Bab 1
Cuaca sedang cerah dengan angin sepoi-sepoi menyegarkan, di senja yang temaram. Dua keluarga duduk berhadapan di meja panjang sebuah restoran. Mereka menggunakan room VIP untuk makan dan bertukar cerita. Perbedaan jumlah anggota keluarga terlihat jelas di kedua sisi. Dua orang duduk berhadapan dengan tujuh orang, meski begitu para orang tua tetap bergembira dan tertawa kala bicara.
"Senang rasanya, akhirnya kita bisa menjadi besan, Jeng." Seorang nenek berambut putih dengan pakaian sederhana berupa gamis panjang warna abu-abu. Bicara pada sepasang laki-laki dan perempuan tua di depannya. "Nggak nyangka, kalau perjodohan kita akhirnya terlaksana."
Perempuan tua di depannya membalas tawa dengan mata berbinar, begitu pula sang suami yang duduk tepat di sampingnya. "Dulu aku mikir, anak-anak kita akan menikah. Siapa sangka ternyata anak kita laki-laki. Sekarang, yang melakukan perjodohan adalah cucu kita. Sungguh luar biasa."
Berbeda dengan para orang tua yang tertawa, anak-anak muda justru sedang menunduk dengan wajah masam. Sama sekali tidak ada niat untuk mereka ikut bicara. Para anak muda dengan sikap tidak peduli, makan dengan malas-malasan hidangan yang tersedia di meja.
Diandara tidak dapat menyembunyikan senyumnya, menatap orang-orang yang kelak akan menjadi keluarganya. Hari ini sang nenek mengajaknya datang ke restoran ini rupanya untuk mengesahkan pertunangan. Ia tidak menyangka kalau calon suaminya ternyata tampan dengan wajah persegi, hidung mancung, dan rambut tersisir rapi. Tommy nama laki-laki itu, sekilas terlihat seperti aktor Irwansyah. Ini pertama kalinya Diandra bertemu calon suaminya dan hatinya bergetar dalam rasa bahagia.
Ia mencuri-curi pandang pada Tommy, tapi laki-laki itu sibuk dengan ponselnya. Mengalihkan tatapan pada dua gadis di sampig Tommy. Yang berumur dua puluh tahun bernama Tania, anak nomor dua yang sudah bekerja sebagai beauty consultant. Tidak heran kalau penampilannya sangat glamour, cantik, serta anggun. Dengan minidress kuning emas yang membuatnya seolah bercahaya. Berada di samping Tania, membuat Diandra seperti gembel lusuh.
Anak bungsu bernama Tantri yang masih kuliah. Gadis itu berkali-kali menatap Diandra dengan pandangan tidak suka. Sikapnya tidak menunjukkan keramahan, seolah setiap gerakan Diandra membuat Tantri marah. Untuk menghadapi gadis seperti itu, Diandara hanya perlu bersikap ramah.
"Diandara, Sayang. Apakah kamu siap menikah?" Lestari, nenek dari Tommy bertanya pada Diandra dengan suara penuh harap.
"Tentu saja, cucuku mau, Jeng." Yang menjawab adalah Kamirah, nenek Diandra. "Dari kecil aku sudah beritahu cucuku, bahkan kelak akan menikah dengan laki-laki tampan pilihan nenek dan kakeknya."
Saat itulah, perempuan setengah baya dengan rambut disanggul menatap padanya. Perempuan itu tidak membalas senyum yang dilontarkan Diandara. Ibu dari Tommy bernama Merry, seorang perempuan karir dengan sikap angkuh tapi anggung seperti anak gadis tertuanya, Tania. Diandra merasa kagum pada para perempuan yang tercipta seolah berasal dari kaum bangsawan.
Tommy mengangkat wajah dan pandangan mereka bertemu. Diadra melemparkan senyum dan laki-laki itu kembali menunduk, seakan tidak melihatnya. Diandra membuang segala pikiran buruk untuk sikap Tommy. Bisa jadi laki-laki itu memang pendiam dan tidak banyak kata. Tidak masalah, kelak saat menikah dirinya yang akan menjadi cerewet. Dengan begitu rumah mereka akan damai karena pasangan suami istri punya sifat bertolak belakang.
"Kalau begitu, pernikahan sudah fix? Nggak berubah lagi, Bu?" Yang bertanya adalah Fakri, ayah dari Tommy. "Sedari dulu, aku dan Mas Efendi memang sudah berencana menikahkan anak-anak kami, dan syukurlah terlaksana. Diandra, kamu akan menjadi bagian dari keluarga kami, Nak."
Sapaan ramah calon mertuanya menghangatkan hati Diandra. Setelah berhadapan dengan para perempuan yang terlihat judes, serta Tommy yang pendiam, sapaan Fakri membuat Diandra terlonjak senang. Pernikahan ini adalah perjodohan, ia menerima segala keputusan sang nenek, karena tahu untuk kebaikannya. Ia tidak akan mengelak dari perjodohan yang sudah dibuat bahkan dari dirinya belum lahir.
"Kalau begitu, pertunangan ini kita sahkan. Tommy, kamu sematkan cincin yang kita bawa ke jari Diandra."
Sebuah pertunangan yang sangat sederhana terjadi, Tommy bangkit dari kursi dan menghampiri tempat duduk Diandra. Mereka berdiri berhadapan dan Tommy menyematkan cincin berlian di jari manis Diandra tanpa kata-kata dan juga senyum. Yang bertepuk tangan justru para orang tua. Diandra mengulum senyum bahagia, hari ini ia menjadi tunangan dari seorang laki-laki tampan. Acara pernikahan akan digelar dua bulan dari sekarang dan semua persiapan akan dilakukan keluarga Tommy. Diandra cukup duduk manis dan hanya menyiapkan kebaya pengantin saja.
"Mari kita berdoa, Jeng. Semoga acara nanti lancar," ujar Kamirah.
"Amiin, selain acara lancar kita pun sehat," sahut Lestari dengan terkekeh.
Suami Lestari yang bernama Gunanda pun ikut senang. "Bahagiaa, akhirnya aku bisa menepati janjiku pada sahabat sehidup sematiku, Zulki."
Mereka bersiap pergi saat Tommy menerima panggilan dan meminta ijin pada semuanya untuk pergi lebih dulu.
"Pa, Ma, ada urusan mendesak. Aku pergi dulu."
Tommy bahkan tidak memandang Diandra saat bergegas pergi dan melewati tempat duduknya. Senyum Diandra perlahan memudar. Ia mengusap cincin di jari manis saat Fakri memanggilnya/
"Diandra, tas Tommy ketinggalan. Apa bisa kamu mengantar ke tempat parkiran."
"Iya, Om. Bisaa."
Tanpa diminta dua kali, Diandra mengambil tas dari tangan Fakri dan pergi menyusul Tommy. Ia berjalan secepat mungkin menuju lobby hotel. Mendapatkan informasi dari penjaga lift kalau Tommy menuju lantai basement. Diandra berharap bisa menemukan Tommy dan menyerahkan tas hitam. Keluar dari lift, ia berlari ke arah parkiran, celangak-celinguk mencari sosok calon suaminya di parkira bawah tanah yang tidak ramai. Sedikit bingung karena ada ratusan mobil terparkir. Ia berjinjit untuk melihat situasi lebih jelas hingga akhirnya menemukan sosok laki-laki berjas hitam seperti Tommy.
"Itu dia, Kak Tommy, hei!"
Diandra setengah berlari menyeberangi lorong dan nyaris tidak mendengar saat ada kendaraan mengebut dari pintu masuk parkiran. Diandra tersentak undur kala merasakan mobil itu hampir menyerempetnya. Ia terduduk di dekat pintu kaca dengan dada berdebar keras. Bersyukur sempat mundur sebelum terjadi apa-apa.
"Kaak, kamu baik-baik saja?" Mobil abu-abu yang hampir menabraknya berhenti di ujung lorong yang sepi dan pengemudinya berteriak saat pintu membuka lalu setengah berlari mengahmpirinya. "Aku minta maaf karena mengebut. Bagamana? Ada yang luka."
Menggeleng perlahan, Diandra bangkit dengan kaki sedikit gemetar. "Aku baik-baik saja."
"Benarkah? Nggak perlu ke rumah sakit?": tanya laki-laki itu dengan mimik kuatir. "Aku bisa mengantarmu."
"Nggak usah, aku hanya kaget."
Berdiri berhadapan dengan laki-laki berkemeja biru, Diandra tidak menyadari saat mobil Tommy melewatinya. Laki-laki itu sibuk bicara di ponsel dan tidak melihatnya. Setelah menerima permintaan maaf dari pengendara yang hampir menabraknya, Diandra kembali melanjutkan pencarian. Sayangnya tidak membuahkan hasil dan ia ke atas dengan wajah ditekuk karena kecewa.
**
Setelah pertunangan dilakukan, Diandra sama sekali tidak pernah bertemu Tommy lagi. Meskipun mereka bertukar nomor ponsel, laki-laki itu tidak pernah menghubunginya. Ia selalu menguatkan diri sendiri dengan mengatakan kalau calon suaminya sibuk. Meskipun hatinya sedikit kuatir atas sikap Tommy, tapi wajah bahagia sang nenek karena dirinya akan menikah membuatnya menahan diri. Sumur hidup setelah orang tuanya meninggal baru kali ini melihat neneknya semringah. Merawat dirinya seorang diri bukan hal mudah untuk neneknya yang sudah lanjut usia. Diandra berjanji untuk tidak membuat neneknya menangis.
"Kalau nanti menikah, Nenek mau tinggal sama aku?"
Kamirah menggeleng. "Nggak, nenek tetap di sini. Ada Bi Ani yang menemani. Kamu harus tinggal di rumah suamimu, mertuamu sudah menyiapkan tempat tinggal kalian. Mereka adalah orang-orang yang baik, Diandra."
Teringat tentang sikap keluarga Tommy yang seakan memandang rendah dirinya, Diandra tudak berkomentar perkataan sang nenek. Tapi harus diakui kalau kakek, nenek, serta papaya Tommy sangat baik. Diandra optimis kalau sikap mereka akan berubah setelah menikah nanti. Ia menjadi istri yang baik dan tulus bagi Tommy.
"Lo mau nikah tapi masih sibuk kerja."
Anika, sahabat Diandra bersungut-sungut melihatnya menata dokumen. Diandra tertawa renyah. "Mau menikah juga butuh duit."
"Iya, sih. Bukannya laki lo kaya?"
"Yang kaya dia, bukan aku."
"Tapi, setelah nikah lo tetap mau kerja?"
"Tentu saja."
Diandra tidak akan melepaskan impiannya untuk menjadi pengacara. Sementara ini ia hanya menjadi paralegal di kantor pengacara, dan lebih banyak mengerjakan pekerjaan adminstrasi. Karena untuk menjadi pengacara sungguhan, ia harus mengikuti ujian dan juga belajar lagi. Ia belum ada uang dan waktu itu itu.
Anika menggeleng tapi tidak melanjutkan perkataannya. Di kantor ini semua orang tahu Diandra tergolong pintar dan rajin, tapi nasib baik belum menghampiri. Menjadi paralegal hampir dua tahun, sudah bekerja keras, sayangnya kalau ingin jadi pengacara uang yang dibutuhkan sangat besar.
"Sudah siapkan kebaya pengantin?"
"Semua sudah siap, satu set lengkap dengan sepatu dan aksesoris."
"Diih, iri gue. Enak amat nggak perlu cari pacar, ketemu laki-laki langsung nikah. Mana calon lo udah tampan, kaya pula."
Keduanya bertukar tawa dan hati Diandra berbunga-bunga. Untuk pernikahan ini memang bisa dikatakan dirinya sangat beruntung dan tidak perlu dipungkiri soal itu. Anika dan teman-temannya yang lain kesulitan menncari pasangan sedangkan dirinya yang tidak pernah berpacaran justru akan menikah lebih dulu.
Waktu berlalu dengan cepat, hari pernikahan yang sebelumnya terasa masih jauh, kini sudah ada di depan mata. Diandra mengajukin cuti selama seminggu untuk mengurus masalah pesta tapi sayangnya, tidak banyak yang bisa dilakukan karena semuanya diurus oleh keluarga Tommy.
"Kamu hanya perlu datang ke gedung dan berdandan cantik, Diandra," ujar Lestari saat datang ke rumah seminggu sebelum pernikahan dan membawa kebaya Diandra. "Kami akan mengatur semuanya, demi pernikahan kalian. Ini adalah hal yang menyenangkan bagi kami."
Meskipun tidak punya andil untuk menentukan dekorasi, dan semacamnya, Diandra tidak merasa kecewa. Ia mengerti posisinya yang hanya menantu miskin. Orang tua Tommy yang kaya raya pasti punya pilihan tersendiri yang terbaik.
Di hari pernikahan, Diandra membawa neneknya kegedung menggunakan taxi. Mereka tidak mengundang kerabat karena memang tidak punya banyak keluarga. Teman-teman Diandra akan datang siang. Hanya berdua dengan si nenek yang sepanjang jalan tidak berhenti berceloteh bahagia. Apakah dirinya sedih? Sebagai pengantin miskin dan yatim piatu? Tentu saja iya, bagaimana pun ingin punya pendamping lengkap di saat penting begini. Tapi kehadiran neneknya adalah anugerah tersendiri untuk Diandra.
"Gedunya bagus, mewah, dekorasinya cantik. Diandra, kamu beruntung, Nak."
Kamirah menatap cucu semata wayangnya dengan bahagia. Ia baru saja berkeliling saat Diandra sedang dirias.
"Nenek suka?" tanya Diandra.
"Sangat, nenek nikah sama kakekmu dulu sangat sederhana."
Diandra senang mendengarkan cerita si nenek, untuk menghilangkan kegugupan. Ia sudah dirias sangat lama dan keluarga Tommy belum ada yang muncul. Apakah mereka tidak ingin melihatnya atau sibuk dengan hal lain? Pihak MUA bertanya apakah pengantin laki-laki tidak ingin dibantu berganti pakaian? Diandra tidak punya jawaban dan membuat MUA bingung.
Setelah dirinya rapi dan bersiap ke gedung, Lestari muncul. Perempuan itu memakai kebaya merah muda dan tertawa lirih saat melihat Diandra.
"Calon cucu mantuku, sangat cantik, dan anggun. Ayo, kita keluar. Waktunya untuk menikah."
Berjalan perlahan dalam genggaman Kamirah dan Lestari, Diandra menuju tempat pernikahan. Sekarang ia mengerti kenapa neneknya begitu terkesan, ruapnya dekorasi memang sangat mewah dan megah. Untaian bunga, kain tule, serta lampu gantung membaut langi-langit gedung terlihat indah. Orang-orang berdiri dari kursi mereka saat melihatnya datang.
Diandara melangkah perlahan menuju pelaminan dalam balutan kebaya pengantin putih. Tidak dapat menahan senyum saat melihat sosok Tommy berdiri menunggunya. Ketakutannya tidak beralasan, Tommy ada di sini dan bersiap menikah dengannya. Dada berdebar keras dengan jantung berdetak tidak karuan. Anika melemparkan ciuman di udara untuknya. Saat mencapai tempat Tommy berdiri, kebahagiaan melimpah dalam diri Diandra.
Tidak ada pujian atau pun kata-kata dari Tommy. Hanya menyapu sekilas pada wajah dan tubuh Diandra lalu mengalihkan pandangan ke depan. Tidak terlihat seperti pasangan pengantin yang bahagia. Diandra menekan rasa takutnya. Sekarang ini akan menjadi istri dari seorang laki-laki, tidak peduli bagaimana sikapnya sekarang, kelak pasti berubah. Bukankah batu karang bisa hancur dengan tetesan air? Begitu pula Tommy, dan ia yakin hati suaminya akan melembut seiring berjalannya waktu. Saat kata sah terucap, semua orang bertepuk tangan bahagia, kecuali pengantin laki-laki.
.
.
Kisah mengharu biru ini di Karyakarsa sudah tayang 4 part.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro