenal wanita itu ketika ia mengucapkan ikrar pernikahannya dengan tangan yang berjabat erat dengan penghulu. Ia tidak tahu apa-apa tentang wanita itu ketika mereka bertukar cincin. Namun, pada akhirnya, ia tahu ia harus merelakan idealisme dan cinta pertamanya sejak saat itu. Dengan lembut, Jagad kemudian meraih wajah wanita itu dan mengecup keningnya untuk pertama kali.
Semuanya adalah kesalahan. Jagad tahu ia tidak bisa menyalahkan Ayla. Ia menyalahkan keluarganya dan semua situasi yang berkomplot menjebloskan mereka ke titik ini. Berawal dari penipuan yang dilakukan pamannya sendiri, kebangkrutan dan krisis yang menampar bisnis keluarganya. Jagad, dengan segala usaha dan susah payahnya merintis kembali apa yang telah hancur, membangun kembali bisnis itu dari bawah, dari puing-puing yang tersisa sedikit demi sedikit. Namun,, itu tidak cukup. Mungkin tidak akan pernah cukup. Hingga suatu hari ia menemukan seorang pria pendek dan berisi, dengan rambut hitam tipis dan wajah yang terkesan ramah duduk di kantor ayahnya sambil berbincang ringan seolah mereka adalah teman lama. Dan dia menemukan hal itu adalah benar adanya.
"Jagad, ini Om Anur, sekarang sukses sebagai pengusaha tambang di Kalimantan."
"Julak Anur saja," pria itu tertawa. "Kamu sudah besar sekarang ya, Jagad. Ganteng, pula," tambahnya dengan akrab seraya menepuk-nepuk punggung bawah Jagad yang bisa ia capai dengan natural. "Julak masih ingat waktu kamu datang ke Banjar dulu, kamu masih kecil, masih kurus."
Jagad hanya tersenyum, cukup lebar untuk menutupi kerutan di keningnya dan fakta bahwa ia tidak mengingat pria pendek berisi ini sama sekali. Dia begitu acuh ketika remaja dulu, dan masih sama hingga sekarang.
"Ayla dulu senang sekali main sama kamu, kalian dulu suka naik ke atas bukit, ingat, kan? Waktu kamu pulang dia sampai nangis dan mogok makan," pria itu terkekeh dan Jagad mengikutinya dengan canggung. Karena, siapa lagi Ayla?!
"Jagad, kamu ingat Ayla, kan?" Ayah Jagad kali ini ikut menyela, senyum simpul bertukar di antara mereka membuat Jagad merasa ada yang dua orang itu rahasiakan. Ia tidak perlu menunggu lama, karena sebelum ia bahkan dapat membuka mulut untuk bertanya, ayahnya mendahului bicara. "Kamu dan Ayla akan segera menikah."
Pertemuan pertama mereka berlangsung kurang dari dua minggu kemudian. Dimana, Jagad harus mengosongkan jadwal dan memesan penerbangan paling pagi untuk penerbangan langsung ke Syamsudin Noor, Banjarmasin. Sampai di situ, ia juga masih harus naik taksi menuju tempat yang wanita itu pilih, sebuah kafe di bagian luar kota. Perjalanan yang melelahkan. Dan ia harus menyumpah karenanya.
Seandainya berada di situasi berbeda, mustahil Jagad akan menampakkan diri. Tapi ia mengingat ayahnya, mengingat riwayat kesehatan pria itu yang tidak pernah begitu baik setelah kepergian sang istri, mengingat bisnis pria itu yang berjarak hanya beberapa inci dari kebangkrutan. Dan beban besar bergelantungan di pundak Jagad. Beban yang hanya wanita itu yang mampu mengangkatnya. Ayla.
Waktu itu masih pagi, matahari cukup panas menembus salah satu sisi kafe. Jagad mendorong pintu dengan napas yang sedikit terengah, rambut yang agak melenceng dari seharusnya, dan pakaian yang tidak serapi saat ia meninggalkan rumah. Selain denting dua lonceng kecil yang tergantung di pintu, Jagad menemukan kafe itu sepi. Hanya ada seorang penjaga kasir, dan seorang gadis yang duduk di bagian tepat matahari menyiraminya. Dia memakai sweater wol putih yang tampak kebesaran di badannya yang mungil. Rambutnya berwarna hitam, berkumpul dalam satu kepangan longgar yang jatuh di pundak, dengan cahaya matahari yang berderai seperti moonflower keemasan, yang seolah membentuk halo di atas kepalanya. Dia tampak menyilaukan. Tampak tidak nyata. Tampak seperti... malaikat.
Dan ketika ia menoleh, dengan sepasang bening mata yang mengingatkan Jagad pada hujan pagi hari, semburat di pipi dan bibir tipis membentuk senyum yang mengalahkan teriknya matahari pagi itu, jantung Jagad melewatkan satu detakan.
Dia benar-benar seperti malaikat.
"M-maaf terlambat," Jagad sedikit terbata, tidak yakin apa yang harus dikatakan. Ia menghampiri gadis itu, duduk di hadapannya dan melarikan jemarinya di bagian belakang kepala dalam upayanya mencari topik apapun agar tidak membuat suasana lebih canggung dari ini. Kemampuan sosialnya benar-benar payah.
Dilihat dari dekat, gadis itu nyaris tak bercela. Dan Jagad bertanya-tanya kenapa. Orang bilang kecantikan itu relatif, tapi gadis ini, seharusnya semua orang akan setuju untuk mengakui bahwa dia cantik. Manis ketika menyungging senyum. Memiliki tubuh yang tidak cukup tinggi namun ideal. Anak tunggal dari seorang pengusaha tambang besar. Jagad tidak akan pernah meragukan kekayaan yang dimilikinya. Dan tidak hanya itu, senyumnya begitu ramah dan matanya bersinar cerdas. Lalu kenapa? Kenapa Jagad? Dengan wajah dan kekayaan, dan intelektual seperti itu, pria mana saja akan mengantri untuk bisa mendapatkannya. Lalu apa alasan mereka memilih Jagad, di antara semua orang, untuk menikahinya dan membujuknya sekeras itu?
Lalu, Jagad mendapatkan jawabannya satu detik kemudian. Ketika gadis itu mengangkat tangannya, masih dengan senyum dan tanpa suara, jari-jemari yang lentik menari di udara. Jagad tidak tahu apa yang gadis itu sedang coba sampaikan, tapi ia memahami satu hal...
Gadis itu bisu.
***
[1] Gobo : Lampu sorot yang dipasangkan plat metal motif tertentu di depan lensanya sehingga menghasilkan motif/gambar yang menarik
[2] Moonflower : Efek cahaya warna-warni yang bergerak membentuk pola tertentu.
[3] Julak : Sebutan untuk paman yang lebih tua dari ayah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro