Bab 22
Di dalam ruangan besar dengan dinding kaca tebal menghadap ke tempat parkir, dua laki-laki duduk berhadapan di sofa besar. Keduanya merokok dengan bir kaleng berada di atas meja. Tidak ada cemilan atau makanan apa pun sebagai pelengkap. Di samping kanan ada pintu yang menjadi penghubung dengan area dalam. Terdapat beberapa ruangan kecil di dalam, dengan satu ruangan besar tepat di tengah. Keadaan sepi, tidak ada orang lain selain kedua laki-laki itu.
"Bagaimana kerja istriku?" tanya Tommy pada Hazel.
Sahabatnya itu mengacungkan jempol. "Sejauh ini cukup bagus. Aku menyukainya." Melihat Tommy melotot Hazel terbahak. "Maksudku sebagai teman kerja sekaligus atasan. Kamu pikir mudah mendapatkan patner seperti Diandra?"
"Patner?"
"Secara harfiah, dia patnerku memang. Kami bekerja sama menangani kasus dengan baik. Hal-hal yang tidak terlihat olehku, bisa dianalisa oleh Diandra. Beberapa klien sangat puas dengan pekerjaannya."
Tommy menyipit ke arah sahabatnya. Ada sesuatu yang mengusiknya. Hazel yang sekarang terlihat sangat berbeda dengan dulu. Masih terbayang dalam ingatannya, bagaimana Hazel memperlakukan klien layaknya mesin uang. Semua yang membayar mahal, akan ditangani. Karena itu memilih berkarir di luar negeri demi uang dan bayaran yang lebih banyak. Namun, sekarang sangat berubah. Tidak lagi bicara soal uang, melainkan keberhasilan saat membela klien dalam suatu kasus.
"Hazel, apakah uang nggak menarik lagi buatmu?"
Hazel mengisap rokok dengan kuat dan mengembuskannya. "Masih, Bro. Uang itu penting peranannya bagi kita. Bahkan sekedar merokok atau ke toilet pun kita butuh uang. Kenapa kamu tanya itu?"
"Aku lihat kamu beda sekarang, nggak kayak dulu. Orientasimu bukan uang lagi sepertinya."
"Ckckck, kamu salah. Aku masih suka sama uang dan orientasiku tetap uang tapi khusus untuk kriminal, adalah bagian dari hobiku. Kalau orang tuaku mengijinkan ingin rasanya menjadi polisi dan penyidik kasus. Sayangnya mereka tidak memberiku restu. Dalam kantor ini ada dua profesi pengacara, kriminal dan hiburan. Aku mendapatkan uang dari keduanya."
"Apakah bisa dilakukan keduanya?"
"Sejauh ini bisa. Contohnya salah satu klienku, seorang aktris yang sudah berumur tapi masih terkenal. Bercerai dari suaminya dan menyewa pengacara hiburan untuk mendapatkan hak gono-gini. Di lain pihak, dia juga menyewa aku serta Diandra, untuk menyelidiki kematian selingkuhan suaminya. Ada dugaan dibunuh dan yang menjadi tersangka oleh polisi adalah anak dari si aktris. Aku dan Diandra sedang bekerja keras untuk membuktikan kalau anak itu tidak bersalah."
"Oh, kasus yang sedang viral itu, kalian yang tangani?"
"Iya, memangnya Diandra nggak pernah bilang?"
Tommy menggeleng perlahan, mengisap habis rokok dan mematikan ke asbak kristal. Ia menatap deretan buku di ruang tengah yang terlihat dari tempatnya duduk. Menghela napas dan menahan perasaan merana yang tumbuh dalam dirinya. Perkembangan Diandra dalam pekerjaan sangat bagus dan meningkat tajam, dirinya bahkan tidak tahu menahu soal itu. Diandra tidak pernah ingin membicarakan masalah pekerjaan dengannya.
"Kenapa melamun?"
"Hazel, aku merasa gagal jadi suami. Maksudku adalah, selama beberapa tahun ini aku mencoba berbaik hati pada Diandra. Berusaha untuk melunakkan hatinya. Demi Keyano, dan rumah tangga kami, aku rela melakukan apa pun. Sayangnya, semakin aku maju, Diandra akan semakin mundur."
Menggelengkan kepala sambil berdecak, Hazel merasa heran dengan sahabatnya. "Gila, ya? Mulai kapan seorang Tommy bisa begitu pusing dalam mengejar seorang perempuan? Reena saja bisa kamu dapatkan, masa ini istrimu sendiri nggak bisa?"
"Itulah sulitnya, justru karena istri sendiri aku jadi bingung harus bagaimana lagi."
"Kenapa? Bukannya harusnya lebih mudah? Ada banyak sekali waktu untuk kalian bertemu. Kebersamaan kalian akan menumbuhkan cinta? Bukannya ada pepatah kalau cinta ada karena terbiasa?"
"Aku pun berpegangan pada pepatah itu, berharap menjadi nyata. Namun, semakin hari semakin sulit menggapai hati Diandra. Sepertinya hatinya tertutup di hari aku membawa Keyano pulang."
Tidak ada tanggapan dari Hazel soal ini. Selama beberapa waktu ini menjadi mitra kerja, mereka tidak pernah membahas masalah pribadi. Kalau pun sempat tercetus pertanyaan, itu hanya tentang Keyano. Sama sekali tidak ada percakapan soal Tommy. Ia sendiri tidak pernah ingin ikut campur urusan pribadi mereka, meskipun bersahabat. Ada batas-batas yang tidak ingin dilanggar menyangkut ranah pribadi orang lain. Yang terpenting untuknya adalah Diandra sangat cekatan dan teliti dalam bekerja dan tidak pernah mengecewakannya karena itu ia memilih menjadi pihak yang netral.
"Mungkin kamu haruys berusaha lebih keras untuk memahaminya, misalnya dengan mendengar saat dia bercerita."
"Tindakan seperti itu memang ampuh untuk memikat perempuan lain tapi tidak dengan Diandra. Dia selalu diam, hanya tertawa saat mengobrol dengan Keyano, tersenyum ramah pada Nana, selebihnya sangat dingin padaku. Malam-malam sering aku lihat dia bekerja, ingin menyapa dan bertukar pikiran seperti halnya suami istri. Dia akan menghindariku, dengan dalih Keyano atau apa pun itu. Aku bingung sekali."
Hazel menatap prihatin pada sahabatnya. Orang yang biasa terlihat percaya diri, kini seolah menjadi tidak berdaya.
"Diandra bahkan mengajukan perceraian dengan alasan kita nggak mungkin lagi bersama."
"Apaa? Diandra ingin cerai?"
"Ya, sering sekali. Aku selalu menggunakan Keyano untuk menahannya karena aku tahu dia menyayangi anakku. Hanya Keyano yang membuatnya bertahan. Sungguh ironis bukan? Hadirnya Keyano membuat hubungan kami merenggang, tapi di saat bersamaan juga menahan Diandra agar tidak pergi. Hazel, aku harus bagaimana?"
"Apa kamu pernah mengobrol tentang pernikahan kalian pada keluargamu?"
"Pernah, dan mereka memintaku bercerai. Kecuali Nenek dan Kakek serta Papa yang memang mendukung kami."
"Sulit sekali kalau begitu, jalan satu-satunya hanya kamu berusaha lebih keras."
"Entahlah, bisa dikatakan aku sudah lelah. Aku bahkan cemburu karena dia lebih dekat denganmu. Menolak uluran pertolonganku tapi malah menerima bantuanmu dengan senang hati. Kalau nggak kenal kamu secara pribadi, aku bisa saja mengatakan kalau kalian saling jatuh cinta."
Hazel mendengkus keras. "Otakmu udah nggak waras kalau begitu."
"Memang, dan semua karena Diandra."
Seharusnya hari ini Hazel ada kencan dengan kekasihnya, tapi dibatalkan karena Tommy ingin datang. Kesibukan membuat keduanya jarang untuk bertemu dan sesekali saling mendengar adalah hal baik. Meskipun ujung dari pembicaraan tetap saja membuat Hazel tidak habis pikir. Bagaimana mungkin ia jatuh cinta pada istri sahabatnya sendiri?
**
Reena berdiri tegang di dekat tangga, menatap sudut di mana Keyano menghilang. Tadinya ia tidak berniat bertemu dengan anaknya tapi saat Keyano muncul, nalurinya tergugah. Anak yang dilahirkannya itu begitu tampan dan menggemaskan, memanggil Diandra dengan sebutan 'mama' dan membuat rasa cemburunya membuncah. Empat tahun ia meninggalkan bayinya, hanya mencari tahu kabar lewat teman-temannya saja. Ia tahu kalau Keyano dirawat dengan baik, dicintai dengan benar, cukup puas saat mendengarnya. Selama ini ia bersembunyi, tidak ingin muncul untuk mengacaukan semua tapi sikap keras kepala Diandra membuatnya berubah pikiran.
"Minggir! Aku ingin bertemu anakku!" perintahnya geram.
"Anakmu? Kamu tidak ada hak itu lagi pada Keyano."
"Perempuan sialan! Tidak peduli apa pun yang kamu katakan, Keyano adalah darah dagingku. Aku, yang mengandungnya selama sembilan bulan!"
"Dan aku yang merawatnya saat dia tidak diinginkan!" teriak Diandra tidak kalah keras. Berharap Nana mengerti dengan menutup pintu kamar, dengan begitu Keyano tidak perlu mendengar mereka adu mulut. "Kamu mungkin mengandungnya, tapi aku yang mencintainya sepenuh hati. Apa kamu tahu, saat dibawa ke rumah ini Keyano dalam keadaan sakit? Apa kamu tahu betapa rewelnya dia? Bagaimana sulitnya merawat bayi merah yang sedang kesakitan dan kehausan? Tidaaak! Kamu nggak akan ngerti, karena membuang anakmu sendiri!"
Menggeleng dengan cepat, seribu kata-kata yang hendak meluncur dari bibir Reena tertahan di tenggorokan. Ia maju, Diandra memblokir tangga. Mereka berdiri berhadapan dengan penuh kebencian. Seharusnya tidak begini. Bukankah semua temannya mengatakan kalau perempuan yang dinikahi Tommy adalah jenis yang lembut, penurut, dan bodoh? Kenapa yang muncul di hadapannya justru bersikap layaknya pejuang. Diandra bahkan tidak mengijinkannya untuk memeluk anaknya sendiri.
"Kamu tahu apa yang kamu ucapkan bukan? Kamu menghalangi seorang ibu yang ingin memeluk anaknya. Itu sama saja melanggar hukum!"
Diandra menatap lekat-lekat, tidak bergerak dari depan Reena. "Hukum apa yang kamu bilang? Kamu nggak lagi punya hak atas Keyano setelah malam itu meninggalkannya sendiri di apartemen dalam kondisi sakit. Kamu sudah membuang hak itu saat memilih ke Amerika dari pada merawat anakmu sendiri?"
"Oh my god, Diandra! Harusnya kamu bersyukur aku meninggalkan Keyano. Kalau seandainya waktu itu aku tetap di sini, kamu nggak akan pernah menjadi istri Tommy yang utuh! Dia akan meninggalkanmu demi aku!"
"Nggak masalah, demi seorang anak yang nggak berdosa. Asalkan kehadiranmu di sini membuat Keyano berada dalam pelukan hangat seorang mama. Taruhannya adalah pernikahanku bukan? Aku kehilangan seorang suami, rasanya akan sangat berat tapi tidak seberat bayi yang kehilangan ibu. Jangan menggunakan pernikahanku sebagai alasan membenarkan tindakanmu, Reena."
Reena mengepalkan tangan, memejam sesaat lalu menatap geram pada Diandra. "Kamu akan menyesali ini kalau aku menuntutmu! Kamu akan menangis kalau sampai aku memberitahu Tommy tentang tindakan kasarmu!"
Tersenyum kecil bahkan tanpa mengedipkan mata, Diandra mengangkat bahu. "Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Terserah apa katamu, tapi aku bisa membuatmu tidak bisa mendekati rumah ini terlebih Keyano. Saranku, sebaiknya kamu bersikap lebih baik dan lembut, mungkin aku akan mengijinkanmu bertemu anakku. Kalau sekarang, tidak ada ijin itu karena aku nggak mau Keyano bertemu orang yang bisa saja merusak mentalnya."
"Sialan!"
"Mau mengadu pada Tommy? Silakan saja. Kalian bebas melakukan apa pun yang kalian mau. Tommy sepenuhnya milikmu, tapi tidak dengan Keyano!"
Rena mengepalkan tangan, menghentakkan kaki kanan ke lantai, lalu menjerit. "Arrghh! Siaal! Perempuan sialan! Aku akan membuatmu merangkak minta maaf untuk semua ini. Lihat saja nanti!"
Setelah melontarkan makian, berderap ke arah pintu. Meninggalkan Diadra berdiri di ujung tangga dalam kegamangan. Ia menatap pintu yang baru saja dibanting, menghela napas panjang dan berjalan ke arah meja dapur. Pecahan cangkir berserak dengan cairan kopi mengotori lantai. Ia mengambil plastik, membungkuk untuk memungut pecahan yang lebih besar dan mengantonginya. Setelah itu menyapu perlahan, untuk memastikan tidak ada pecahan tersisa. Ia sengaja tidak meminta Nana melakukannya karena tidak ingin Keyano turun dan terluka karena menginjak pecahan kaca.
Diandra sedang mengepel saat pintu membuka. Tommy memasuki rumah dan berdiri di dekat meja dengan bingung. "Kenapa hitam-hitam lantainya?"
"Kopi tumpah."
"Oh, pantas saja aroma kopi semerbak."
Tommy menghela napas panjang, mengernyit karena kepalanya sakit. Entah pengaruh alkohol atau terlalu banyak merokok, tapi saat ini kondisi tubuhnya sedang tidak nyaman. Ia bersendawa dengan keras sambil mengusap perut. Diandra selesai mengepel lantai, menatap Tommy dengan kaku.
"Tommy, mantan kekasihmu datang kemari."
"Hah, mantan kekasih yang mana?" Tommy masih mengusap perut.
"Reena."
Tangan Tommy terhenti di perut lalu terjatuh dengan lunglai. Menatap Diandra dengan bingung dan tidak percaya.
"Apa katamu? Reena kemari?"
Diandra mengangguk. "Ya, bukan mencarimu melainkan Keyano. Sebaiknya kamu menyelesaikan masalah ini, Tommy. Jangan sampai ada perebutan hak asuh anak antara aku dan Reena."
Selesai berucap, Diandra meninggalkan suaminya. Aroma alkohol bercampur rokok terciuma dari tubuh dan kemeja Tommy. Diandra tidak bertanya, apa yang baru saja dilakukan suaminya. Ia tidak ada minat ikut campur. Kedatangan Reen merusak suasana hatinya dan yang diinginkannya sekarang adalah ke kamar lalu memeluk Keyano erat-erat. Saat ini, Keyano adalah penyemangat hidupnya.
Duduk di kursi dapur dengan kepala menunduk, Tommy baru saja menyelami fakta kalau Reen kembali. Alih-alih menemuinya, perempuan itu justru mendatangi rumah ini? Apa yang diinginkan oleh perempuan itu? Kenapa tidak menyapanya lebih dulu? Apakah Reena menginginkan Keyano? Seribu pertanyaan tercetus di pikiran Tommy, dengan hati merana karena bingung.
.
.
Tersedia di google playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro