Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2

Untuk resepsi, Diandra mengganti kebaya dengan gaun pengantin merah muda lembut, yang merupakan pilihan keluarga Tommy. Untungnya gaun itu cocok membalut tubuhnya. Tommy sendiri memakai jas hitam dengan mawar terselip di saku.

"Pasangan serasi."

"Pengantin perempuan sangat cantik, pengantin laki-laki sangat tampan."

Tamu undangan melontarkan pujian dan memberikan ucapan selamat. Diandra melirik suaminya yang kini menyapa orang-orang dan meninggalkannya di pelaminan sendiri. Anika sudah pergi, sedangkan neneknya sedang istirahat bersama Lestari di kamar. Mereka orang-orang tua yang tidak kuat lagi berdiri lama-lama. Tertinggal Diandra sendirian, menatap megahnya ruang pernikahan dan berusaha untuk menikmati pesta yang meriah dengan irama musik dari band. Ia menghibur diri dengan bertepuk tangan dan tersenyum pada tamu yang menyapa.

"Ditinggal sendiri? Kasihan amat, lo!"

Tantri berujar dengan senyum meremehkan kata-kata kasar tanpa sopan santun. Gadis itu hari ini memakai gaun biru laut yang mengembang indah di tubuhnya. Bagian atas gaun terbuka, menunjukkan kulit yang putih. Diandra mengabaikan ucapan tidak sopan itu dan tersenyum.

"Tantri, gaunmu indah sekali."

Mendengkus keras, Tantri berkacak pinggang dan berbisik pada Diandra.

"Jangan sok ramah. Lo cuma pengantin bayangan di hati kakak gue. Asal lo tahu, Kak Tommy sudah punya pacar. Jadi, siap-siap aja lo makan hati!"

Diandra terdiam, senyum lenyap dari bibirnya. Menatap Tantri yang menjentikkan kuku.

"Apa katamu?" tanyanya bingung. "Kak Tommy punya pacar."

"Oh yeah, sangat cantik, kaya raya, dan perempuan hebat. Lo, mah, nggak ada apa-apanya. Kalau bukan karena kakek dan nenek yang ancam nggak akan ngasih warisan, nggak bakalan Kak Tommy nikahin lo! Dih, perempuan miskin, apa gunannya dijadiin istri?"

Rasa sakit mendengar penghinaan Tantri, tidak seberapa dibandingkan dengan kenyataan kalau Tommy sudah punya kekasih. Diandra tertegun bingung, bukankah seharusnya Tommy menolak pernikahan ini? Kenapa laki-laki itu tetap mau menikah dengannya? Dengan begitu tidak ada keterpaksaan. Ia tahu Tommy tidak mencintainya, tapi menikah saat hatinya menjadi milik perempuan lain adalah hal yang tidak dimengerti olehnya. Ia menatap laki-laki tampan yang kini sudah menjadi suaminya dengan perasaan getir. Ironis, menjadi pengantin dengan pasangan yang memikirkan perempuan lain.

Wajah pucat dengan tubuh gemetar Diandra tidak lepas dari perhatian dan gadis itu tertawa tanpa perasaan. Sang kakak, Tania ikut menghampiri, terlihat sangat glamour dengan gaun biru metalik, dan make-upnya bahkan lebih bold dari sang pengantin. Menyenggol sang adik yang terkikik, Tania bertanya penasaran.

"Apanya yang lucu? Kenapa ketawa begitu?"

Tantri mengibaskan rambutnya dengan sikap penuh kegembiraan yang tidak ditutupi. "Oh, cuma lagi ngasih tahu kenyataan sama kakak ipar kita tercinta kalau suaminya sudah punya kekasih, yang jauh lebih kaya dan cantik."

Tania melirik Diandra yang berdiri memucat dengan senyum tersungging. Sikapnya lebih lembut dari pada Tantri tapi cara bicaranya sama persis, kasar dan menyakitkan.

"Harusnya, jangan bicara sekarang."

"Hah, terus kapan? Nunggu ntar malam? Ngapain? Biar dia tahu kalau nggak bakalan ada malam pertama."

Sekilas terlihat oleh para tamu, sang pengantin perempuan yang sedang bercanda dengan adik-adik iparnya. Mereka tidak tahu kenyataan yang sebenarnya, di mana Diandra menahan rasa geram karena dilecehkan adik-adik dari suaminya sendiri. Ia ingin melawan, memaki mereka tapi tersadar kalau sudah menjadi bagian dari keluarga Tommy.

"Kak Hazel datang! Kak Tania, lihat itu!"

Tantri berteriak, menunjuk arah pintu di mana laki-laki tinggi dengan kulit putih dan rambut hitam melangkah cepat menuju pelaminan. Tantri dan Tania tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya melihat laki-laki itu. Tommy menghadang jalannya dan keduanya berjabat tangan sambil berpelukan ringan.

"Tantri, gimana penampilanku?" bisik Tania, merapikan rambut, gaun, dan terburu-buru mengambil kaca untuk mengecek make-uapnya.

"Perfect, nggak ada masalah sama sekali. Simpan kacamu, dia ke sini."

Diandra menatap ke arah suaminya yang berjalan berdampingan dengan laki-laki yang baru datang. Keduanya sama-sama tampan, tapi laki-laki yang baru datang bertubuh lebih tinggi dengan wajah tirus. Diandra mengernyit, merasa pernah bertemu laki-laki itu tapi lupa di mana?"

"Kak Hazel!" Tantri berteriak gembira.

"Halo, Tantri. Udah gede kamu!"

"Iya, dong."

Tania tersenyum, mengulurkan tangan pada Hazel. "Kak, apa kabar?"

Mata Hazel melebar. "Ini Tania? Wah-wah, dua tahun nggak ketemu benar-benar berubah cantik." Hazel tidak menjabat tangan Tania melainkan menepuk pundak Tommy. "Gila, bro. Saudara-saudaramu udah gede semua."

Tommy tergelak. "Aku pun sudah tua."

Hazel mengalihkan pandangan pada Diandra yang sedari tadi terdiam, tersenyum dengan tangan terulur. "Kakak iparku, selamat, ya, untuk pernikahannya."

Diandra menerima uluran tangan Hazel dan mereka berjabat tangan. "Terima kasih."

Masih dengan tangan saling berjabat, Hazel memiringkan kepala sambil berpikir. "Sepertinya kita pernah bertemu bukan?"

Tersenyum malu, Diandra mengangguk. "Memang, di parkiran basement, hampir saja kamu menabrakku."

"Waah, benar. Nggak nyangka sekarang kamu jadi kakak iparku." Hazel mengguncang tangan Diandra dan tertawa hangat.

"Kalian pernah bertemu?" tanya Tommy bingung.

Hazel mengangguk. "Benar, siapa sangka pertemuan kami ternyata takdir yang sudah diatur."

Tommy mengamati Diandra sesaat tapi tidak mengatakan apa pun, mengajak Hazel untuk makan dan mengobrol di meja sudut. Lagi-lagi meninggalkan istrinya sendiri. Tantri dan Tania kini mengamati Diandra lekat-lekat, tidak menyangka akan mengenal Hazel.

"Kok lo bisa kenal Kak Hazel?" tegur Tantri.

Tania yang menjawab. "Lo nggak dengar, katanya nggak sengaja. Iya, kali, mereka kenal akrab. Kak Hazel dan perempuan ini nggak mungkin berada di lingkungan yang sama."

"Iya, juga. Kayak bumi sama langit. Yuk, aah, kita makan barengan Kak Hazel."

Kakak beradik itu pergi meninggalkan Diandra sendiri. Terduduk di pelaminan, Diandra menatap pesta dengan wajah memerah. Untung saja ia memakai riasan, kalau tidak orang-orang akan melihat betapa pucat wajahnya. Menghela napas panjang, ia berusaha menghilangkan gundah. Ini adalah pernikahannya tapi hatinya merasa sangat tidak bahagia. Suami yang abai padanya, adik-adik iparnya yang kasar dan suka menghina. Lebih parah lagi adalah ibunya Tommy yang tidak pernah menyapanya sama sekali.

Setelah menikah, Diandra diberi kesempatan untuk mencium tangan mertuanya. Fakri tertawa bahagia, sedangkan Merry terlihat marah. Seakan ia sudah mencuri sesuatu yang berharga milik perempuan itu. Ia tidak mengharapkan penerimaan yang ramah dan penuh cinta, karena sadar datang sebagai menantu yang tidak diharapkan. Setidaknya sebuah senyuman akan membuat hatinya tenang, sayangnya Diandra tidak mendapatkan itu.

Bagaimana kelak hidupnya kalau dikelilingi keluarga seperti itu? Dirinya dan Tommy memang akan tinggal terpisah, tapi seingatnya Fakri mengatakan kalau rumah mereka tidak terlalu berjauhan. Rasa optimis Diandra untuk mendapatkan cinta suaminya, menguap begitu saja. Sayangnya ia tidak bisa mundur sekarang dan mau tidak mau harus dijalani, tidak ingin mengecewaka para orang tua yang berharap kalau perjodohan ini berhasil.

Diandra tersentak dari lamunan saat Fakri menghampiri. "Kamu nggak lapar Diandra?"

"Nggak, Pa."

"Begitu, ya? Jadi pengantin memang bawaannya kenyang karena bahagia."

Fakri duduk di kursi sebelah pelaminan, memperhatikan menantunya dalam balutan gaun pengantin. "Kamu mirip sekali papamu, Diandra. Kalau orang tuamu masih hidup, mereka akan bahagia melihatmu menikah." Ia melambai pada beberapa tamu yang menyapa, tertawa bahagia seolah hari in adalah pernikahannya sendiri. "Sedari kecil kami berteman, Diandra. Aku dan papamu maksudnya. Dulu awalnya kami yang akan dijodohkan, siapa sangka lahir ternyata satu gender. Hahaha!"

Diandra tersenyum, sudah sering mendengar cerita yang sama dari nenek. Konon, keluarga Lestari saat muda kesulitan uang dan sangat miskin. Kakek Diandralah yang membantu, rela menjual rumah untuk menolong keluarga mereka. Padahal status mereka hanya teman kala itu. Gunanda berjanji akan mengembalikan semua yang sudah pernah diberikan padanya. Dan belum terlaksana janji itu Zulki meninggal, menyisakan satu anak laki-laki dan sang istri Kamirah.

Lestari dan Gunanda adalah orang yang mengerti balas budi, mereka membantu biaya sekolah Efendi, hingga akhirnya dewasa dan menikah. Saat Diandra berumur sepuluh tahun, orang tuanya meninggal kecelakaan, menyisakan dirinya dan si nenek. Saat itulah tercetus niat dari Fakri untuk melanjutkan perjodohan meskipun ditentang secara diam-diam oleh istrinya. Sebuah rencana yang kini menjadi kenyataan setelah membutuhkan waktu bertahun-tahun menunggu Diandra dewasa dan juga persetujuan setengah enggan dari Tommy.

Fakri pergi dan Diandra kembali ditinggal sendiri, berharapo agar neneknya tidak keluar. Tidak ingin neneknya merasa sedih melihatnya sebagai pengantin kesepian. Harusnya, hari ini ia sangat bahagia tapi rasa suram bergelayut dalam dada. Para tamu yang ada di gedung mewah ini rata-rata teman Fakri dan Gunanda, dan juga kerabat mereka. Kalau tidak mengingat sebagai tanggung jawab, ingin rasanya Diandra meninggalkan pelaminan seperti halnya Tommy yang sekarang entah di mana.

Suaminya itu muncul saat ia mulai memikirkannya. Melangkah bersama seorang perempuan cantik dengan rambut panjang dan gaun asimentris hitam. Perempuan itu melangkah anggun layaknya model, tiba di depan Diandra dan kata-kata pertamanya membuat Diandra terdiam.

"Ini istrimu? Ya Tuhan, Kak Tommy. Kamu nggak mau terima cintaku, bertahun-tahun abai dan sok nolak aku, katanya kayak adik sendiri. Aku pikir kamu akan menikah dengan perempuan cantik yang waah, ternyata standar begini."

Satu lagi penghinaan dan Diandra menyadari kalau keluarga Tommy memang punya uang tapi tidak dengan attitude dan sikap yang baik. Mereka cenderung mudah menilai orang lain hanya dari penampilan.

"Diandra, ini sepupu kamu, namanya Gema."

Gema tertawa renyah, meraih lengan Tommy dan merangkulnya. "Kak, kaku amat manggil istri. Bilang sama dia kalau aku sepupu sekaligus pacar kecilmu. Memang sekarang udah nggak lagi, sih. Tapi aku masih berharap. Ngomong-ngomong bener yang dibilang Tania dan Tantri, kamu salah cari istri, Kak."

Diandra yang geram akhirnya bersuara. Menatap Gema lekat-lekat. "Kamu tahu apa julukan perempuan yang suka mengejar laki-laki sampai nyaris tidak tahu malu?"

Baik Tommy maupun Gema terdiam mendengar pertanyaan Diandra yang tiba-tiba.

"Namanya ulat bulu, suka bikin gatal badan orang tapi dia sendiri nggak sadar kalau dia itu gatal!"

"Sialan! Berani menghinaku," geram Gema.

Diandra tersenyum manis, menangkupkan tangan depan dada. "Terima kasih atas ucapan selamat, kami akan menjadi pasangan bahagia seperti suami istri pada umumnya."

Setelah menguasai diri, Gema kali ini tertawa seolah Diandra mengatakan hal yang lucu. "Berbahagi? Ngimpi aja kamu! Aku yakin Kak Tommy nggak akan pernah cinta sama kamu."

Tidak ada penyangkalan dari Tommy. Ekpresinya menunjukkan perasaan yang rumit. Diandra menunduk dan duduk kembali di pelaminan, sangat berharap pesta ini berakhir. Ia sudah tidak tahan lagi, berada di bawah pandangan orang-orang dengan keluarga suaminya yang bersikap memusuhi. Padahal ia datang sebagi istri, bukan maling yang harus dicurigai.

Saat pesta selesai, pasangan pengantin mendapatkan kamar khusus untuk berdua. Diandra yang sudah menghapus riasan dan memakai gaun tidur yang longgar dan nyaman, menunggu suaminya di kamar. Tommy masih di tempat resepsi untuk bicara dengan beberapa kerabat. Setelah seharian merasa sangat lelah, Diandra menyukai kamar tidur pengantinnya yang dihias begitu cantik. Ada bunga yang ditata indah di atas ranjang. Begitu cantik sampai Diandra enggan untuk merusaknya.

Ia sedang menggumi pemandangan dari jendela kala pintu membuka. Membalikkan tubuh, Diandra menyapa suaminya.

"Kak, kamu pasti lelah. Mau aku bantu siapin air mandi? Tadi aku sedikit kesulitan menyalakan kran. Terlalu modern fasilitas di hotel ini."

Tommy tidak menjawab, menatap istrinya yang berdiri dalam balutan gaun tidur longgar warna putih. Apakah Diandra berniat merayunyaa menggunakan pakaian murahan seperti itu? Ia bahkan tidak tertarik untuk sekedar menyentuh.

Senyum Diandra memudar saat mendengar perkataan pertama dari suaminya.

"Diandra, jangan naif. Kita tidak akan pernah menjadi suami istri yang sesungguhnya. Kamu dan aku memang menikah tapi itu hanya di atas kertas. Jangan harap aku akan memperlakukanmuu layaknya istri."

Tercengang sampai tidak bisa bicara, Diandra berdiri diam di tengah kamar saat melihat Tommy membalikkan tubuh dan melangkah ke pintu.

"Kalau bukan demi kakek dan nenek, aku tidak sudi menikah denganmu. Oh, ya, kamu pasti sudah mendengar kalau aku punya kekasih bukan? Jangan berharap aku akan jatuh cinta padamu, itu sesuatu yang mustahil!"

Hati Diandra hancur berkeping-keping di malam pertama pernikahannya. Dihancurkan sendiri oleh suaminya dan diinjak tanpa ampun. Tommy bahkan tidak perlu menunggu hari berganti untuk membuat peringatan, tidak peduli pada perasaan sang istri, dan berlalu pergi. Meninggalkan Diandra menangis diam-diam di kamar yang luas dan sepi.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 5-8.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro