8
"Kode untuk misi 2A: Proyek Centaurus." Lucy menyeringai.
Semua yang ada di ruangan menatap Lucy yang menyeringai di tempat duduknya. "Kita akan menjadikan mereka senjata terkuat di pihak kita. Dengan metode tertentu." Lucy memainkan jari telunjuk dan jari tengahnya naik turun seperti mengutip kata tertentu itu.
"Oke, sementara itu," kakak Lucy kembali berbicara, "sisanya akan melaksanakan misi 2B." Semuanya masih menyimak.
"Jelaskan!" perintah Lucy, kakaknya mengangguk.
"Seperti yang tadi dijelaskan oleh Lucy, bahwa Pembawa Artemis berada di London. Maka, misi 2B adalah--"
"Kode: Artemis," potong Lucy.
"Ya, sisanya selain yang kusebutkan untuk misi 2A tadi bertugas untuk menyelesaikan misi pencarian Pembawa Anugerah Artemis. Namun, harap diperhatikan, pencarian ini mungkin akan sulit."
"Kenapa?" tanya Matthias.
"Hmm ... sihir pencari tidak dapat menemukan Pembawa Anugerah Artemis ... apakah Elpis Commander sudah bergerak lebih dulu dan memanipulasi aura sihirnya? Entahlah, aku belum dapat informasi lebih lanjut."
"Lalu, setelah ditemukan?" tanya laki-laki bertubuh gempal yang duduk di sebelah Monalisa.
"Membunuhnya, atau kita manfaatkan sebagai senjata, intinya kita harus merusak susunan tujuh ksatria terkuat di Elpis. Lalu bergerak menuju Tekhne yang selanjutnya, sebelum memasuki Perang Besar."
Seluruh penghuni ruangan mengeraskan wajahnya, ini benar-benar akan menjadi perang besar seperti yang sudah-sudah, tujuan mereka adalah tempat di mana mereka berasal. Sekarang saatnya misi-misi untuk menggapai visi itu dilaksanakan.
"Kuharap kalian yang terpilih melaksanakan kedua misi ini tidak mengecewakan. Kami butuh berita bagus berupa 'misi berhasil dilaksanakan'. Sejauh ini, ada yang kalian tanyakan?"
Semuanya menggeleng dan menyatakan tidak.
"Nah, dengan begini, bisa aku anggap semua telah siap untuk menyambut perang yang akan datang." Lucy menandang sekelilingnya dengan nafsu membunuh yang kental.
"Tidak ada jalan mundur bagi kalian," Lucy menyeringai, "dan kemenangan tinggal beberapa langkah lagi di depan kita." Lucy dan kakaknya saling memandang, lalu mengangguk.
"Baiklah, rapat dibubarkan!" Lucy dan kakaknya berjalan ke luar ruangan, dan peserta rapat yang lain segera menjauhi meja dan melakukan teleportasi.
*
Jane segera diteleportasikan oleh Matthias langsung di gang kecil sepi di samping apartemennya, tempat yang pas untuk melakukan teleportasi karena tidak ada orang biasa yang akan menjadi saksi.
"Sampai bertemu besok, cantik." Matthias meraih dagu Jane, tetapi tangan Jane lebih cepat daripada Matthias, ia segera menepisnya dan mendecih.
"Cepatlah pulang ke mana pun tempat tinggalmu sekarang, kita punya misi yang sama-sama berat besok." Usir Jane.
"Aku akan mampir ke rumah Monalisa hari ini, 'pelayanan gratis'," balas Matthias, sebelum mengeluarkan lingkaran sihir dan menghilang di hadapan Jane.
Sepeninggal Matthias, ia segera masuk ke lobi apartemen dan menyapa pengurus apartemen yang sedang asyik menonton pertandingan bola. Apartemennya hanya terdiri dari tiga lantai dan kamar Jane ada di lantai dua, tidak ada lift dan kemungkinan ia bakal malas menaiki tangga banyak-banyak membuatnya memilih lantai dua untuk ditinggali--selain karena lantai 1 tidak punya jendela dan hanya memiliki dua ventilasi di masing-masing kamarnya, serta lantai tiga yang merupakan area loteng adalah area yang panas dan berisik karena tidak diinsulasi.
Dahulu di panti asuhan yang dibuat oleh keluarga Lucy, ia juga menempati lantai dua tentu saja dengan kamar yang tiga kali lebih luas dari apartemen ukuran studionya yang berukuran tiga kali tujuh meter. Ia menyukai pemandangan dari balkon, dan entah kenapa, itu membuatnya serasa berdiri di puncak yang tinggi.
Ia memutar kunci dan berjalan masuk, sekalian tangannya menyambar sakelar lampu di sebelah kanan pintu. Saat cahaya mulai menerangi ruangannya, ia baru bisa melihat ada benda aneh di balkonnya.
Cepat-cepat ia mengambil pisau dapur dan membuka pintu kamar mandi yang kosong, lalu ia mengecek pintu geser balkon yang kuncinya juga belom dirusak. Ia mengembuskan napas lega, berarti tidak ada penyusup yang masuk, benda aneh yang berupa pesawat kertas itu mungkin hanya mainan anak-anak yang tak sengaja melayang dan mendarat di balkonnya.
Saat ia membuka lipatan kertas itu, tulisan di sana membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
"Selamat atas penaklukan Akropolis oleh Tujuh Pendosa! Namun ketahuilah, mataku bukan hanya dari Hestia. Untuk Jane, musuhmu berada paling dekat denganmu."
"Jane!" Iris menggebrak meja dan membuatnya kembali melemparnya ke posisi di mana ia berada sekarang.
Buku catatannya masih kosong, gara-gara ia sibuk berkelana tentang misi yang diberikan padanya, serta pesawat kertas itu.
"Hermes," Jane menggumam.
"Hah? Siapa?" tanya Iris.
"Ah, tidak, abaikan." Jane mengemas bukunya, meninggalkan pertanyaan untuk Iris yang sedang kebingungan.
Apa itu tadi nama pacarnya?
"Ayo ke kantin," ajak Jane, Iris mengekor, dan entah kenapa noda hitamnya perlahan mulai menimbulkan efek seperti digigit semut. Iris membiarkannya.
"Jane," panggil Iris sambil membuka ikatan rambutnya, "tadi itu siapa?" tanyanya sambil merapikan rambut panjangnya.
"Apanya?" Jane menoleh ke Iris yang ada di belakangnya.
"Hermes?" Iris berkata tidak yakin sambil mulai mengikat rambutnya lagi. Tak perlu muluk-muluk, ia lebih suka menguncir rambutnya jika sedang tidak di rumah, rasanya angin lebih bebas melewati lehernya dan terasa sejuk. Tentu saja juga lebih mudah untuk mengikat syal di lehernya saat musim gugur sudah tiba.
Jane tertawa mendengkus, "Tiba-tiba saja aku bermimpi aneh, bertemu seorang pria yang mengenalkan dirinya sebagai Hermes." Tentu saja Jane berbohong.
"Kau habis membaca Percy Jackson memangnya?" tanya gadis itu pada Jane.
"Memangnya ada Hermes?" Jane balik bertanya, Iris mengangkat bahu.
"Aku baru akan membelinya saat malam natal. Duh, aku tidak sabar menunggu daun terakhir gugur," ujar Iris sambil mengambil nampan.
Jane lebih dulu mengambil nampan dan segelas kopi hangat dan yogurt, Iris mengambil kopi hangat saja dan terus berjalan mengambil menu yang akan ia makan.
"Tapi, soal mimpi aneh itu," Jane mengambil sebuah hamburger dan kentang goreng, "kau tidak bermimpi yang aneh-aneh lagi kan?"
"Oh, kemarin aku bermimpi tentang peperangan--setelah pemeriksaan tentu saja. Lalu tiba-tiba ada cahaya yang silau," gadis itu mengambil menu yang sama dengan Jane setelah melingkarkan tangannya seakan menunjukkan sesuatu yang besar, "lalu aku bangun."
Jane menatap bola mata biru milik Iris dalam-dalam. Iris tertegun dan melambaikan tangannya di depan muka Jane.
"Aneh, mimpimu itu sungguh ... fantasional?" Jane beranjak dari tempat menu menuju kasir untuk membayar makanan.
Iris mengangkat bahu dan mencebikkan mulutnya, tanda bahwa ia pun tidak habis pikir kenapa bisa begitu.
Jane mengarahkan Iris untuk mengambil tempat duduk di dekat jendela setinggi empat meter yang seluruhnya dipasang kaca patri, suasananya jadi mirip gereja alih-alih kantin untuk remaja dengan energi masa muda. Waktu memang benar-benar terperangkap di bangunan universitas itu, dan karena hampir tidak ada renovasi yang terlalu signifikan, jadi tetap saja nuansa klasik lebih mendominasi.
"Mau berburu foto lagi? Edisi natal dan salju?" Jane menawarkan diri sambil menyobek kertas hamburger-nya
"Boweh," balas Iris karena mulutnya penuh, "Wagaiwama kawau di--"
"Telan dulu," potong Jane.
Iris menelah makanannya lebih dulu sebelum memperjelas usulannya. "Bagaimana kalau di Neal's Yard?"
Jane tampak berpikir sebentar sebelum mengiyakan usulan Iris, mau tak mau Iris bahagia kalau ia bisa liburan dengan teman baiknya. Sementara itu, Jane masih terpikir akan surat yang ia dapat dari balkon.
Lawanmu berada sangat dekat denganmu, siapa?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro