Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17

Kejadian malam itu menimbulkan trauma sendiri dalam diri Diandra. Ia berjengit setiap kali mendengar suara Tommy secara tiba-tiba. Bergidik tanpa sadar kala tanpa sengaja jemari Tommy menyentuh kulitnya. Ia bahkan tidak tahan bicara serta berdekatan dengan suaminya lebih dari sepuluh menit dalam kondisi hanya berdua. Selalu menginginkan ada orang lain di sekitar mereka, bisa jadi Keyano maupun Nana.

Sikap takut Diandra membuat Tommy merasakan penyesalan berkepanjangan.Sudah lepas kendali dan pada akhirnya menghancurkan kepercayaan Diandra. Ia tidak mengerti kenapa alkohol membuatnya lepas kendali dan menyerupai binatang yang ingin memperkosa istrinya sendiri. Ia berkali-kali meminta maaf dan semakin banyak kata sesal terucap, semakin diam istrinya.

"Diandra, aku mau ngasih tahu kalau Cindy dan aku hanya sekali saja bertemu. Setelah malam itu kami nggak pernah lagi berkabar. Aku juga sudah bilang sama Tania, nggak mau ketemu temannya lagi."

Dada Diandra berdebar saat nama disebut. Ia tidak bergerak dari kursinya, dengan kepala menunduk di atas piring. Tommy baru saja pulang dari kantor saat dirinya sedang makan malam dan mengeluh lapar. Mau tidak mau Diandra mengesampingkan rasa takut dan enggan untuk menyiapkan makanan bagi suaminya. Dua Minggu berlalu semenjak peristiwa malam itu dan sampai sekarang dirinya masih merasakan trauma.

Mencoba untuk tetap netral, ia bertanya pada suaminya. "Cindy itu teman Tania?"

"Ya, Tania yang mengenalkan kami."

"Kalian belum pernah bertemu sebelumnya?"

"Sudah, tapi hanya sekilas dan malam itu pertemuan kedua. Diandra, aku bersumpah sama kamu, nggak ada hubungan apa pun antara aku dan Cindy. Kamu boleh tanya Tania."

Diandra tidak menjawab, tapi tetap saja akan menuruti saran Tommy. Membicarakan dan menanyakan masalah ini pada Tania. Kalau memang keluarga Tommy menginginkan mereka bercerai, bukan begini caranya. Ia tidak bisa membiarkan dirinya dalam bahaya karena Tommy yang setiap saat bisa hilang kendali.

Mengangkat wajah, Diandra memberanikan diri menatap suaminya. Sangat tampan, memempesona, dan juga terlihat mapan bagi perempuan yang baru kenal. Tidak heran kalau perempuan bernama Cindy itu menyukai Tommy. Masalahnya adalah pertemuan mereka sengaja diatur oleh Tania dan entah rencana apa lagi yang ada di benak mereka setelah percobaan pertama gagal. Tommy menangkap pandangan istrinya dan tersenyum kecil.

"Kenapa kamu pandangi aku?"

"Sorry, lagi mikir aja," jawab Diandra.

"Mikir soal apa?"

"Kita, tentu saja. Tommy, kenapa memaksakan diri bertahan kalau memang kita nggak mungkin bisa bersama lagi? Kenapa nggak kita akhiri saja?"

"Nggak akan!" Tommy menjawab tegas. "Aku mungkin laki-laki brengsek. Bukan suami yang baik buat kamu dan sering bikin kamu takut. Tapi, aku nggak menyerah untuk membuat pernikahan kita berhasil. Diandra, aku minta maaf kalau sudah bikin kamu takut atau luka, tapi sekali lagi aku bilang, tolong beri aku kesempatan untuk pernikahan kita."

Diandra menuntaskan makannya, bangkit dari kursi menuju wastafel dan mengucurkan air dari kran untuk membasahi pirring. Matanya terpaku pada pancaran air yang membasuh sisa makanan di piring. Seandainya saja semua ketakutan dan kesalahan bisa terhapus dengan mudah seperti halnya air yang sedang mengalir sekarang, mungkin rasanya tidak akan sesakit ini. Tapi, bukankah air masih membutuhkan cairan pembersih untuk membantunya? Lalu bagaimana dengan dirinya? Siapa yang bisa membantunya melewati hari-hari pernikahan yang suram kalau bukan dirinya sendiri?

Bagi Diandra, kalau tidak ada Keyano, rumah ini akan sangat sepi. Kehadiran bayi itu secara tidak langsung memberi warna dalam hidupnya. Selain itu, belajar hukum juga membantunya untuk tetap bertahan di bawah tekanan keluarga Tommy. Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri dan juga mereka, kalau mampu berdiri di atas kaki sendiri dan tidak mengandalkan suaminya yang kaya. Memang sekarang ia membutuhkan uang Tommy, tapi kelak tidak akan ada lagi kasus seperti itu.

"Tommy, apa kamu nggak pingin cari Reena di USA? Aku dengar mantanmu itu menghubungi Hazel."

Pertanyaan Diandra yang diucapkan dengan begitu tenang di dekat wastafel membuat Tommy tercekat. Ia menandaskan makanan sebelum seleranya menghilang. Menatap sosok istrinya yang bicara tentang perempuan lain dengan begitu tenang, entah kenapa itu tidak membuatnya nyaman.

"Kamu ingin aku kembali pada Reena?" tanyanya.

Diandra menggeleng perlahan. "Kembali atau nggak, itu keputusanmu. Aku nggak akan ikut campur sama urusan pribadimu. Maksudku adalah, kalau kamu memang membutuhkan perempuan yang cocok untuk mendapingimu, menjadi pasangan yang setara, kenapa kamu nggak cari Reena?"

"Diandra, di hari aku bawa Keyano ke dalam pelukanmu, dalam hati aku sudah berjanji akan melupakan Reena. Kamu harus tahu kalau kata-kataku benar."

"Mungkin, hanya kamu yang tahu kebenarannya. Aku cuma nggak mau jadi pelampiasan nafsumu, Tommy. Sudah semestinya suami mendapatkan pelayan dan dukungan penuh dari istri. Aku nggak bisa ngasih kamu itu, karenanya, kamu bisa cari Reena."

"Nggak akan! Aku masih percaya kalau pernikahan kita akan berhasil. Aku memang brengsek dan kurang ajar, tapi tetap menginginkan perempuan baik untuk anakku. Diandra, kamu adalah mama terbaik bagi Keyano."

"Hanya ibu yang baik tapi bukan pasangan yang baik bukan?"

Kata-kata Diandra membuat Tommy melongo, lalu menggeleng perlahan. "Nggak, kamu juga pasangan yang baik. Aku saja yang terlalu bodoh."

Diandra menganggap itu adalah pujian untuknya. Meski begitu, ia tetap bersikap waspada pada Tommy. Tidak mudah menghilangkan trauma. Setelah Tommy mengatakan kalau Cindy adalah teman Tania, beribu rencana terpeta di otaknya. Sudah waktunya memberi pelajaran pada gadis itu agar lain kali menaruh hormat pada orang lain. Ia yakin kalau nomor tidak dikenal yang mengirim foto ciuman Cindy dan Tommy, itu adalah ulah Tania. Ia tidak akan membiarkan gadis itu bersenang-senang di atas ketakutannya.

Bagaimana cara memberi pelajaran pada Tania tanpa terlihat dan terbaca? Bagaimana agar gadis itu bisa merasakan kemarahan sama seperti dirinya? Diandra merencanakan semua hal, termasuk melibatkan keluarga Tommy. Ia akan membuat mereka secara tidak langsung membantunya.

Tommy yang dideras rasa bersalah, bersikap sangat baik dan perhatian pada Diandra. Ia tidak ingin rumah tangganya hancur, meskipun tidak bisa mendapatkan tubuh Diandra. Tommy percaya kalau suatu hari nanti hati istrinya akan melunak. Tidak lagi dingin dan keras padanya. Ia mengungkapkan semua perasaannya pada Hazel. Suatu hari ia menelepon sahabatnya itu dan menumpahkan unek-uneknya.

"Malam itu nyaris saja aku tidur dengan Cindy kalau saja nggak cepat-cepat pulang."

Hazel berdecak keras. "Gila, lo, ya! Udah tahu di klub, masih main-main sama cewek. Lupa kalau ada istri?"

"Nggak lupa, tapi rayuan Cindy sangat gencar. Aku sampai bingung gimana nagkisnya."

"Tommy, binimu itu perempuan yang baik. Diandra juga pintar dan berbakat. Jangan sampai kamu menyesal kalau kelak kehilangan dia. Orang sabar juga ada batasnya, dan para perempuan terutama punya memoro kuat untuk menyimpan segala kesalahan kita."

"Aku bingung."

"Aku juga nggak kalah bingung sama kamu. Tapi, kalau aku jadi kamu, akan berusaha bagaimana agar istri kembali percaya. Nggak akan mudah, tapi nggak ada salahnya untuk tetap mencoba."

Nasehat bijaksana dari sahabatnya membuat rasa bersalah Tommy pada Diandra makin besar. Ia mengakui sudah bertindak dengan sangat tidak bijaksana. Membiarkan Diandra menjadi ketakutan seperti sekarang. Rasanya ingin mengulang waktu saat pertama menikah dan menjadikan semuanya lebih baik dari sekarang. Tapi, siapa yang menyangka akan seperti ini?

"Seandainya dulu aku nggak terjebak rayuan Reena, mungkin sudah bahagia dengan pernikahanku."

Terdengar tawa dari Hazel membuat Tommy mengernyit karena merasa diejek. "Kenapa? Lucukah?"

"Memang!" jawab Hazel tanpa basa-basi. "Kita semua tahu itu hal yang nggak mungkin. Karena semua orang di dunia tahu kalau kamu dan Reena tergila-gila satu sama lain. Kalian berdua pasangan yang saling tarik menarik, saling menyakiti tapi selalu kembali bersama. Bro, saat kamu menikah dengan Diandra, sudah menempatkan istrimu dalam masalah besar. Sekarang kamu berharap itu nggak terjadi? Rasanya nggak mungkin."

"Pembelaanmu pada Diandra bikin aku bingung, sebenarnya yang teman kamu itu aku atau istriku!"

"Both of you."

Jawaban lugas serta cepat dari Hazel membuat Tommy berpikir keras. Tidak biasanya sahabatnya begitu mudah menjalin keakraban dengan orang lain, terutama pihak perempuan. Ternyata memang Diandra orang yang mudah untuk dicintai, hanya dirinya yang terlalu bodoh untuk menyadari. Diandra yang cantik dan lembut tapi secara bersamaan sangat kuat dengan pendiriannya adalah perempuan yang setia mendampingi. Sayangnya, ia menyia-nyiakan itu demi mengejar Reena yang ternyata membuatnya patah hati.

**

Diandra menyusun segudang rencana di benaknya, meliputi tentang kegiatan belajarnya sampai urusan rumah tangga. Untuk sementara ia merasa tenang tentang kondisi neneknya, karena semenjak dirawat oleh Sonya, neneknya menjadi semakin sehat. Sonya juga sering mengajak Kamirah keluar untuk ikut senam orang tua atau kegiatan lain macam bernyanyi bersama di taman. Diandra gembira dengan kondisi neneknya.

Sonya masih bekerja sebagai agen asuransi, ingin menghasilkan uang sendiri meskipun Diandra memberinya uang. Prinsip perempuan itu yang tidak memanfaatkan keadaan membuat Diandra salut, karena berbanding terbalik dengan sikapnya yang berusaha mengeruk sebanyak mungkin keuntungan dari Tommy. Apakah dirinya terlalu serakah? Diandra mengakui memang benar adanya. Tidak menampik kalau memanfaatkan kelemahan Tommy, yaitu Keyano demi materi yang tidak sedikit. Ia cukup mengatakan pada Tommy dan Fakri kalau ingin bekerja di luar dan mereka akan menggelontorkan banyak uang untuk menyurutkan keingiannnya. Sebuah timbal balik yang cukup bagus, kalau saja ia tidak takut dengan suaminya sendiri.

Keberuntungan datang saat Diandra menerima panggilan dari Lestari. Perempuan tua itu mengajaknya makan siang dan ingin bertemu Keyano. Diandra menerima dengan suka hati.

"Nenek, kenapa nggak manggil Gema sekalian biar ramai?"

"Gema? Tumben kamu mau ketemu dia? Bukannya sikapnya nggak baik sama kamu?"

"Nggak apa-apa, Nek. Gema benci aku karena Tommy. Lagian sekarang ada Keyano. Nggak mungkin dia tetap benci. Aku mau berteman sama dia Nenek."

"Baiklah, nenek undak dia. Kamu memang anak baik."

Setelah menelepon Lestari, kali ini giliran Diandra meminta ijin pada Tommy. Sabtu siang harus ke rumah orang tua karena janji makan siang. Reaksi Tommy tentu saja terkejut.

"Kenapa aku nggak tahu soal ini?"

"Sekarang aku ngasih tahu kamu."

"Kamu kalau nggak nyaman, mending nggak usah pergi."

"Nggak masaalah, aku bisa kok. Ada Nenek juga. Mereka kangen juga sama Keyano."

Diandra bersikap tenang dan tersenyum pada Tommy. Akan lebih bagus bagi rencananya kalau Tommy tidak ikut acara makan siang itu dan ternyata doanya terkabul. Suaminya yang berencana ikut karena kuatir dengan keberadaan istrinya yang mungkin akan menjadi bulan-bulanan keluarganya, ternyata mendapatkan panggilan darurat dari kantor dan mengharuskannya untuk pergi. Tentu saja sebagai istri yang baik, Diandra berusaha untuk menenangkan suaminya. Berjanji kalau ia akan baik-baik saja.

"Lagipula, kenapa kamu takut? Di sana itu rumahmu dan mereka itu keluargamu."

"Diandra, kamu jangan berpura-pura tidak tahu karakter mereka bukan?"

"Waktu Tania datang, aku bisa mengatasi dengan baik. Apalagi ada Nenek nanti. Tenang saja, aku akan baik-baik saja. Mana tahu setelah aku berusaha untuk bersikap baik, mamamu akan makin sayang sama aku?"

Sebenarnya itu harapan kosong belaka, Diandra juga paham itu. Tidak mungkin Merry dan dua anaknya akan berubah dalam sekejap. Namun, ia diharuskan untuk berani mengambil resiko. Mereka sudah berusaha menyakitinya dan ia tidak akan tinggal diam.

"Apakah saya harus ikut, Nyonya?" Nana bertanya pada Diandra di Sabtu pagi. Pengasuh itu merasakan kekuatiran karena Diandra harus pergi seorang diri.

Diandra menimbang-nimbang sesaat lalu mengangguk. "Nana, lebih baik kamu ikut. Kamu bisa jaga Keyano, karena takutnya aku akan sibuk menemani Nenek."

Senyum merekah di bibir Nana. "Saya akan bersiap-siap, Nyonya."

Dengan Keyano dalam gendongan, keduanya pergi ke rumah Merry. Mereka adalah kerabatnya, tapi rasanya seperti akan masuk ke tiang gantungan dengan Merry sebagai algojonya. Diandra mencoba tenang, mengatakan dalam hati kalau semua akan berjalan sesuai rencana.
.
.
Di Karyakarsa update bab baru

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro