27
Lucy berjalan menuju balkon utama di mansion mewah milik keluarganya. Di ujung koridor selebar tiga meter itu terdapat pintu kaca yang membingkai pemandangan abu-abu Athena.
Sebelum menarik kenop pintu itu, ia mengencangkan syal yang memeluk lehernya. Tepat saat kedua daun pintu itu terbuka lebar, angin dingin menyeruak masuk dari lantai balkon yang menjulur ke luar sepanjang tiga meter berbentuk trapesium. Kedua ujung trapesium yang paling kecil disangga oleh pilar korintia yang tingginya hingga menyangga teritisan atap.
Gadis kecil itu memandang langit mendung yang tak kunjung turun salju. Turunnya salju adalah hal yang paling ia sukai. Karena itulah saat kelahirannya, meski namanya ialah sebuah ironi karena ia datang bukan membawa cahaya, melainkan membawa kegelapan mendominasi. Manusia tidak bisa memilih lahir dari orang tua mana, juga tidak bisa memilih lahir menjadi apa. Sejak umurnya sepuluh tahun, ia menerima apa yang sudah ditakdirkan, untuk membawa dosa yang paling utama, untuk berkecimpung dalam perang merebutkan artefak yang akan ia menangkan.
Suara kelotak sepatu segera membuat pandangannya teralihkan ke dalam koridor. Ia melihat kakaknya berlari menghampirinya sambil membawa ponsel dalam genggamannya.
"Lucy, ada panggilan dari Monalisa."
"Lizzy?" Sebelah alisnya terangkat sambil menerima ponsel dari kakaknya.
"Halo, Lucy."
"Kuharap kabar baik," balas Lucy.
"Informan sudah mengonfirmasi kalau target sudah berada di Athena," ujar Lizzy.
"Baiklah, kalau begitu malam ini kita akan padamkan Tekhne yang kedua."
Anak itu mematikan teleponnya, mengangsurkannya ke kakaknya yang mengangguk paham. Operasi pemadaman Tekhne kedua akan dibantu dengan hasil dari proyek Centaurus, dan Lucy yang akan menjadi otaknya, maka ia segera turun ke ruang bawah tanah tempat proyek itu mulai dikerjakan.
*
"Ah, salju sudah turun lagi," gumam Iris.
Gadis itu memandang sayu pemandangan di balik jendela. Sore menjelang malam di Athena kali ini sudah mulai menggelap secara perlahan, apakah nanti akan ada badai salju? Entahlah. Ia bangun dari kasur dan memeluk kakinya, untuk kedua kalinya ia terbaring di atas kasur di ruangan dengan aroma obat yang menguar.
Iris masih ingat rasa sesak saat sulur-sulur berduri itu meremukkan tubuhnya, ia masih ingat dengan jelas saat duri itu menembus kulitnya, dan akarnya yang tebal membuatnya kehabisan napas. Hal itu membuatnya sekali lagi menjadi orang yang tidak berguna, ia sedang berpikir, apakah ia berbuat kesalahan sehingga mantra itu dirapalkan padanya? Karena mantra itu berakhir menyiksa dirinya. Itu adalah kenangan miliknya, seluruh peristiwa itu adalah miliknya, dan ia punya hak untuk itu.
Namun, ia tidak diijinkan mengingatnya barang secuil pun. Lalu, apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada, ia tidak memiliki sihir, dan hanya bisa mengucap Kharites sesuai pesan terakhir bibinya, tanpa tahu apakah ucapan itu berefek atau tidak.
Pintu ruang fasilitas kesehatan terbuka, membuat Iris memandang ke seorang lelaki dan seorang wanita berambut panjang yang masuk. Lalu disusul oleh Nyonya Rose, Leo, dan Chelsea, serta dua orang terakhir di mana yang perempuan bernama Berenike, sementara si laki-laki berambut panjang itu entah siapa ia tidak mengenalinya.
"Halo, Iris," sambut Leo dengan memasang senyum berlesung pipitnya.
Iris balas tersenyum ke Leo, entah kenapa senyumnya terasa sangat adiktif, sangat menggoda untuk dibalas dan ampuh menenangkan kemelut hatinya.
"Emm ... Mereka anggota di Athena?" tanya Iris.
"Ya," Berenike menyahut, "tentu saja, tiga dari kami belum kau temui, silakan perkenalkan diri."
"Ares." Seorang pria dengan rambut kemerahan memperkenalkan dirinya.
Ia memakai baju kerah tinggi dengan lengan panjang berwarna biru gelap, atasan itu hanya menutupi hingga sedikit melebihi dadanya, dan karena ketat, maka atasan itu menonjolkan otot-otot lengannya. Iris bertaruh dapat melihat otot perutnya karena setelan rompi emas yang melapisi atasan separuh itu tidak terlalu membantu karena kedua ujung kancingnya terikat ke ikat pinggang seperti suspender dan mengekspos sedikit otot perutnya. Setelan rompi itu memiliki potongan melengkung di pinggingnya, menunjukkan sebuah tato pada pinggang sebelah kirinya tempat di mana sarung pedang juga terikat.
"Iris."
"Ares adalah saudara kembarku." Chelsea menyahut dan Iris ber-oh ria. Gadis itu baru menyadari bahwa muka Ares dan Chelsea mirip.
"Aku Altair, salam kenal." Seorang gadis di sebelah lelaki berambut merah itu memperkenalkan dirinya.
Kesan pertama yang Iris tangkap dari gadis itu adalah cantik dan mewah, rambutnya yang mencapai punggung entah kenapa memesona dirinya. Sempat terbengong karena senyum gadis itu juga sama manisnya, Iris mengerjapkan matanya dan balas mengangguk pada Altair.
Seorang lelaku mendekat, lelaki yang berambut sebahu. Ia bergerak maju dan duduk di samping Iris, laki-laki itu meraih tangannya dan menatap Iris dari bawah.
"Perkenalkan, namaku Iason, sinyorita." Laki-laki itu mengecup punggung tangan Iris yang memiliki noda hitam, kemudian ia bergidik karena baru kali ini punggung tangannya dikecup.
"Iason, waktu istirahatmu sudah habis." Altair berucap dingin.
Iason mendesah dan kembali berdiri, ia berpamitan dengan alasan 'ibu negara sudah bertitah'. Tentu saja itu membuat Altair semakin memicingkan matanya pada lelaki flamboyan itu. Dalam sekejap mata, lelaki itu tiba-tiba saja hilang dan membuat Iris kaget, hanya sebentar saja sebelum air mukanya kembali normal. Rasanya ia sudah kebal dengan berbagai sihir magis yang terus ia lihat.
"Omong-omong, apa maksudnya waktu istirahat Iason telah habis?" tanya Iris.
"Oh, kami sedang sibuk menjalankan jadwal piket untuk menjaga dua Tekhne di dua tempat," jawab Altair.
"Tekhne?" Iris mengernyit, rasanya ia pernah mendengarnya.
"Api penciptaan," ujar Ares.
"Sumber kekuatan kami." Leo menimpali, "Ada tiga Tekhne yang membuat kekuatan kami stabil dan sempurna. Yang pertama di Akropolis di Athena, dan Tekhne pertama sudah padam, ini membuat kami cepat lelah. Yang kedua berada di dalam Labirin Daedalus, jika yang kedua padam maka setiap sihir yang kami gunakan akan ada bayarannya--seperti mengambil umur kami."
"Bukankah itu menakutkan?" tanya Iris.
Leo mengangguk. "Tergantung tingkat sihir yang akan dipakai, umur pemakai bisa dihisap mulai dari jangka waktu menit hingga lima tahun yang paling tinggi."
"Tekhne yang kedua memiliki efek yang sangat fatal bagi kami jika padam," ujar Altair.
"Lalu yang ketiga kami tidak mengetahui letak persisnya," Leo kembali melanjutkan penjelasannya, "Yang kami tahu, Tekhne ketiga adalah tempat di mana Guci Pandora dan Sang Pengasuh berada, di Atlantis."
"Dan kalian tidak tahu di mana Atlantis?" Iris meletakkan telunjuknya di dagu. Anggukan Leo membalas pertanyaan Iris. Gadis itu sendiri melihat ini sebagai permasalahan yang pelik. "Lalu, siapa itu Sang Pengasuh?"
"Hestia," jawab Ares.
"Dan siapa yang bisa memadamkan Tekhne?" Iris bertekad bahwa ini pertanyaan terakhirnya, rasanya berbagai hal mulai terjawab sekarang.
"Kelompok orang yang juga bertanggung jawab atas penculikan Bibi dan Pamanmu." Nyonya Rose membuat napas Iris tercekat.
Di luar, Athena sudah menggelap, dan rintik-rintik salju perlahan mulai turun. Di sisi lain Yunani, seorang lelaki sedang tercekik di dalam Labirin Daedalus.
"Halo, pembawa Anugerah Dionysus."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro