6
Bibinya marah besar setibanya Iris di rumah. Ia tak henti-hentinya mengomel tentang kebandelan Iris yang harusnya tidak terjadi.
"Kukira kau sudah dewasa!" Begitu ujar bibinya. Iris hanya mematung di meja makan, tak kuasa melihat wajah murka bibinya.
"Hei, tenanglah," pinta pamannya sambil menepuk-nepuk bahu istrinya pelan, berusaha mendudukkannya kembali ke meja makan.
Bibinya menurut, ia duduk menahan kejengkelannya, lalu suaminya sendiri yang mengambil alih pembicaraan.
"Iris," panggilnya, lembut.
Iris mendongak menatap pamannya, lalu memandang bibinya dengan wajah menyesal.
"Maaf." tutur Iris, lirih. "A-aku tidak bermaksud bandel," ia pun mulai sedikit terisak, segera saja ia sapukan tangannya untuk menghapus air matanya yang keluar.
"Tapi ... sungguh, luka ini," Iris memandang telapak tangannya, di sana terdapat noda-noda hitam seperti bekas lebam, "tidak sakit kok, jadi paman dan bibi tidak usah khawatir."
"Bagaimana pun juga, kita bukan dokter, Iris." Pamannya menjelaskan. "Tanpa pemeriksaan, bukankah akan menakutkan jika kita meremehkan luka itu yang ... ternyata penyakit?--ah, bukannya Paman bermaksud seperti itu, aku harap itu juga bukan penyakit."
Iris termenung, pamannya benar, setelah ia memejamkan mata dan mengambil napas. Ia kembali mengaku kalau ia salah kepada paman dan bibinya. Bibinya pun kembali berbicara.
"Kau harus dihukum, Iris." Iris melotot mendengar vonis yang dijatuhkan bibinya. "Kau harus ikut pemeriksaan, nanti sore, tidak ada bantahan," lanjut bibinya, telak dan tidak dapat diganggu gugat.
"Sekarang, istirahatlah dulu di kamarmu!" perintah pamannya, Iris pun berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
Bibi Iris turut beranjak dari tempat duduk menuju lemari tempatnya menyimpan anggur.
"Stephanie, kau menyembunyikan sesuatu dariku?" pertanyaan suaminya membuatnya mematung sembari meraih ujung botol anggur di dalam lemari.
"Tidak. Mengapa kau bertanya seperti itu?" Tangannya masih memegang ujung botol.
"Letak luka--noda hitam itu. Kita sama-sama tahu kan bahwa di sana--"
"Kau mau anggur?" potong bibi.
Paman mendesah, "Tidak, kopi hangat saja, aku mau membaca koran." Akhirnya paman mengikuti alur pembicaraan.
Bibinya memasang wajah lega karena berhasil mengalihkan pembicaraan. Bagaimana pun juga, wasiat kakaknya harus ia jalankan, dan noda hitam di tangan Iris membuatnya takut-takut.
Terutama, kedatangan surat di kosen jendela kamar Iris.
Ia menuangkan segelas anggur untuk dirinya sendiri, lalu mulai menjerang air panas dan mengambil sebungkus kopi bubuk. Aroma segar kopi menguar saat ia menyobek bungkusnya, serbuk hitam itu mulai mengisi cangkir berwarna putih. Ia tinggal menunggu air matang sambil mengecek naskah masuk lewat surel yang bisa ia pantau via ponsel pintarnya.
Namun, ia tidak dapat fokus dari noda dan surat itu.
*
Seisi ruangan heboh setelah Akropolis resmi runtuh, api yang mereka jaga kini telah padam, dan ratusan pasukan telah gugur akibat kerusuhan itu.
Seorang pria tua yang duduk di ujung meja berukuran seratus dua puluh sentimeter kali tiga meter itu mengeraskan rahangnya, tangannya terlipat saling menggenggam di depan mulutnya.
"Lalu, keadaan komandan?" tanyanya pada wanita berambut pendek di sisi kanannya.
Setelah menelan ludahnya, ia kembali membaca isi laporan yang telah ia bawa.
"Komandan Ares mengalami luka tusuk di lengan kanannya, cukup dalam hingga harus mengalami istirahat selama dua minggu. Catatan, pengobatannya sudah dilakukan dengan metode sihir. Laporan selesai." Ia menutup aplikasi surel pada tabletnya dan kembali menghadap ke penghuni ruangan berukuran tiga kali lima meter itu.
Dari wanita berambut coklat sebahu, sebelah kirinya adalah Master, seorang laki-laki kurus di umurnya yang menginjak enam puluh tahun, kepala depannya sudah botak dan kumisnya sudah beruban, sedikit cambang di dagunya pun ikut memutih dimakan usia. Lalu bergerak berlawanan jarum jam ada seorang lelaki berambut pirang yang sedang bersedekap dan berpikir serius, lalu seorang wanita paruh baya di seberangnya yang memasang wajah sendu dan sama-sama mengerasnya dengan master.
Aura di sana menegang, keruntuhan Akropolis, padamnya Tekhne, dan pasukan mereka yang sudh dipukul mundur oleh lawan. Ini bukan pertanda baik, kejadian di Akropolis sudah dihitung sebagai terompet sangkakala dimulainya perang. Untuk itu, mereka harus selangkah lebih maju dari lawan ....
"Lalu, bagaimana tindak lanjut dari surat Hermes?" Menanggapi pertanyaan itu, seorang wanita paruh baya menegakkan tubuhnya, ia mengeluarkan laptop dan menyambungkannya pada kabel proyektor yang segera menyorot layar tepat di depan Master.
"Untuk menanggapi surat itu yang menyatakan bahwa Pembawa Anugerah Artemis ada di London, kami mengembangkan alat detektor sihir yang bisa mendeteksi di radius 1 kilometer. Alat berupa kalung ini bisa diluncurkan dan akan mendarat pada tiang-tiang listrik, pohon, atau tempat tinggi lainnya dan disebar di penjuru London.
"Tujuan penggunaan alat ini adalah supaya kita bisa mendeteksi penggunaan sihir secara real time. Umumnya lingkaran sihir antara pasukan kita dan lawan memiliki warna aura yang berbeda. Kita memiliki semburat emas sementara simbol yang ada di tangan 7 ksatria utama berwarna sesuai simbolisasi masing-masing. Sementara pihak lawan akan mengeluarkan lingkaran magis berwarna ungu.
"Alat ini akan mendeteksi semua sihir itu, pantauan dari alat ini bisa dilihat di komputer di pusat komando cabang London. Dari perhitunganku, pihak lawan pun pasti akan segera mengejar siapa Pembawa Artemis, jika mereka menggunakan sihir, kita akan bisa melacaknya dan segera menyelamatkan orang itu--"
"Berarti, kita harus menunggu pergerakan lawan?"
"Sayangnya iya, Master." tegas wanita itu. "Pembawa Artemis tidak bisa kita cari menggunkan sihir pencari seperti kita menemukan Leo, Chelsea, ataupun anggota lain," ujarnya sambil memandang laki-laki pirang itu dan wanita di sebelah kanan Master.
"Lalu, jika mereka menyerang Pembawa Artemis tanpa menggunakan sihir?" Master kembali mengajukan pertanyaan.
"Jika itu skenarionya, maka yang bekerja adalah alat kami yang kedua, berbentuk seperti kamera CCTV yang bulat." Proyektor mengganti gambar sebuah kalung dengan benda buat yang tampak memiliki lensa kamera. "Alat ini diluncurkan ke langit dan akan berkamuflase menjadi bintang-bintang, alat ini akan mereka seluruh peristiwa yang terjadi saat itu di London."
Master terdiam, masih dengan wajah seriusnya, barangkali menimbang-nimbang cara yang lain lagi.
"Omong-omong, kami sudah memaksimalkan penyihir kami dalam menggunakan sihir pencari, tetapit tetap saja, aura Pembawa Artemis tak bisa kami temukan, seolah-olah ada yang menyembunyikannya." Wanita paruh baya itu menjawab kegusaran Master.
"Siapapun itu, pastinya cukup ahli dan cukup pintar untuk menyembunyikan Pembawa Artemis." Master mengambil napas dalam, lalu membuka mata dan menurunkan tangannya. "Laksanakan peluncuran dua alat itu malam ini, segera pantau hasil dari alat itu, aku tidak menerima bantahan dan alasan. Mengerti?"
Semua yang ada di dalam ruangan.
"Rapat selesai!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro