Scene Ten
Malam semakin larut ketika Aletha beranjak dari meja belajar menuju ranjangnya. Dia menyimpan kacamata baca seusai menyelesaikan tugas harian dari Mr. Vernon--guru Matematika paling galak.
Matanya menerawang melewati jendela menuju angkasa. Bintang tak bertaburan kala matanya menangkap bulan sabit yang agaknya terang.
Memang tak terang layaknya purnama. Hanya saja mampu menyita perhatian gadis itu kala pikirannya melang-lang buana.
Gadis itu kepikiran soal perkara siang tadi. Kejadian Daniel dan kotak misterius yang kini sudah berada di meja sisi ranjangnya. Dia tidak bisa menuntut banyak untuk bertanya pada Felix mengenai penjelasan yang sebenarnya. Karena sepertinya Felix juga tidak tahu-menahu.
Namun kejadian siang tadi membuat harinya kacau.
Lebih kacau lagi ketika Felix megetuk--atau lebih tepatnya menggedor--pintu kamar gadis itu dengan brutal. Memanggil-manggil nama Aletha dengan keras dan tidak sabaran.
Aletha yang terusik terpaksa turun dan membuka pintu kamar dengan wajah kusut, bersiap memarahi Felix.
Namun, urusannya berbeda lagi. Aletha bahkan tak sempat untuk menatap raut Felix. Tangan gadis itu sudah ditarik paksa untuk keluar kamar.
"Hei! Apa yang kau lakukan?!" ujar Aletha garang.
"Kita harus bicara, cepat ikut aku!" Felix langsung menarik Aletha tanpa persetujuan gadis itu.
Mereka hampir saja mencapai pintu depan. Tiba-tiba pintu itu terbuka.
Aletha dan Felix totalitas merubah diri menjadi arca batu ketika melihat kedua orangtua Aletha yang penampilannya terlihat menyeramkan. Persis sama dengan yang terjadi pada Daniel tadi siang.
Felix cepat-cepat menutup pintu dan menguncinya ketika kedua orangtua Aletha berniat menarik lengan Felix.
Felix mengambil langkah mundur. Namun Aletha tetap begeming di tempat.
"Aletha! Ayo pergi dari sini. Apa yang kau lakukan dengan berdiam diri di situ?!" teriaknya sembari menarik lengan Aletha.
Aletha menatap Felix dengan gamang. "Apa yang terjadi dengan kedua orangtuaku?"
"Sama seperti yang terjadi dengan Daniel. Sebaiknya kita ambil kotakmu dan pergi ke Jetfox lewat pintu belakang. Cepat!"
Sebelum mengikuti Felix, Aletha sempat menoleh ke belakang. Kedua orangtuanya menggedor-gedor pintu dan jendela dengan brutal. Tatapan mereka kosong. Mulut mereka terbuka dan meneteskan banyak liur. Mereka terlihat seperti zombie.
***
"Apa yang terjadi?" tanya Daniel ketika tiba di dalam Jetfox. Dia menuntut penjelasan pada Aletha dan Felix. Karena tadi Felix menelepon Daniel menggunakan ponsel Aletha dan menyuruhnya untuk datang ke Jetfox.
Aletha tampak tidak baik-baik saja. Gadis itu duduk dengan pandangan kosong. Jadi, Daniel kembali bertanya. Kali ini pertanyaannya ditujukan khusus untuk Felix. "Apa yang terjadi, Felix?"
Alih-alih menjawab, Felix justru membolak-balikkan ponsel Aletha dalam genggamannya.
Daniel menggeram. "Felix!"
Felix tersentak dan menatap Daniel. "Oh, Eum... maaf. Hanya saja aku baru pertama kali melihat yang seperti ini," katanya seraya menaruh ponsel Aletha di atas meja. "Jadi, apa yang baru saja kau katakan?"
"Apa yang terjadi?" Daniel kembali mengulangi pertanyaannya.
"Ah, benar. Apa yang sebenarnya terjadi? Itu pertanyaan bagus, Daniel. Tapi, sungguh, aku tidak tahu. Tiba-tiba saja kedua orangtua Aletha berubah menjadi ... bagaimana aku mengatakannya, ya?"
Daniel menghela napas mendengar penjelasan Felix yang bertele-tele. "Felix, katakan dengan jelas!"
"Baik, baik. Begini, kedua orangtua Aletha saat ini mengalami kau-tahu-kan-apa-yang kau-alami-tadi-siang."
Daniel terdiam beberapa saat sebelum kembali membuka suara. "Lalu, kenapa kau tidak memberi mereka minuman seperti yang pernah kau berikan padaku?"
"Itu dia masalahnya. Aku hanya membawa obat itu satu botol kecil. Dan kau meminum semuanya, tidak ada yang tersisa."
Tiba-tiba Aletha bertanya, "Apa kalian pikir yang terjadi saat ini ada hubungannya dengan kotak itu?"
Daniel dan Felix mengikuti arah pandangan Aletha; menatap kotak misterius di atas meja.
Aletha berjalan mendekati kotak itu, kemudian mengelus kotak itu dan berkata, "Apa memang karena kotak ini?"
Felix dan Daniel mendekati Aletha sambil terus menatap kotak itu.
"Aletha, apa tak sebaiknya kita cari tahu apa yang terjadi?" tanya Felix.
Aletha terdiam. Namun cairan bening tiba-tiba menetes keluar dari matanya.
Daniel yang melihat itu langsung memeluk Aletha untuk menenangkannya.
Seketika Felix merasa dadanya didera sesak. Namun di tepisnya semua itu. "Hey! Bodoh! Kenapa malah menangis? Apa kau pikir air matamu membuat semuanya kembali seperti semula, hah?!" Tanpa sadar Felix membentak Aletha.
Daniel yang mendengar itu langsung menatap garang Felix. "Kau berani-beraninya membentak Aletha!"
Felix hanya terdiam dan membalas menatap garang dan berlalu pergi.
"Bisa-bisanya dia menangis seperti itu. Dasar lemah!" gerutu Felix.
Di sisi lain, Daniel masih mencoba menenangkan Aletha.
"Sudah, jangan menangis lagi. Kita akan cari tahu bersama-sama apa penyebabnya." Daniel mengelus kepala Aletha dengan sayang.
"A-aku ta-takut te-terjadi sesuatu pa-pada orang tuaku," ujar Aletha sesenggukan.
"Mereka akan baik-baik saja, tenanglah. Kita secepatnya akan cari penyumbuhnya," ujar Daniel sambil mengusap air mata Aletha.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro