10
-multimedia silakan dimainkan-
Stephenie dan Rudolf segera saja disibukkan dengan menata dan membersihkan dapur serta ruang makan. Tinggal satu jam lagi waktu untuk mengambil roti, sementara Stephenie sedang menyiapkan parfait saat suaminya sedang sibuk menggosok meja makan hingga benar-benar bersih.
Untungnya Stephenie menyimpan nomor kafe tempat ia memesan roti, saat masih di kubikelnya tadi di kantor, ia sempat menelepon kafe dan memintanya untuk pesan antar.
"Baik, akan kami antar pada pukul enam sore nanti, terimakasih." Begitu jawab suara di seberang telepon setelah Stephenie menyebutkan alamatnya pada pelayan kafe.
Stephenie jadi teringat dengan pertemuannya dengan wanita paruh baya berambut pirang di kafe. Ia mengenalnya saat masih berada di 'sana', begitupun wanita itu, tapi mandat dari kakaknya lebih penting untuk dilaksanakan.
Lagipula, pihak oposisi belum bergerak pada saat itu, kecuali saat di mana kakak dan suaminya diculik.
"Selesai!" Stephenie membawa dua parfait yang sudah selesai ke meja makan, dan sebuah cangkir berisi racikan menu kopi yang Stephenie bisa lakukan tanpa peralatan mahal kafe--dengan bubuk instan tentu saja.
"Kau tadi belum minum kopi kan saat di kantor?" Rudolf terkekeh dan menggeleng, meyakinkan istrinya bahwa asupan kafeinanya benar-benar dua cangkir sehari. Rudolf terasa aneh, istrinya bisa mengontrol asupan kafeina untuknya, tapi dia tidak bisa mengontrol wanita itu untuk tidak minum anggur sebelum tidur.
Rudolf kembali berfokus pada bacaannya di koran, kemudian membelalak kaget pada salah satu judul berita.
"Stephenie," panggilnya.
"Ya, Stephenie menoleh dari ponsel pintarnya."
"Akropolis--" perkataan Rudolf diinterupsi oleh bel pintu rumah yang berbunyi. Bibinya segera memelesat ke pintu depan dan kaget.
"IRIS!" pekiknya. Seolah diberi kode, Rudolf menyembunyikan parfait di dalam kabinet yang dipatri di tembok dan kembali duduk tenang sambil membaca korannya.
"AH. KAU PULANG CEPAT YA, AHAHAH, EEE ... LEBIH BAIK KAU SEGERA MANDI." Dorong Stephenie, Rudolf merangkul Iris sampai ke tangga dan Iris hanya mengernyit bingung karena kelakuan paman dan bibinya yang aneh.
Tepat saat Iris memasuki kamarnya, pegawai kafe datang mengantarkan pesanannya, Stephenie berterimakasih dan pegawai itu undur diri dari rumahnya, ia menyimpan itu di dalam kulkas tepat sebelum Iris belum masuk ke kamar mandi.
*
"Hermes mengirimiku surat," aku Jane di panggilan video bersama Lucy.
"Lalu." Lucy menyimak perkataan Jane.
"Ia menyelamati kita atas kemenangan kita menaklukkan Akropolis, sekaligus memberikan kita peringatan." Jane menguncir rambutnya dan memastikan apakah Lucy masih menyimak atau tidak. "Matanya bukan hanya dari Hestia, ia masih punya satu mata lain ... itu saja." Jane menyimpan kalimat terakhir untuk dirinya sendiri.
"Dan kita akan membutakan semua matanya!" perintah Lucy.
Jane mengambil topeng berwarna putih polos yang hanya berlubang pada kedua matanya. Ia mengalungkan pengikat topeng itu di bawah kunciran rambutnya.
"Kau sudah siap?" Anggukan Jane menjawab pertanyaan Lucy. "Baiklah, kode: Proyek Centaurus, dimulai."
Panggilan video berakhir.
*
Iris berdiri di depan wastafel sambil terus menggosok telapak tangannya yang terasa panas, gigitan semut itu sudah berubah menjadi rasa ditempel plat besi panas.
Apakah pengaruh salep? Atau apa? Gadis itu terus menggosok telapak tangannya hingga ia kelelahan sendiri, kemudian ia melanjutkan mandinya dan menyerah, berusaha menahan rasa sakit itu.
*
Rose, seorang laki-laki dan seorang gadis berambut pendek yang membawa harpa berbentuk U berdiri di depan gedung yang bagian luarnya terpasang kaca mulai dari bagian bawah hingga lantai teratas. Di telinga mereka terpasang peralatan komunikasi berapa pelantang telinga bluetooth yang bisa disinkronkan dengan sihir sehingga bisa berkomunikasi kapanpun tanpa media ponsel.
Master berjalan keluar ruangan, kemudian memandangi tiga orang itu. Sekelompok orang dari berbagai divisi segera menyusul untuk berkumpul.
"Aku tidak bisa menerima kekalahan kita. Bergegaslah, temukan para pendosa dan dahului apa yang akan mereka lakukan. Demi sang Ibunda, Dewa Elpis menganugerahi kalian!"
"Hidup Cahaya Harapan!" Sorakan itu diakhiri saat mereka mulai terbang ke angkasa London yang gelap, kalah dengan lampu-lampu yang tidak pernah redup.
*
"Selamat ulang tahun!" Stephenie memeluk Iris yang baru saja selesai mandi. Iris tergeragap bingung akan menanggapi apa.
"Bibi masih ingat ulang tahunku? Astaga aku sudah sembilan belas tahun, Bi," ujar Iris.
"Tidak apa-apa, 'kan?" kata pamannya sambil mengeluarkan parfait.
"Tiup lilinnya!" perintah Bibi.
Iris mendekat ke kue ulang tahunnya, aroma segar lemon segera menusuk hidungnya dan membangkitkan selera makannya. Ia mengatupkan mata dan menyebutkan doa serta harapannya di dalam hati, tapi, tiba-tiba saja noda hitam di tangannha menyengat hingga membuat kepalanya pening. Gadis itu segera memelototkan matanya, ia kaget pada serangan pusing yang mendadak, tapi ia segera mengontrol air mukanya kembali tenang.
Ia tarik napas dalam-dalam dan meniup api di lilin kue ulang tahunnya. Lalu seluruh rumah menggelap, tidak hanya lilinnya yang mati, melainkan seluruh listrik di rumahnya padam.
"Pemadaman?" tanya Stephenie pada siapapun itu yang bisa menjawabnya.
Suara pintu yang didobrak menjawab pertanyaannya, lalu berbondong-bondong tiga orang menyerbu ke dalam rumahnya. Mereka memakai baju yang sama gelapnya dengan ruang makan.
"Butuh waktu untuk menembus perisai sihirmu, Nyonya Stephenie." Wajah Stephenie mengeras mendengar salah satu dari mereka bersuara.
"Kalian--"
"Angkat tangan kalian dan ikuti kami! Tidak ada perlawanan maka lebih baik." Kali ini suara dari wanita yang rambutnya digelung dam ditusuk dengan sebilah tusuk rambut.
"Tidak akan!" Rudolf menggulung lengannya, memperlihatkan tato di bahunya yang lama kelamaan muncul dan berpendar.
Di tangan Rudolf yang ada dalam posisi menggenggam muncul sebuah benda yang berpendar keemasan, sebuah palu terbentuk di sana.
"Stephenie, bawa Iris," Rudolf bertitah.
Stephenie segera membawa Iris menuju kamarnya, secepat kilat sebelum dua orang perempuan yang mengejar mereka mendahului mereka.
Rudolf mulai menyerang seorang pria yang membawa belati sepanjang dua puluh sentimeter.
"Anugerah Hefaistos adalah senjata yang berat, Pak Tua. Dia tidak akan lebih lincah dari belati milikku." Pria itu memainkan belatinya, menusuk, menyabet, menghindar dan menggunakan lengannya yang sudah dipasang pelindung besi untuk menahan gagang palu milik Rudolf.
"Tapi, dia akan langsung menghabisimu, Anak Muda." Rudolf mengangkat palunya tinggi-tinggi dan mengayunkannya sekuat tenaga.
Pemuda itu menghindar ke samping kiri, ia tekuk salah satu kakinya untuk menunduk sekalian bersiap menggunakan gaya tolak. Ketika target sudah merasa cukup dekat dengannya, ia menggunakan kaki tumpuannya untuk sedikit melompat maju, tubuhnya bergerak, tangannya yang memegang belati terus melaju dan berakhir menusuk dua inci meleset dari jantungnya.
Rudolf kaku, palunya hancur dan hilang. Pemuda itu menarik belatinya kuat-kuat dan menjatuhkan Rudolf yang masih mengerang.
"Aah!" teriakan seorang wanita di lantai atas segera membuatnya mengambil tali tambang untuk mengikat sandra pertama sebelum menyusul.
"Kau mengaktifkan sihir lagi, Nyonya!" bentak salah seorang gadis di luar kamar Iris.
Stephenie di dalam kamar Iris mengangkat tangannya ke depan pintu, mencetak lingkaran sihir untuk terus menahan pintu itu agar tidak terbuka.
"Iris, segera keluarkan semua kain yang ada di lemarimu, lalu ikat semuanya." Iris dan Stephenie beranjak mengeluarkan semua kain yang ada, bergerak cepat menali semuanya ke kaki dipan yang berat.
Sementara pintu terus dihancurkan menggunakan lingkaran-lingkaran sihir berwarna ungu. Iris terisak, ia tidak tahu apa ini, semuanya terlalu mendadak baginya.
"Iris, pakai ini." Bibinya menyodorkan kalung padanya. "Genggam kalung itu dan katakan: Kharites, jika saja, kami tidak selamat." Bibinya tersenyum sendu saat mengalungkan kalung itu di leher Iris.
Iris memeluk bibinya dan menangis terisak, Stephenie mengelus kepala keponakannya yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri.
"Ayo kita lempar tali ini, dan pergilah sejauh mungkin." Iris melempar kain itu ke luar jendela dan mulai memanjat turun. Di sana ia bisa melihat bahwa pintu kamarnya berhasil dijebol, dan Bibinya langsung dibius menggunakan sebuah kain. Salah seorang gadis lainnya menotong tali yang digunakan Iris hingga membuatnya jatuh berdebum ke tanah. Pening segera menyerang kepalanya, dan noda hitam di tangannya semakin memanas.
Sebelum ia beranjak, ia bisa melihat orang-orang yang menyergapnya, tiba-tiba muncul di pinggir jalan dan langsung memasukkan paman dan bibinya ke mobil. Iris segera memaksa tubuhnya untuk berdiri dan berlari masuk ke dalam garasi, ia segera mengambil kunci mobil di kamar bibinya yang terletak di dekat garasi dan membawa mobil itu melaju di jalanan.
Iris kebut-kebutan, mobilnya berada sekitar tiga puluh meter di belakang mobil penculik bibinya. Sebuah tangan tiba-tiba muncul dari jendela dan membentuk lingkaran sihir berwarna ungu. Satu tembakan mengarah ke mobil di depannya, ledakan segera terjadi. Iris membanting kemudi menghindari ledakan itu.
Pening semakin menekan kepalanya, sementara tangan siapapun itu terus meledakkan mobil-mobil di depannya. Bahkan hingga mereka menaiki Jembatan London. Noda hitam di tangannya kini mulai terasa membakar tangannya, membuat pening di kepalanya semakin parah.
BUM! Sebuah ledakan berada lima belas meter di depannya, Iris segera banting kemudi, tetapi ia tidak kunjung bisa mengarahkan mobilnya ke jalur yang benar. Pening di kepalanya segera bertambah parah, dan untuk sesaat, ia merasa jantungnya diremas dan berhenti mendadak, tepat saat bumper mobilnya menabrak pembatas Jembatan.
Sebelum kesadaran Iris hilang, ia melihat mobil yang membawa keluarga satu-satunya itu semakin menjauh darinya.
Lalu, pandangannya menggelap.
---
Music: Triumphant Bravery oleh Instrumental Core Music
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro