Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4

Sepertinya, kali ini dia bisa mendengar bisik kasak-kusuk para pelayan kafe.

Lihat, cowok yang di sana itu. Dia selama seminggu ini suka duduk di sana, ' kan?

Oh itu, tampan sih, tapi masa dia pengangguran?

Siapa tahu, 'kan? dia selalu duduk di sana, menghabiskan kopinya, lalu pergi begitu saja.

Entah kenapa, tiba-tiba dia jadi sebal sendiri. Sebenarnya dia bekerja menjadi seorang wartawan, di mana tempat kerjanya memang lumayan bebas. Ia maklum, karena memang tempat itu pilihannya sendiri, bekerja di media yang tidak terlalu ketat.

Oleh karenanya dia mendapat akses khusus "lapangan". Berarti, dia bebas pergi ke manapun untuk mencari target yang bisa dimuat dalam media--dipikir-pikir, rasanya tidak ada media yang seperti ini, tetapi kenapa selalu ada pihak media lain yang lebih dulu menemukan kejadian menarik ya?

Akhirnya ia memutuskan mengobrak-abrik tasnya--lebih tepatnya, berpura-pura mencari barang--dan memasang tampang bingung yang tampak alami dan tak dibuat-buat. Pemuda berumur 24 tahun itu akhirnya merogoh sebuah benda kotak bertali, ia sengaja mempermainkan tali itu sedemikian rupa agar para pelayan kafe bisa melihat kartu yang memiliki foto dirinya dan sebuah nama yang dicetak di bawahnya.

Loh, dia punya kartu nama!

Merasa puas, ia memasang senyum dan menganggukkan kepala, lalu memasukkan kartunya dan melihat tablet di sebelahnya. Laman yang termuat di sana baru saja di-refresh sebelum ia mengindahkan gurauan para pelayan kafe.

Sejujurnya, ia bisa saja menulis berita itu kemarin malam. Namun, tentu saja itu akan menimbulkan kecurigaan yang berlebih. Masalahnya, ia tidak bisa memanipulasi ingatan, bermain hipnotis--dan lagi, jika ada lima puluh orang yang tahu, bagaimana cara menghipnotis mereka?--serta tidak memegang azimat ataupun talisman.

Karena memang belum saatnya.

Meregangkan tangan dan seluruh pundaknya dengan cara menariknya ke depan, lalu, ia mulai membuka aplikasi ketik dan mulai menyadur. Untuk menambah info, ia menggunakan beberapa media lain yang sudah ia sortir validitasnya seperti apa yang ia ketahui dari seseorang.

"Kehancuran Akropolis ...." Ia mulai mengetik kalimat pertama.

*

Beberapa orang yang memakai jas panjang berwarna putih dengan beberapa corak telah bersiap siaga di antara dinding-dinding dam pilar kuno yang berdiri menjulang di dataran Akropolis. Kota tua kebanggaan Athena itu disinari lampu-lampu halogen berwarna hangat seperti bohlam--kuning menuju oranye senja, menerpa dinding gipsum lapuk di makan usia, saksi bisu sebuah peradaban yang mewah.

Kota tua itu berdiri di dataran tinggi, memanjang dengan warnanya yang mencolok seperti burung phoenix yang seakan-akan terbang di atas Athena.

Tentu saja, selain cahaya itu, masih ada satu cahaya lain yang tidak dapat digapai oleh mata manusia biasa.

Angin berdesir, tertekan dari atmosfer, membelai debu Akropolis menuju bagian lain bumi--marabahaya telah ditiupkan.

Seorang jenderal maju paling depan, mengangkat pedangnya dengan tatapan lurus ke depan. Memandang ke gerombolan orang dengan baju ungu gelap yang mulai memasuki Akropolis. Konsentrasi, dan sebuah simbol berpendar merah di pinggangnya yang terbuka. Jubahnya tersingkap mengikuti angin yang muncul dari bawah kaki dan menyebar sejauh radius satu meter darinya.

"Sekarang!" Perintah digaungkan.

Para penyihir di belakangnya dengan seragam dam tudung memulai mantranya. Lingkaran dengan berbagai simbol dan warna tercetak di manapun mereka berdiri, juga tersebar tiga meter di atas mereka.

Cahaya yang warnanya seragam dengan lingkaran-lingkaran magis itu berkilatan terbang ke angkasa dan meledak seperti kembang api. Titik-titik api itu luruh bersamaan dengan munculnya dinding transparan yang membentuk sebuah kubah dengan lima lapis elemen sihir, melingkupi seluruh reruntuhan Akropolis.

Tentu saja, kubah sihir itu hanya memancing senyum simpul dari para kerumunan jubah ungu. Salah satu dari mereka yang berdiri di garda depan mencengkeram dua buah seruling panjang. Seluruh lubang yang terdapat di badan seruling ia tutup--kemudian suara yang memekakkan telinga membelah langit malam. Para penyihir hitam yang berbaris di belakang mengangkat tongkat dan mantranya, menciptakan koor mistik penyambut kematian bagi lawan di hadapannya.

Sebuah lingkaran magis raksasa yang berwarna ungu terlukis tepat di atas Burung Feniks Athena, membuat manusia-manusia yang ada di dalam kubah sihir terpaku memandang kehancuran yang sudah dapat dipastikan. Anak panah menyembur bagaikan hujan badai yang keluar dari lingkaran magis, menghantam kubah sihir dan meluruhkan lapisan pertama, lalu tembus dan mencoba merusak lapisan kedua.

"Penyihir, lakukan regenerasi! Barisan pertama, serang!" Pasukan berjubah putih dengan zirah itu maju mengacungkan pedangnya, tombak-tombak mulai dilontarkan keluar dari lapis kubah pertama.

Jarum-jarum panjang itu beterbangan dan jatuh layaknya hujan yang menimpa kubah. Menusuk puluhan orang dari kawanan jubah ungu. Suara denting pedang saling bersahutan kemudian, bersamaan dengan erangan kemarahan atas pembalasan dendam kawan mereka yang telah gugur.

Sang pembawa seruling mengangkat sebelah tangannya, lalu hujan tombak segera meluncur--serangan balik terhadap jubah putih. Hujan magis mulai meluruhkan lapis kedua, sang komandan perang tidak akan diam. Ia mengangkat tangannya yang kosong ke udara, dan para pemanah menyambut hujan tombak itu.

Tombak-tombak dari kawanan jubah ungu berhasil memberangus separuh dari pasukan baris pertama. Hujan anak panah membuat kawanan berjubah ungu ikut melancarkan panah. Masing-masing kawanan mulai meluncurkan kembali puluhan pasukan berpedang untuk saling menyerah.

Kubah lapis ketiga telah luruh, sementara itu, para penyihir tak mungkin melakukan regenerasi mantra. Hujan magis itu layaknya hujan asam yang meluruhkan apapun.

"Berhenti," ujarnya pada kawanan penyihir.

"Sekarang, kita fokuskan sihir kalian untuk mereka yang ada di luar kubah. Aku hanya ingin beberapa saja yang ada di sini, untuk mempertahankan dua lapis kubah kita. Sisanya ..." ia menoleh ke sekeliling, "sisanya ikut aku keluar kubah." Setelah memberitahukan rencananya, ia kembali berbalik ke arah seharusnya--pada pasukan lawan yang tiada habisnya menggempur perlindungan Akropolis.

"Demi Sang Ibunda, Dewa Elpis menganugerahi kalian!" serunya memulai penyerangan.

"Hidup pasukan cahaya!" Pasukan berjubah putih segera menembus kubah, ikut bertarung mengayunkan pedang dan mantra.

Pemanah menjaga jarak tembaknya, sementara penembak melindungi dari jarak dekat. Sang komandan meladeni seorang laki-laki pembawa tombak yang melindungi serangannya terhadap pembawa seruling.

"Minggir, dialah lawanku!" ujarnya.

"Tidak bisa, dialah Tuanku." Ia menyentak tombak, sang komandan terpental mundur dan berhasil mendarat dengan kedua kakinya.

"Baiklah, aku akan menghabisimu terlebih dahulu." Simbol pedang dan sayap api di pinggangnya menyala merah.

Pedang sepanjang enam puluh sentimeter itu bersinar sewarna, ia arahkan telunjuknya memegang sisi tajam pedang yang terdekat dari pangkal pedang yang dipegang dengan bantuan ibu jarinya. Posisi pegangannya ini akan memberikan kontrol dan keseimbangan yang lebih baik.

Lawannya menyiagakan tombak, dan di detik ketiga mereka sama-sama menyerang. Denting pedangnya yang berbentuk daun membentur badan tombak yang keras.

"Kau akan menyesal meladeniku, Pelayan." Sang komandan mengayunkan pedang dari atas.

"Tidak, justru sebaliknya." Pemegang tombak mendorong pedang itu, gerakannya mengakibatkan pemilik pedang sedikit terpental. Sebelum kembali ke posisi, si pemilik tombak segera melakukan gerakan putar balik selama dua kali dan segera menyentak tombaknya.

Dengan sigap, pemilik pedang yang masih berpendar merah itu menahan bilah tombak sembari menekuk punggungnya sedemikian rupa agar terhindar dari tombak yang tinggal seinci lagi menusuk tempurung kepalanya.

"Kau meremehkan tombak, Tuan." Tombak yang hampir berhasil menusuk kepala lawan itu tersentak.

Dengan sigap, ia melakukan putaran lagi sambil mengubah pegangannya sedikit lebih dekat dengan pangkal atas. Gerakan memutarnya membuat badan tombak yang panjang mengarah ke lawan. Tepat ketika sang komandan berhasil berdiri dan hampir mengayunkan pedangnya dari atas ke bawah, badan tombak yang berupa pipa besi memukul rahangnya hingga membuatnya terpental jauh.

Sang komandan berdiri tegak dengan pipi yang lebam. Ia mengangkat pedangnya lurus dan lingkaran sihir di belakangnya muncul, merekah seperti ekor burung merak.

"Boleh sekali permainan tombakmu, jadi mari kita akhiri."

Pemegang tombak mengangkat tombaknya, dan lingkaran sihir tercetak di bawah bilah tajam.

"Ya, Tuan, mari kita akhiri."

Kemudian, suara seruling yang memekakkan telinga kembali membelah angkasa.

*

Hola! Bab ini adalah bab terpanjang yang aku tulis sebenarnya--1231 kata. Sejauh ini aku menikmati menulis bab ini, tetapi sejujurnya aku juga merasakan bab ini yang paling sulit karena harus mendeskripsikan pertarungan dengan banyak karakter. Bisa minta bantuannya untuk memberikan saran thd. bab ini? Kritik juga boleh sih, tapi saran lebih membantu daripada kritik saja, hehehe. Silakan drop saranmu di kolom komentar, atau inline di sini juga bisa sih monggo.

NB: Bab selesai ditulis 14 Mei 2018, turut berduka cita untuk korban ledakan di 3 gereja di Surabaya. Bagi saudaraku yang katolik dan kristen, selalu ingat spirit saat hari Kenaikan Yesus: "Yang naik ke atas, tidak meninggalkan kalian di bawah." Percayalah, Tuhan melindungi kalian. Bagi saudaraku yang islam, mari menjaga tolerensi dan waspadai bibit-bibit radikal/ekstrem.

Music:
Dependant Weakling by Keiichi Okabe from NieR: Automata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro