24
Nyonya Rose menggandeng Chelsea, Chelsea menggandeng Leo, dan Leo menggandeng Iris. Nyonya Rose yang akan menjadi supir mereka, ia memejamkan matanya, dan tiba-tiba saja, aroma mawar menyeruak memenuhi ruangan dan hidung semua orang--termasuk Iris. Ketika lingkaran magis yang bersinar emas muncul, Iris juga dapat melihat bahwa tangan Nyonya Rose yang bebas dan seakan menyentuh udara, di punggung tangannya terdapat sebuah bunga mawar yang berpendar merah muda cenderung keunguan.
Lingkaran magis berwarna emas itu meledak serta merta dengan sirnanya aroma mawar saat Nyonya Rose menjentikkan tangannya. Lagi-lagi, Iris merasakan sensasi jatuh, atau didorong, sekaligus ditarik oleh gravitasi dengan kecepatan yang mampu menggetarkan kedua pipinya. Terkadang, ia ikut merasakan bahwa rambutnya bergerak ke mana-mana, tetapi, saat sensasi itu berhenti dan ia membuka matanya, gadis itu menemukan bahwa rambutnya baik-baik saja, pun bajunya sama sekali tidak robek.
Angin dingin dan sedikit sinar matahari membelai kulit wajahnya yang tidak tertutupi kain. Iris mengedarkan pandangannya, di tempat ia berdiri sekarang adalah sebuah dataran tinggi dengan penuh puing-puing pilar yang hancur dan bukan saja sekedar berlumut,melainkan menghitam. Berdiri kuyu di atas hamparan salju yang menutupi sebagian besar rumput.
"Ini ...." Iris tak tahu harus berekspresi apa atas pemandangan yang ia lihat, antara megah campur kecewa karena reruntuhan itu terlihat semakin tidak terawat.
"Orang-orang menyebutnya Kuil Orakel Apollo di Delfi. Karena di sini berkaitan dengan kisah heroik Apollo mengusir ular besar bernama Phytia, lalu imam-imam wanita yang merupakan orakel, berkumpul di sini," jelas Leo sambil mendekati Iris. "Ramalan orakel di Delfi sangat terkenal, banyak yang datang ke sini sebelum akhirnya mereka juga memutuskan untuk merahasiakan diri," lanjut Leo.
"Jangan tanya alasannya, karena kami tidak mengetahui alasannya, dan menanyakan keputusan mereka rasanya ... tidak sopan." Nyonya Rose keburu menghentikan pertanyaan Iris.
Chelsea bergerak menuju ke sebuah titik, di sana terletak sebuah batu kubah. Gadis berambut pendek itu berdiri tak jauh dari sana, mengangkat liranya dan mulai membawa jari-jemarinya yang lentik bermain memetik senar-senarnya.
"Dialah kunci kita hari ini," gumam Leo.
Setelah itu, Leo dan Nyonya Rose bungkam, pandangan mereka tertuju pada Chelsea yang sedang berdiri di dekat kubah batu. Iris yang memerhatikan mereka diam mematung begitu saja, akhirnya justru canggung. Banyak hal yang ia tidak mengerti sejak hari ulang tahunnya berubah menjadi bencana. Bibi dan pamannya, lalu noda di tangan yang mengunci ingatan dan "sesuatu" di dalam dirinya, serta yang lebih penting, semua itu sudah direncanakan jauh saat ia lahir oleh kedua orang tua kandungnya.
Kurang lebih, sudah selama dua menit Chelsea memetikkan nada-nadanya. Iris jadi ingat bahwa Leo sempat menyebut bahwa gadis tomboi itu adalah kuncinya untuk hari ini, karena ia sungkan menganggu konsentrasi mereka, Iris mencoba mencari tahu kenapa Chelsea adalah kuncinya hari ini. Ia mengobrak-abrik jurang memorinya, dan menemukan bahwa sejak ia sadar dari rumah sakit,Chelsea memperkenalkan dirinya bersama lira Apollo--yang membuatnya mampu menggunakan sihir lewat musiknya.
Lewat kata Apollo, ia mengingat bahwa Leo memperkenalkan tempat ini sebagai Kuil Orakel Apollo di Delfi. Ah, Iris setidaknya mulai mendapat benang merah. Lira Apollo adalah kunci untuk masuk ke dalam Kuil Orakel ini, tapi, ada yang aneh. Kuil ini hanya menyisakan reruntuhan, menyebut kata masuk pun Iris tidak tahu di mana pintu masuknya, semua terlihat sama saka dengan tiang-tiang doriknya yang tidak terawat.
Di menit ketiga, sesuatu yang ajaib mulai terjadi. Iris melihat bahwa salju yang dipijaknya mencair dengan sangat cepat, rumput-rumput pun segera lesap ke dalam tanah. Gadis itu sedikit kaget dan berjalan mundur, Leo dengan sigap meraih bahunya dan menahannya agar tidak terjatuh. Tanah yang mereka pijaki mengeras, berubah dari tanah cokelat menjadi tanah keras berwarna abu-abu cenderung putih. Tiang-tiang dorik mulai kehilangan warna hitamnya, lumut-lumut yang menyelimutinya segera lesap kembali ke dalam pori-pori tiang itu--jika saja memang benar ada, tetapi itulah yang dapat gadis itu lihat.
Waktu serasa kembali diputar, angin dingin berubah menjadi desiran lembut yang hangat, kompleks kuil-kuil di sekitarnya kini kembali dibangun dengan utuh tanpa menyisakan jejak kehancuran satu pun. Chelsea berhenti memainkan musiknya saat beberapa orang wanita dengan sehelai kain di atas kepalanya tiba-tiba saja muncul di sekitar mereka, mata mereka tertutup dan tangan mereka saling menggenggam.
"Siapa kalian?" Sebuah suara menyambut kedatangan mereka.
Chelsea menoleh ke seorang wanita yang membawa pedang, rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan sebuah kain emas yang sekaligus menutup matanya. Di tangan kirinya terdapat sebuah timbangan berwarna putih dan beberapa aksen emas di ukirannya, sementara di tangan kanannya terdapat sebilah pedang sepanjang kira-kira satu meter dengan lagi-lagi warna emas terdapat di pegangan pedang dan ukirannya.
"Kami ingin bertemu dengan para Moirai." Chelsea mewakili rombongan EC London mengutarakan tujuannya.
"Melihat masa depan adalah sesuatu yang dilarang, hanya pemegang anugerah Moirai yang bisa melakukannya!" Wanita itu berkata dengan tegas dan dingin.
Chelsea menggeleng. "Justru kami akan melihat masa lalu."
"Masa lalu? Siapa?"
"Gadis itu," Chelsea menoleh ke Iris, "Kami mengantarnya ke mari supaya gadis itu bisa melihat masa lalu."
Wanita dengan ikat mata itu menoleh ke Iris--lagi-lagi, setidaknya itu yang dapat Iris lihat, meski ia tak yakin di mana tatapan matanya yang bertumbuk. Pedangnya segera ia acungkan ke depan, membuat jantung Iris berdegup kencang, tak berharap bahwa ia akan ditikam dengan pedang panjang itu dan mati di sini.
"Kau, putri dari Brooke? Catherine Brooke?"
Catherine Brooke, napas Iris tercekat, ia hanya pernah mendengar nama itu disebut oleh bibinya beberapa kali. Tentu saja, bibinya melakukan itu agar Iris sekadar tahu kalau itu adalah nama ibunya.
"Benar ya?" Wanita dengan ikat mata itu belum menurunkan pedangnya.
"Anakku, apa kau mengijinkan mereka masuk?"
"Ya, Ibu," ujar sebuah suara yang menggema dari salah satu arah.
Yang dipanggil Ibu membawa pedangnya ke belakang kepala, menelisip masuk ke kain emas yang menutupi matanya. Ia tarik kain itu hingga putus karena bilahnya yang tajam, seiring putusnya kain itu, pedangnya berubah menjadi serbuk emas dengan kain penutup matanya. Wanita yang menghadang mereka mulai membuka matanya, yang membuat Iris dan seluruh rombongan tercekat karena melihat warna matanya yang teduh dan hangat, tetapi terlihat penuh wibawa dalam satu waktu.
"Silakan masuk," ujarnya dengan nada yang lebih hangat sambil menyingkir dari mereka.
Chelsea mempersilakan Nyonya Rose maju terlebih dulu, lalu disusul Iris dan Leo, Chelsea paling akhir dan Ibunda para Moirai mengekor dari belakang.
Selama mereka berjalan ke sebuah kuil yang paling megah di antara mereka, wanita-wanita berikat mata dan berkerudung itu menyingkir, memberikan jalan bagi mereka untuk terus mengarah ke tiga orang wanita yang sedang duduk di singgasana dengan benang-benang emas di sekitar mereka.
"Berhenti, kalian tidak diijinkan maju lebih dari ini." Rombongan EC London mematuhi perintah sang ibunda para Moirai, sepuluh meter di depan wanita penuh benang.
"Selamat datang, Pasukan Elpis, dua dari Tujuh Kesatria Utama, Penyihir terhebat, dan Putri Brooke."
*
Music: Wretched Weaponry
From: NieR:Automata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro