Chapter 37 : Because Love
Rani masih merenungi perkataan Iqbal. Dengan jelas Iqbal berkata bahwa Panji adalah kakaknya. Lelaki itu juga menasehatinya bahwa anak hasil di luar nikah putus nasab dari ayahnya. Itu berarti Agi tak bisa masuk dalam keluarga Panji sedikit pun. Memikirkan itu saja membuat Rani merasa sedih dan kotor. Baru kali ini ia memyesali perbuatannya yang menjijikkan di masa lalu.
"Kalo kamu mau, aku akan bawakan dia untukmu. " suara seorang lelaki yang sangat dikenalnya terdengar dari belakang Rani. Wanita itu tak terkejut melihat orang yang sangat dibencinya tersenyum dengan penuh kesombongan. "Siapa? Panji? Atau gebetan baru kamu itu? "
"Kamu itu ngomong apa sih? Otak kamu nggak waras Jun! " Rani berkata dengan sarkas. Ia benar-benar tak bisa menahan rasa sesak dan marah saat berhadapan dengan Juna.
"Nggak waras? Siapa yang lebih nggak waras? Saya? Atau kamu yang mengejar-ngejar Cinta masa lalu? Kamu itu bukan apa-apa dalam hidup Panji. Aku yakin, dirimu itu menjijikan. Bahkan dia nggak mau melihat kamu walau sekilas pun. Itu sebabnya dia langsung ngilang seperti pengecut dulu." Arjuna memprovokasi.
"Kalau saja aku nggak percaya kamu Jun. Kamu udah suntikan obat ke kue yang kuberikan pada Panji kan? "
Arjuna tampak berfikir, mengingat memori otaknya yang bobrok perihal memori masa lalu. "Masa sih? Bukannya kamu juga yang tergila-gila sama kepolosannya Panji? Jangan sok suci deh. "
"Udah Jun! Disini ada Agi! "
Sedari tadi Agi hanya bete mendengar perdebatan kedua orangtuanya. Anak sekecil ia selalu takut kalau terjadi perang lagi antara orang tuanya. Anak mana yang nyaman tinggal bersama orangtua yang sering bertolak belakang?
"Hai Agi? Pulang yuk sama papa?! " sapa Arjuna dengan lembut.
Tetapi Agi diam saja, memalingkan muka.
"Juna, aku mau ikut pulang sama kamu. Asal ada satu syarat. "
"Apa? "
"Syarat itu nggak bisa aku bilang disini. Kita bicara di tempat lain! Tanpa Agi dulu! " tegas Rani.
"Ok. " Juna akhirnya menyetujui.
Rani mengelus kepala Agi. Ada perasaan sesak yang memenuhi rongga dadanya. Perasaan bersalah, dan sedih luar biasa. Tetapi keputusan kilat yang diambilnya ia rasa cukup setimpal dengan masa depan Agi yang dipertaruhkan. Ia akan memilih walaupun pilihannya sepahit buah simalakama. Semua tak dirasa manis baginya. Di dunia saja ia merasakan kekejaman Neraka. Apakah di dunia sana ia akan disiksa lagi oleh Yang Maha Kuasa?
"Mama sama Papa bicara dulu ya Gi? Kamu disini dulu. "
Rani mengajak Arjuna keluar dari Museum.
"Kita mau bicara di mana? Kamu tega ninggalin Agi sendiri di sana? "
Rani tak menjawab pertanyaan Juna. Ia terus melangkah tanpa tujuan di tepi jalan. Karena kesal tak dijawab Juna menarik pergelangan Rani kasar. "Kamu denger kan Ran? "
Pandangan Rani nanar. "Aku sadar Jun. Aku cinta kamu. " lirih, Rani mengucapkan kata itu.
Arjuna terheran. Bahkan saat airmata Rani menetes, ia tak tahu apa arti airmata itu. Ia terus memandangi Rani yang juga menatapnya sambil menangis.
"Aku cinta kamu. Selama ini, kita udah bersama di dunia, dan mungkin juga di alam setelah dunia ini kita juga akan sama-sama. "
"Ran, kamu emang baru sadar? "
"Ya. Maafin aku." Rani memeluk Juna bersamaan dengan sebuah benda berukuran 10 cm yang menembus dada kiri lelaki itu.
Juna terkejut saat rasa sakit yang sangat mengoyak rongga dadanya. Nafasnya mulai berat saat banyak darah menguar dari lubang di dadanya. Rasanya sangat sakit. Jantungnya seakan dicabik cabik dari dalam. "perempuan gila!! " pekik Juna
"Tenang saja Jun. Aku akan menyusulmu. "
Kehebohan mereka berdua menyedot banyak perhatian di sekitar.
"Aaaa... Penusukan! "
"Apa ini? Cepat hubungi polisi!"
"Hubungi rumah sakit terdekat! " dengung orang-orang di sekitar. Sementara Rani masih bergeming memandang Juna yang menggelepar kesakitan. Nyawanya sudah diujung tanduk karena banyak darah yang bertumpahan. Bahkan untuk bernafas Juna merasa kesulitan.
"Pak, Pak! Bertahan dulu pak! Ambulance akan datang! " kata pemuda yang menahan darah yang menguar dari lubang di dada kiri Juna dengan kemejanya sendiri yang dilepasnya. "Bertahan Pak! Cepat, mana ambulannya? " tanya pemuda itu pada temannya.
"Sudah kutelefon Bar. Tapi jaraknya enam kilo dari sini. Itu sudah yang paling dekat. "
"Enam kilo, sekitar 5 menit. Tapi dalam waktu lima menit itu, orang ini bisa kehilangan banyak darah!"
"Tapi bahaya kalau kita bawa ke rumah sakit sendiri. Paling tidak dengan paramedis dia bisa mendapat pertolongan pertama! " dua pemuda itu malah berdebat.
Ambulance dan mobil polisi datang bersamaan, namun saat ditangani di ambulance nyawa Arjuna tak terselamatkan. Sementara Rani dituntun polisi untuk dimintai keterangan dan dituntut sebagai Tersangka Pembunuhan yang terencana.
***
"Dek, orangtuamu mana? " seorang petugas Museum menemui anak berusia tujuh tahun yang duduk sendirian di sebuah kursi tunggu.
"Mereka sedang keluar Pak, " jawab anak itu singkat.
Sedari tadi petugas itu terus mengawasi anak lelaki yang duduk sendiri ini. Anak lelaki tampan ini sudah duduk sendiri selama kurang lebih dua jam. Tak pergi kemanapun sekalipun. "Tapi kenapa belum kembali? "
"Mungkin banyak yang diobrolin Papa sama Mama. " jawab si anak polos.
"Namamu siapa? "
"Agi. "
"Agi ikut paman ya? Ke pusat informasi. Kita istirahat dan makan di sana. Nanti kita infokan di pemberitahuan biar orangtuamu tahu kamu dimana. "
***
"Apa hubungan anda dengan korban? " kata detektif yang mencatat kasus pembunuhan yang baru saja terjadi di depan parkiran museum.
"Istri, " jawab Rani tanpa emosi.
"Apa motif anda membunuh suami anda? "
"Cinta, "
Detektif itu tampak ragu mengetik jawaban dari Rani. "Kalau anda mencintainya, kenapa anda membunuhnya? " sergah sang Detektif heran.
"Karena kematiannya lebih baik daripada dia hidup berbuat dosa. " jawab Rani masih dengan intonasi datar tanpa secercah emosi.
Detektif itu mengusap wajahnya, tak percaya ada wanita yang tega membunuh suaminya sendiri. Walaupun sudah banyak kasus serupa dengan motif yang berbeda-beda. "Apa anda punya anak? Kenapa tidak mempertahankan hubungan kalian, minimal untuk anak kalian? "
"Anak? " Rani menggebrak meja. "Saya tidak punya anak dari si bedebah itu! Tidak! Dia bahkan tidak bisa punya anak! Hahaha.. " Rani tertawa seperti orang gila. "Anakku adalah hasil cintaku dengan lelaki yang kucintai. Sedang dia yang kubunuh adalah orang jahat! Dia jahat pak! Dia bahkan menjualku untuk kesenangannya!" kata Rani dengan emosi yang membludak. "Tolong, tolong penjarakan saya pak! " isak Rani putus asa.
"Baik bu. Tenang dulu! Kami harus cari tahu siapa yang menekan ibu sehingga melakukan kekejaman seperti ini. Kami melakukan ini untuk menolong ibu. "
"Tidak. Saya sadar pak. Saya salah! Saya mengaku! " raung Rani.
"Ya, baik bu. " kata si detektif dengan nada mengalah untuk membuat Rani tenang. Rani kemudian ditahan dilapas khusus wanita. Menunggu persidangannya.
T B C
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro