Bab 5
Hujan deras di luar, tapi yang dingin dan basah adalah hati Diandra. Guruh dan guntur menggelegar tidak membuatnya takut, tapi kata-kata dan penjelasan yang meluncur dari bibir Tommy membuatnya merinding. Jika tidak terhalang hujan, ingin rasanya berlari keluar dan menutup telinga. Bayi dalam selimut mulai menggeliat dan akhirnya menangis. Diandra masih belum beranjak dari tempatnya berdiri di dekat wastafel. Menatap pada suaminya yang berusaha mendiamkan bayi itu. Tommy terlihat sangat kesulitan dan Diandra mendiamkannya.
"Bayi ini nggak ada salah, Diandra. Memang aku saja yang bajingan. Punya pacar saat sudah menikah sama kamu. Tapi, kamu harus tahu saat kita menikah aku dan Reena sedang renggang. Dia menjauhiku dan siapa sangka ternyata dia hamil. Bayi ini lahir satu Minggu yang lalu, dan kini Reena pergi entah kemana. Diandra, tolonglah aku."
Sedang renggang dengan kekasih, bukannya memperbaiki hubungan tapi memilih untuk menikah. Di saat mereka sudah resmi menjadi suami istri, Tommy seenaknya saja kembali tidur dengan kekasihnya. Di saat ada bayi lahir, si ibu memilih untuk pergi. Meninggalkan bayi merah itu dan Tommy. Bukankah itu pembalasan yang setimpal untuk pengkhinatan?
Diandra tahu kalau tidak ada cinta di antara mereka. Ia mengerti kalau Tommy terpaksa menikah dengannya. Ada jurang yang menganga dalam hubungan pernikahan mereka, tapi tidak menyangka kalau Tommy menggali lubang lebih dalam dan kini ingin memasukkannya ke sana. Padahal sebagai perempuan dan seorang istri, ia punya keinginan sendiri. Selama menikah dan hidup dalam penderitaan, ia selalu menyimpan sendiri keluh kesah, terlebih menghadapi keluarga Tommy yang begitu sulit dan kejam. Tommy boleh memperlakukannya dengan dingin, ia masih punya harapan kalau suatu saat hati suaminya akan melembut. Tapi tidak dengan pengkhinatan.
"Diandra, kenapa kamu diam saja? Apakah kamu ingin aku berlutut dan memohon padamu?"
Sama sekali tidak ada penyesalan dari ucapan yang terlontar oleh Tommy. Diandra justru hanya melihat sosok laki-laki dan seorang ayah yang sedang panik. Tommy bersedia melakukan apa pun, bila perlu berpura-pura menyesal agar bayi itu diam.
Kenapa harus dirinya yang menolong bayi itu? Kenapa harus dibawa kemari? Bukankah seharusnya perempuan yang melahirkan bayi itu punya keluarga? Kenapa Tommy memintanya untuk merawat? Beribu pertanyaan 'kenapa' terus menggema di pikiran Diandra, tanpa ia tahu apa jawabannya.
"Nggak perlu memohon, Tommy. Kita berdua tahu betapa palsunya permohonanmu."
Perkataan Diandra yang diucapkan setelah sekian lama terdiam, mengejutkan Tommy. Tidak ada panggilan hormat ataupun sayang dalam ucapan itu, seperi yang biasa Diandra lakukan. Justru terdengar sangat dingin dan berselimutkan kekecewaan. Tommy meneguk ludah.
"Ka-kalau begitu, aku harus bagaimana?"
"Kenapa kamu bawa kemari? Kenapa nggak ke rumah orang tuamu? Itu cucu mereka, harusnya mereka mau merawatnya."
Tommy melotot. "Kamu gila, ya? Kamu ingin aku dibunuh sama papaku?"
Teriakan Tommy membuat bayi itu kembali menangis, Tommy mengayunkan di lengannya dengan gugup dan bingung. Diandra mendengkus keras.
"Kamu takut dibunuh, tapi nggak mikir saat sedang bergumul di ranjang.Kamu takut sama orang tuamu, karena itu kamu bawa kemari. Kenapa? Kamu pikir aku akan terima bayi itu dengan tangan terbuka hanya karena kita suami istri?"
"Bukan, tapi, aku yakin hanya kamu yang bisa menolongku."
"Omong kosong!"
Diandra terdiam, karena tangisan bayi makin melengking. Tommy pun kembali panik.
"Sayang, diam, dong. Mau apa kamu?"
Panggilan sayang yang sungguh nyeri didengar Diandra dari laki-laki yang selama setahun ini dihormatinya. Ia berusaha untuk menjadi istri yang baik bagi Tommy, menyerahkan hati dan hidupnya tapi ternyata balasannya sungguh telak dan menyakitkan. Ia rela dihina, dimaki, dan dibuat seperti pembantu oleh Merry dan anak-anaknya, dengan sepengetahuan Tommy tentu saja. Semua dilakukannya atas nama cinta dan rumah tangga. Pengorbanan sia-sia selama satu tahun. Kalau tidak ingat neneknya sedang sakit, Diandra ingin bercerai sedari awal.
Tommy tidak hilang akal untuk tetap membujuk Diandra. "Kamu seorang perempuan, calon ibu juga, kamu pasti mengerti bagaimana caranya merawat bayi. Anak ini mungkin sedang haus atau kedinginan dan aku nggak tahu harus bagaimana. Aku takut salah merawat dan akan membuat anak ini sakit. Diandra, tolong buka pintu hatimu. Untuk bayi yang tidak berdosa."
Diandra membalikkan tubuh, membungkuk ke arah wastafel. Tidak ingin menatap Tommy. Sudah cukup banyak yang didengarnya dari laki-laki itu dan ia cukup muak.
"Kamu sedari tadi bicara agar aku mengerti, agar aku menolongmu. Tapi, saat aku menjerit dan meminta perhatianmu, dengan sengaja kamu memalingkan wajah."
Menggeleng bingung, Tommy berujar keheranan. "Diandra, saat seperti ini kamu masih bicara tentang dirimu!"
"Tentu saja tentang aku. Kalau bukan aku yang bicara tentang diriku sendiri, tidak ada orang yang akan membantuku!" bentak Diandra. Emosinya memuncak. "Selama setahun ini aku menahan sabar, karena kamu dan juga keluargamu, Tommy. Sekarang saat kamu terdesak, masih memintaku untuk sadar dan menerimamu? Kalau bukan karena nenek, aku memilih untuk bercerai dari suami sialan sepertimu!!"
Tangisan bayi itu kembali melengking. Diandra menggeleng dan menutup telinga, tidak ingin mendengarnya. Tangisan itu entah kenapa terdengar seperti ratapan minta tolong. Sebagai perempuan dengan naluri seorang ibu, ia ingin merengkuh bayi itu dalam dekapan. Ingin menolong agar tubuh kecil itu hangat. Tapi saat ini kebencian dan kekecewaan yang dirasakannya terlalu besar, bahkan untuk mengulurkan tangan saja tidak sanggup.
Diandra tidak ingin menangis, meski hatinya terkoyak sedih. Ia tidak akan menyerah pada laki-laki yang sudah membuatnya sengsara. Dari awal menikah sampai sekarang, ia bahkan tidak punya kehidupan sendiri. Menjadi istri hanya kedok saja, karena yang sebenarnya ia tidak lebih dari babu. Membersihkan rumah, mencuci pakaian, diperintah oleh mertuanya dan menerima gaji yang sangat sedikit jumlahnya. Tommy dan keluarganya sangat kaya tapi pelit dan perhitungan dengannya. Kalau sekarang Tommy membutuhkan bantuan, kenapa harus meminta padanya?
Ia bukannya tidak bisa melawan kekejaman mereka. Peristiwa terakhir bahkan membuat Merry marah sampai sekarang. Ia tidak peduli lagi, sudah bersiap untuk melakukan langkah hukum bila ada kemungkinan terburuk. Dan ternyata hal yang terburuk justru diberikan oleh Tommy, bukan oleh Merry. Sungguh kejutan ulang tahun pernikahan yang benar-benar mengejutkan.
Diandra menghela napas panjang, menatap jendela yang buram karena air hujan. Tidak perlu lagi menangis atau bersedih, semua yang ada di rumah ini bukan hal yang menakutkan sampai membuatnya tertekan. Ia tidak ingin lagi hidup dalam kukungan. Tanpa memandang Tommy, ia bergegas ke tangga dan baru tiga langkah terhenti.
"Diandraaa! Tolong, akuu. Sekarang ini aku benar-benar memohon padamu."
Membalikkan tubuh, Diandra menatap Tommy yang berlutut di lantai dengan bayi yang menangis dalam pelukan. Wajah laki-laki itu kini benar-benar menunjukkan kekalutan dan juga permohonan. Tidak pernah terjadi sebelumnya, laki-laki dengan harga diri tinggi seperti Tommy memohon. Kini semuanya menjadi berbalik hanya karena satu bayi.
"Diandra, aku berjanji akan memberikan semua yang kamu inginkan, asalkan kamu menolongku."
Diandra menyipit, berdiri di tengah tangga. "Apa pun yang aku inginkan?"
Tommy mengangguk cepat. "Yaa, apa pun itu, asalkan kamu merawat bayi ini."
Tanpa senyum di wajah, Diandra menuruni tangga. Berdiri di depan Tommy dan mengulurkan tangan untuk mengambil bayi itu. "Pegang kata-katamu, Tommy. Ingat, penuhi apa pun yang aku mau."
"Tentu saja, terima kasih."
"Nggak perlu terima kasih. Aku lakukan ini bukan buat kamu."
Diandra menimang bayi, mengambil tas yang ada di lantai dan mencari susu. Membaca petunjuk dalam kemasan. Setelah menemukan botol, ia menuju dispenser. Membasuh botol dengan air panas, lalu menakar susu. Semua ia lakukan dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memeluk bayi yang menangis. Ia tidak panik karena pernah menjaga bayi sebelumnya. Anak dari tetangga di rumahnya dulu. Selama satu tahun menjaga bayi demi penghasilan dan ternyata pengalamannya berguna. Selesai membuat susu, ia duduk di kursi dan mulai menyusui bayi.
Tangisan seketika mereda, bayi kedinginan dan kelaparan itu mulai menyusu dengan rakus. Habis sebotol, dan Diandra mulai membuat lagi. Tersadar kalau ada Tommy di sampingnya, ia berucap acuh tak acuh.
"Aku akan bawa bayi ini ke kamarku."
Tommy mengangguk gembira. "Ya, boleh. Barang-barangnya biar aku bawa ke atas."
Malam itu, Diandra tidur bersama bayi yang setiap satu jam sekali terbangun. Ia bolak balik dari lantai dua ke dapur untuk membuat susu. Sampai nyaris dini hari ia tidak bisa tidur dan saat bangun, matahari sudah tinggi. Dengan terpaksa ia menelepon kantor dan meminta ijin. Makian dan gerutuan panjang ia terima dari atasannya karena ijin mendadak. Diandra berjanji mulai esok akan kerja lebih rajin. Tapi ternyata, itu hanya janji palsu. Bayi laki-laki yang diberi nama Keyano, ternyata sangat rewel, terutama kala malam dan suaranya yang nyaring memenuhi rumah. Selama beberapa hari, Diandra cuti demi bayi itu dan akhirnya mendapatkan surat peringatan.
Selama itu pula, sikap Tommy sedikit berubah. Pulang lebih cepat dan membawa makanan karena tahu Diandra tidak bisa memasak. Selain itu, memanggil petugas kebersihan paruh waktu untuk membereskan rumah.
"Kamu jaga Keyano saja, biar soal rumah dan makanan aku yang tangani."
Perkataan Tommy sungguh ironis di telinga Diandra. Selama ini ia mengharapkan perhatian laki-laki itu dan tidak pernah bisa mendapatkannya. Namun, dengan adanya bayi dalam pelukan, Tommy seakan takluk tanpa syarat. Memberikan semua yang selama ini diinginkannya, perhatian dan pengertian yang hangat.
Nyatanya, menjaga bayi baru lahir memang melelahkan. Diandra tidak bisa lagi bekerja dan setelah mendapat surat peringatan, ia mendapat ancaman pemecatan. Anika menelepon dengan panik untuk membertahu kabar itu.
"Ada apa Diandra, kenapa lo nggak pernah masuk."
Saat itulah terdengar tangis bayi dan Diandra menjelaskan sedikit pada temannya. "Ada yang nitip bayi. Mana rewel sekali, nggak bisa ditinggal."
"Heh, memangnya gaji jaga bayi lebih gede dari paralegal?"
"Nggak, sih."
"Makanya, pikir baik-baik. Jangan karena bayi orang lain, kamu korbankan karirmu! Ingat, kamu ingin jadi pengacara bukan?"
Diandra memikirkan perkataan temannya. Yang dikatakan Anika menyadarkannya. Kalau impiannya selama ini adalah ingin menjadi pengacara dan bukan pengasuh bayi. Suatu malam, ia menunggu Tommy pulang. Seperti biasa laki-laki itu membawa makanan dengan senyum terkembang.
"Diandra, kamu lapar? Hari ini aku bawa sate."
Menatap bungkusan sate lalu pada wajah Tommy yang tersenyum, Diandra mengerjap bingung. Tidak pernah melihat Tommy seramah itu. Wajah tampannya biasa selalu dingin dan angkuh. Diandra menggeleng bingung.
"Kenapa? Nggak suka sate?"
"Tommy, aku mau bicara soal anak ini."
Tommy membuka dasi dan menatap was-was. "Ada apa sama bayi ini?"
"Orang tuamu sedang kemari. Sebaiknya kita tunggu mereka."
"Apaa? Siapa yang memanggil mereka?"
"Aku!"
"Diandra, kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan, hah! Kamu membuat keputusan tanpa merundingkannya lebih dulu dengan aku?"
Suara teriakan Tommy membuay Keyano yang tidur di dalam buaian kaget dan menangis keras. Diandra mendengkus kesal, susah payah menidurkan bayi itu dan kini terbangun karena suara Tommy. Ternyata senyum di wajah tampan itu sangat palsu. Saat ego tersentil, sama sekali tidak ada keramahan terlihat. Diandra tidak akan pernah terperdaya.
"Kamu membuatnya kaget. Perlu waktu dua jam buat niduri dia, dan seenaknya saja kamu berteriak."
Teguran Diandra membuat Tommy menunduk. Menarik kursi dan duduk. "Maafkan aku. Sebenarnya aku nggak marah, hanya kaget karena kamu buat keputusan yang mendadak."
"Nggak ada yang mendadak, kamu saja yang terlalu lambat berpikir. Bayi ini sudah di rumah ini beberapa hari, dan orang tuamu masih belum tahu. Bukan hal bagus menyembunyikan rahasia sebesar ini."
"Tapi, aku belum siap untuk cerita. Masih mencari waktu yang tepat."
"Siap nggak siap, mau nggak mau, kamu harus cerita pada mereka. Aku nggak mau bantu kamu menutupi masalah."
Terdengar bunyi bel pintu dan Diandra menunjuk dengan dagunya.
"Buka pintu, mereka datang. Kita mengobrol di ruang tengah."
Dengan langkah tersaruk, Tommy berjalan ke arah pintu. Tidak berdaya saat melihat wajah orang tua dan kedua adiknya. Mereka pasti datang kemari berharap ada sesuatu yang menyenangkan terjadi, tidak menyangka akan mendapatkan kejutan yang menyakitkan. Tommy menekan rasa bersalah dan tersenyum.
"Pa, Ma, kita ke ruang tengah."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro