Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 19

Tania yang sudah berdiri, dengan terpaksa kembali duduk. Meski begitu tidak dapat menahan rasa senang di wajahnya. Kehadiran Gema diharapkan mampu membantunya mengatasi Diandra. Entah bagaimana ia merasa kalau Diandra makin hari makin berubah menjadi lebih pintar, licik, serta berani. Setelah sebelumnya menyerangnya di rumah Tommy, kali ini berhasil menguliti mamanya. Sebagai anak tentu saja tidak terima melihat orang tuanya dipermalukan.

"Kita kumpul dalam rangka apa? Tumben makan siang." Gema melirik ke arah Diandra dengan sedikit heran. "Nggak biasanya formasi lengkap."

"Nenek kangen sama Keyano, makanya minta Diandra datang bawa anak itu," jawab Lestari terkekeh. "Makan yang banyak Gema. Kamu datangnya terlambat."

"Iya, Nek. Banyak kerjaaan. Apa Kak Tommy nggak ikut datang?"

"Mungkin dia nanti akan jemput kamu." Diandra yang menjawab.

Gema mendengkus. "Oh, gitu."

Mereka makan dalam diam, kali ini semua orang seakan menahan diri untuk tidak saling menyerang. Begitu pula Diandra. Ia menjadi pendengar yang baik dari percakapan yang bergulir di sekitarnya. Gema yang sedang memamerkan perhiasan barunya, Tania yang sesumbar akan menjadi pengusaha yang sukses dan Tantri dengan segala kemalasannya berharap bisa mendapatkan nilai yang bagus.

Diandra menilai dalam diam orang-orang yang ada di sekelilingnya. Menganggap mereka berpura-pura untuk menjadi baik satu sama lain. Bisa dilihat kalau Tania bersikap lembut pada Gema hanya di depan saja, tapi di belakangnya jelas berbeda.

Setelah kenyang, Lestari mengatakan ingin istirahat. Diandra memanggil Nana dan menyuruh pengasuh itu makan, sementara ia menunggu Keyano yang terlelap di kamar. Sayanganya Fakri tidak ingin menemani Keyano tidur. Terpaksa Diandra duduk di ruang tamu, mengupas apel. Ia yakin kalau tidak lama lagi akan ada orang yang menemani dan dugaannya tidak salah. Pertama-tama yang datang tentu saja Merry. Dengan wajah galak menatapnya penuh dendam.

"Kamu pikir hebat? Bisa mengotak-atik bisnisku?"

"Mama salah. Aku nggak otak-atik, cuma ngasih tahu apa yang dibilang suamiku."

"Diam! Perempuan brengsek. Kamu pikir hebat bisa membuatku menahan malu? Bukankah itu rencanamu di depan mertuaku."

Diandra menatap Merry yang mengomel lalu menghela napas panjang. "Mama mengerti kalau dijelekkan di depan keluarga sendiri sungguh nggak enak rasanya. Tapi Mama nggak berhenti untuk membuatku menanggung malu. Kenapa, Maa? Kita menantu dan mertua tapi rasanya seperti musuh."

"Aku nggak pernah menganggapmu mantu! Anakku terlalu baik untukmu!"

"Oh, Tommy memang yang terbaik. Sampai-sampai terjebak dalam hubungan bebas." Melihat Merry mengangkat tangan ingin memukul, Diandra tersenyum kecil. "Kalau Mama berani memukulku, maka pisau ini akan menancap di tanganku dan akan aku katakan pada semua orang kalau Mama menikamku!"

Merry terbelalak lalu mundur dengan gemetar. Tidak menyangka kalau Diandra akan punya pemikiran yang begitu kurang ajar dan mengerikan. Ia hanya ingin mengancam tapi Diandra mengacam balik dengan lebih gahar.

"Kamu gilaa!"

Diandra mengupas apel dengan tenang dan memasukkan satu potongan ke dalam mulutnya. "Mama yang memaksaku menjadi gila. Kalau memang begitu besar kebencian yang Mama rasakan, kenapa nggak bilang sama Papa, Kakek, dan Nenek. Lalu pernikahanku dengan Tommy bisa diakhiri. Harus diakui, menikah dengan Tommy membuatku punya segalanya termasuk uang. Tapi, banyak yang bilang uang saja nggak cukup untuk bikin bahagia dan aku setuju, Ma. Sangat-sangat setuju."

Dengkusan keras terdengar dari bibir Merry. "Menurutmu apa yang akan terjadi kalau kamu bercerai dari Tommy? Pasti akan menjadi perempuan blangsak!"

"Kita nggak akan tahu kelak bagaimana nasib kita, Ma. Yang di atas belum tentu di atas, yang di bawah belum tentu juga terus terinjak-injak."

"Pintar membantah kamu sekarang. Siapa yang mengajarimu bersikap kurang ajar, hah?"

Diandra tidak sempat menjawab karena Tania muncul. Padahal ia berharap kalau gadis itu akan muncul belakangan setelah selesai menangani Merry tapi perkiraannya salah.

"Mama, ngapaian di sini? Bikin emosi saja bicara dengan perempuan miskin ini. Lebih baik kita di atas, Gema punya perhiasan bagus."

"Mama tadi tanya kalau aku bercerai dari Tommy akan jadi apa?" Diandra menyahut keras. Menghentikan perkataan Tania. "Aku akan beritahu satu rahasia pada kalian. Saat ini aku sedang menyelesaikan study hukum. Kalau lancar kemungkinan tahun depan aku lulus dan bisa jadi pengacara. Oh ya, Hazel menawariku pekerjaan di firma hukumnya. Ada kemungkinan tahun depan dia kembali."

Tania ternganga, menatap bingung pada Diandra. "Bohong! Kamu pasti bohong!"

"Soal apa? Aku study hukum atau tawaran Hazel? Karena dua-duanya bukan kebohongan. Hazel sendiri yang menawarkan padaku. Dia bilang, aku punya potensi untuk jadi pengacara andal dan memintak bergabung di firmanya. Kamu bisa tanya dia, apakah yang aku katakan benar atau tidak. Tentu saja, kalau kamu punya nomornya. Entah bagaimana aku yakin, kamu pasti nggak punya nomor ponsel Hazel'kan?"

Melihat tubuh Tania yang kaku, Diandra tahu kalau serangan baliknya berhasil. Dengan membawa nama Hazel, cukup ampuh untuk membungkam Tania. Dalam hati Diandra berkata, akan meminta maaf pada Hazel nanti, karena sudah membawa namanya demi balas dendam. Sebenarnya, ia tidak ada niat untuk menyakiti siapa pun, termasuk Tania. Tapi gadis itu sudah berani melakukan hal yang membuatnya hampir terjerumus dalam bahaya. Ia harus menghentikan keyakinan gadis itu kalau bisa melakukan apa pun, termasuk menyakitiu hati orang lain hanya karena punya orang tua yang berada. Mereka merasa sombong dan berkuasa, maka ia akan melawan dengan menggunakan nama seseorang yang jauh lebih kuat.

"Ka-kamu pikir bisa membohongiku?" bisik Tania dengan ekpresi kaget bercampur tidak percaya.

Diandra memotong apel lebih besar dan mengunyahnya. "Terserah, aku nggak peduli kamu percaya atau nggak. Tapi ada satu orang yang bisa kamu tanya untuk konfirmasi. Tahu bukan kalau Hazel punya adik? Namanya Helena dan seorang dosen. Helena dan aku cukup akrab, kami adalah teman dan saat ini dengan senang hati aku akan memberimu nomor Helena, dengan begitu kamu bisa tanya apakah benar Hazel mengajakku bekerja sama atau hanya aku yang membual." Menatap Tania yang terdiam dengan Merry yang juga sama-sama kebingungan, Diandra melanjutkan perkataannya. "Itupun kalau Helena mau menjawab panggilanmu. Karena seingatku, dia tidak sembarangan berteman dengan orang lain."

Napas Tania menjadi cepat karena rasa cemburu dan iri, tidak menyangka kalau Diandra ternyata sangat dekat dengan Hazel. Ia memang sempat melihat keakraban mereka sewaktu di sini, tidak mengira kalau keakraban itu ternyata bertambah erat. Kenapa Hazel dekat dengan Diandra dan bukan dengannya? Ia yang selama ini menyukai laki-laki itu dan kini merasa patah hati. Terlebih karena Diandra menyebut-nyebut nama Helena.

Ia tahu kalau Hazel punya adik perempuan, tapi tetap tidak percaya kalau Diandra mengenalnya bahkan mengaku sebagai teman. Bagaimana bisa? Apa yang hebat dari Diandra sampai bisa dekat dengan Hazel dan Helena? Tania menggeleng, mencoba mengusir beribu pertanyaan yang mengusik hatinya. Tentang Hazel, Helena, dan juga Diandra.

Merry yang tersadar lebih dulu. Mengusap bahu anaknya dengan senyum yang dipaksakan. "Tania, bukannya kamu tadi bilang kalau Gema punya perhiasan? Ayo, kita naik. Jangan hiraukan perempuan laknat ini. Dia sengaja ingin membuatmu iri!"

"Aduh, Mama. Kenapa menuduhku yang bukan-bukan. Mana mungkin aku sejahat itu sampai ingin membuat adik iparku iri dan cemburu." Diandra mengedipkan sebelah mata pada Tania. "Lagian, Hazel sudah punya pacar. Kalau tidak salah dengar anak seorang pejabat. Tania, kamu bisa patah hati kalau terus berharap padanya. Bagai punguk merindukan bulan."

"Brengsek! Sialaan!" Tania berteriak, merengsek maju ingin memukul Diandra dan terhenti saat pisau teracung di depannya.

Diandra tanpa senyum membalas makian Tania. "Ingat, berani kamu menyentuhku maka pisau ini akan menancap di tubuhku. Kita lihat bagaimana hidupmu berakhir kalau di penjara, Tania. Mudah bagiku memutar balikkan fakta. Sebaiknya kamu berpikir baik-baik sebelum bertindak gegabah!"

Pisau kecil di tangan Diandra adalah ancaman yang nyata bagi Tania dan Merry. Mereka terbelalak menatap benda runcing yang mengkilat itu. Diandra memegang benda itu seolah senjata kuat yang siap untuk digunakan. Bukan untuk melukai mereka tapi untuk membuat dirinya sendiri tercabik. Sungguh pemikiran Diandra di luar nalar.

"Perempuan miskin yang sengaja mencari masalah dengan keluargaku. Kenapa? Ingin bercerai dari Tommy dan mendapatkan tunjangan besar?" tanya Merry dengan tuduhan kejam.

Tawa kecil keluar dari bibir Diandra. "Mama, aku lebih butuh kebebasanku dari pada uang Tommy. Kalau aku bisa mengejar karir, yang bisa aku dapatkan justru lebih banyak dari sekarang. Untuk apa aku mengurung diriku dalam pernikahan yang nggak bikin bahagia? Aku memang perempuan miskin dan kemiskinankulah yang membuat kalian membenciku. Masalahnya sekarang adalah, anakmu yang nggak mau lepasin aku. Jadi, aku harus apa? Coba Mama yang beritahu. Bagaimana menghadapi suami yang makin hari makin perhatian dan penuh cinta, sampai membuatku takut!"

Kata-kata Diandra bagaikan sambaran petir bagi Merry. Tidak mungkin anak laki-lakinya yang selama ini terlihat membenci si istri mendadak menjadi bucin. Tidak mungkin Tommy akan berubah seperti itu dalam waktu singkat. Apakah semua terjadi karena adanya Keyano?

"Kalian kenapa ngumpul di sini?" Gema muncul, tersenyum pada bertanya pada Tania. "Ayo, ke atas. Jangan di sini, nanti menantu miskin itu iri kalau lihat perhiasanku."

"Wah, Gema. Kamu ngatain aku menantu miskin sama saja ngatain suamiku. Emangnya kamu nggak tahu kalau suamiku yang memberi jatah? Ckckck, kalau begitu uang yang diberikan Tommy untukku kurang. Buktinya kalian berani mengatakan aku miskin," gumam Diandra sambil menggeleng. "Kasihan suamiku, kurang kaya di mata keluarganya."

Kali ini gilaran Gema yang emosi. Melotot marah pada Diandra. "Apa katamu tadi? Sengaja ingin memancing pertengkaran antara aku dan Kak Tommy? Nggak akan berhasil, Say. Tahu kenapa? Karena Kak Tommy sangat dekat denganku!"

"Oh, suamiku dekat denganmu? Sepertinya benar, tapi nggak sama keluarganya. Apa kamu tahu kalau dua Minggu lalu suamiku bermesraan dengan perempuan bernama Cindy di sebuah bar?"

Wajah Merry dan Tania memcuat sedangkan Gema mengernyit bingung.

"Kamu pasti nggak percaya tapi suamiku akan bersaksi untukku. Kenapa harus Cindy? Kalau memang keluarga Tommy ingin kamu menjadi istri? Bukankah harusnya mereka menyodorkan kamu dan bukannya Cindy. Ngomong-ngomong apa kamu tahu kalau Cindy temannya Tania? Ckckck, Gemaaa. Kasihan kamu, ya? Nggak dianggap sama mereka, sama sepertiku."

Menunggu hingga nyala api yang dijaganya membesar dan menghanguskan rumah ini, Diandra menunduk masih dengan pisau di tangan. Gema menggeram marah ke arah Tania dan berdebatan panas pun dimulai.

"Tania, apa benar yang dikatakannya? Kamu mengenalkan cewek murahan itu pada Kak Tommy?"

"Gema, dengarkan aku. Yang sebenarnya terjadi adalah—"

"Kurang ajar kamu Tania. Selama ini aku baik sama kalian. Memberikan perhiasan dan apa pun yang kalian inginkan karena memang aku ingin menjadi bagian dari keluarga ini. Saat kalian membuat rencana itu, kenapa nggak melibatkan aku? Kenapa justru menyodorkan perempuan lain?"

"Gema, kamu salah paham!"

"Oh ya? Bagian mana aku salah paham? Kalian semua pengkhianat!"

Nyala api benar-benar meledak dan menghancurkan rumah ini saat Gema tidak berhenti memaki Tania. Gadis itu berasal dari keluarga kaya yang bisa dikatakan adalah aliansi dari Merry dan dua anaknya. Kini Gema yang marah mengatakan akan membalas pengkhinatan Tania. Ia ingin tahu bagaimana keluarga Merry mengatasi ini. Harusnya mereka berpikir masak-masak sebelum menyerangnya. Kalau sudah begini, siapa yang akan menyelamatkan mereka dari nyala api?

Pandangan Diandra bertemu dengan Merry. Wajah mertuanya itu kaku penuh dendam. Diandra tidak mengalihkan tatapannya dan bahkan tersenyum kecil.

"Ini baru permulaaan, Mama. Nyala apinya nggak terlalu besar, hanya hangat saja. Kalian harusnya lihat bagaimana api yang besar kalau sampai sekali lagi mengusikku."

Tersedia di google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro