4
Bola mata Yuna berputar. Modus ae kowe, Pak.
"Harus banget ya, Pak? Enggak, ah. Males keluar. Takut item."
Terdengar kekehan tawa renyah dari Jeon. Suara tawa yang lucu untuk ukuran lelaki dewasa. "Baru kali ini loh saya ketemu mahasiswi yang mbantah sama dosennya. Baru kamu. Zaman saya kuliah nggak pernah kayak kamu."
"Saya nggak bakal membantah kalau jelas. Idih, ngapain ke rumah Bapak? Nanti kalau saya dimacem-macemin gimana?"
Jeon terbahak keras. "Kita ketemu di kafe aja gimana? Nanti saya jemput, biar kamu nggak item."
"Nggak usah. Saya bisa naik ojol. Ya udah, sebutin aja di mana lokasinya. Besok saya datang, deh."
Setengah hati Yuna mengingat nama kafe yang disebutkan Jeon beserta alamatnya. Mereka menyepakati waktu untuk bertemu.
"Jangan telat, ya. Saya paling nggak suka sama orang yang tidak tepat waktu."
Saat bangkit dari ranjang, ia mendengar suara pesan masuk. Oh, pesan di grup klub street dance cover K-Pop-nya. Ia mendesah kesal begitu melihat pengumuman bahwa latihan dimajukan besok pagi. Itu artinya, Yuna harus secepatnya pergi menemui Jeon setelah menyelesaikan latihan dance cover.
*
Anggota klub street dance cover yang hanya berisi kaum hawa bertepuk tangan setelah menyelesaikan latihan dengan membawakan dance Simon Says dari NCT 127. Yuna yang ngos-ngosan meraih botol air minum dari atas aspal, lantas meneguk sampai habis. Ia menyeka keringat di lehernya.
"Eh, Yun, kamu mau ikut kita hang out, nggak? Sekalian bahas buat lomba."
"Nggak. Aku ada janji sama dosen." Ia mengangkat pergelangan tangan dan mendesis. Tidak ada waktu baginya untuk berganti baju. Ia segera memesan ojol. Selang beberapa menit, ojol sudah bergerak ke tempatnya. "Aku duluan, ya! Nanti kabarin aja hasil rapat di WA. Dah!"
"Ati-ati, Cuk!"
"Yoi."
Gadis itu berlari mengikuti arahan tukang ojol. Begitu menemukan plat yang sesuai dengan aplikasi, ia tersenyum. Agak kecut karena tidak mendapatkan driver seganteng cowok yang bernama... namanya siapa? Yuna bahkan tak tahu namanya. Yang ia ingat hanyalah Solikin.
Matahari di Surabaya bersinar sangat terik siang itu. Tangan Yuna semakin berkeringat. Ia mengipas-ngipas dan sesekali melihat jam tangan. Sial. Ia sudah telat lima menit.
"Cepet po'o, Mas. Aku nanti dimarahin dosenku, nih."
"Sabar, Ce. Macet ini loh. Di depan ada demo. Muter aja, ya? Tapi lebih jauh dikit."
"Yo wislah, karep (terserah)."
Pada akhirnya, Yuna sampai di kafe setelah sekitar delapan menit berputar-putar. Ia mengatur pernapasan yang terengah-engah ketika membuka pintu, lantas menemukan sosok dosennya yang duduk di meja paling ujung, sedang menyeruput minuman. Yuna tak menyangka, Jeon bisa berpakaian lebih santai di luar mengajar. Jeon hanya mengenakan kaus hitam lengan pendek yang menampakkan otot bisepnya.
"Maaf, telat, Pak." Yuna mengambil tempat duduk di depan Jeon.
Mata Jeon membulat melihat keberadaan Yuna secara dadakan. Ia meletakkan cangkirnya dan mengamati penampilan gadis itu.
Berantakan dan tidak sopan. Rambut Yuna yang dikucir mencuat ke sana-sini—ada beberapa helai rambut yang menempel di pelipis. Ah, belum lagi ia tak mengganti kaus kedodoran yang menunjukkan tulang selangkanya yang berkeringat.
"Kamu dari mana?" tanya Jeon.
"Ah... urusan pribadi." Yuna mengangkat tangan memanggil pelayan untuk memesan pesanan. Setelah menyebutkan pesanan, ia menatap Jeon dan melipat kedua tangan. "Jadi, saya harus ngapain, Pak?" Ia tak sadar bahwa bagian kerah kausnya yang longgar itu turun sampai memamerkan bahu dan tali branya. Hal itu menyita perhatian cowok-cowok di kursi belakang yang berbisik-bisik sambil tertawa-tawa.
Bola mata Jeon menangkap reaksi cowok-cowok itu. Ia menoleh ke kiri, mengambil jaket denim yang disampirkan di punggung kursi kosong sebelahnya, lalu menyerahkannya ke Yuna.
"Silakan pakai."
"Eh? Nggak usah. Gerah."
"Saya hanya tidak mau mahasiswi saya jadi bahan tontonan dan dilecehkan orang."
Seketika, Yuna menoleh ke belakang, mendapati cowok-cowok yang menatapnya menggoda. Gadis itu meniup poni panjang yang jatuh di atas matanya, lalu bangkit dari kursi untuk menghampiri meja di belakangnya yang diisi tiga cowok—yang tampaknya setingkat mahasiswa.
"Koen lapo, Mas (Kamu ngapain, Mas)? Ngetawain saya, ya? Kenapa?"
"Dih, sewot dia."
"Gimana nggak sewot. Kamu ngetawain saya, lho. Ada masalah, tah?"
"Beha-mu loh keliatan. Bikin pengen aja." Yang lain menyahut sambil tertawa.
"Bangsat." Tanpa basa-basi, Yuna melayangkan jotosan keras ke wajah cowok itu sampai membuat seluruh pengunjung melayangkan tatapan keheranan.
Dengan sigap, Jeon memasukkan laptop dan tugas-tugas mahasiswa ke dalam ranselnya, lalu beranjak berdiri setelah memungut ransel Yuna.
"Berani main tangan kamu?!" Cowok yang ditonjok Yuna spontan berdiri, nyaris membalas dengan pukulan seandainya tak dihalau oleh Jeon yang menyentak tangannya.
"Kok sama cewek kasar, sih? Nggak punya ibu di rumah?" tanya Jeon bernada rendah.
"Nggak usah ikut campur kamu!"
Tanpa meminta izin, Jeon meraih dompet cowok itu dan membukanya. Ia mengeluarkan secarik kartu mahasiswa yang terselip dan tersenyum miring. "Oh... anak Jurusan Bisnis." Lalu, mengembalikannya. "Salam ke dekan kamu, ya. Dari Jeon."
Jeon menggandeng tangan Yuna, mengajaknya keluar kafe. Di depan kafe, Yuna menarik tangan Jeon dan mengulurkan tangan. Kepalanya mengedik ke samping, membuat Jeon sadar bahwa ransel gadis itu ada di tangannya. Jeon menyerahkan ransel Yuna. Ia juga menyerahkan jaketnya untuk dipinjamkan.
"Makasih, Pak." Sambil tersenyum kecut, Yuna mengenakan jaket denim Jeon. Meskipun kedodoran, jaket itu masih cocok ia pakai. Senyum Jeon mengembang.
"Kita pindah tempat saja. Kamu punya rekomendasi tempat enak?" tanya Jeon.
"Ada."
*
Tujuan mereka selanjutnya adalah restoran masakan Korea.
"Karena saya lapar, saya mau makan dulu." Begitu yang diucapkan Yuna begitu mereka sampai di restoran masakan Korea. Ia menunggu makanannya dengan perut keroncongan. "Ah, sial. Gara-gara emosi jadi makin lapar, deh." Yuna menatap Jeon yang sejak tadi diam memandangnya. "Bapak nggak mau pesan makanan?"
Lelaki itu menggeleng. "Saya tidak bisa makan sembarangan."
Hilih kinthil. Yuna mencibir. "By the way, sekali lagi makasih lho udah belain saya. Dan buat pinjeman jaketnya."
"Oh, ya. Panggil saja Jeon saja. Usia kita hanya selisih sedikit, kan?"
Yuna menggaruk kepala. "Hm... agak ganjil ya kalau saya panggil nama aja. Kakak, deh."
Jeon tertawa. "Asal jangan Pak. Kesannya tua banget."
Tak berselang lama, makanan datang. Yuna mengambil sumpit dan mulai memakan tteokbboki yang disiram keju mozarella itu.
"Kamu asli sini?" tanya Jeon, entah basa-basi atau memang penasaran.
Yuna menggeleng. "Papa saya orang Singapura, Mama saya orang Jakarta. Mereka mengirim saya dan kakak saya ke Surabaya untuk mengurus salah satu anak perusahaan Papa. Ah...." Padahal, Yuna tak suka membahas soal itu. "Pokoknya gitulah." Gadis itu meneguk teh lecinya. Pembahasan soal orang tua memang tak pernah mengenakkan.
Jeon tampaknya menyadari perubahan mimik wajah Yuna.
"Kakak kamu ngurus perusahaan keluarga?"
"Cuma ngawasin sih. Orang kerjanya tidur doang."
"Sudah lama pindah?"
"Sejak... kecil. Dulu orang tua saya sih masih sering bolak-balik Surabaya-Jakarta-Singapura, sampai dirasa kami cukup dewasa buat hidup mandiri. Haish... kan jadi ke mana-mana. I don't want to talk to a stranger about my privacy!"
"Lho, saya kan dosen kamu, bukan stranger." Jeon tersenyum miring.
"Tetap saja. Bapak—eh—Kakak kan baru ngajar. Nggak usah sok akrab, deh."
Usai menyelesaikan makan, Yuna merapikan mangkuk, gelas dan sumpit di atas bakinya. Ia menggeser baki itu menjauh. Kedua tangannya dilipat di atas meja.
"Jadi, kita kapan nih kerjanya, Kak? Saya sudah melewatkan streaming Stray Kids nih. Nanti malem saya mau streaming NCT. Jangan bikin tugas fangirl saya berantakan."
"Stray Kids? Anak Jalanan? Sinetron di SCTV?"
Bola mata Yuna berputar. "Itu grup K-Pop, Pak."
"Kamu suka K-Pop?" Nada Jeon naik setengah oktaf.
Sambil mengangguk, Yuna mengeluarkan kesepuluh jarinya untuk menghitung. "Stray Kids, NCT, The Boyz, sama Seventeen. Oppa saya mah banyak."
"Kamu nggak bingung?"
"Bingung apaan?"
Jeon mengusap bibir keheranan. "Muka mereka kan sama semua."
*****
Kampank kamu Jeon! :(
"Kak kenapa muka Yuna ga girlgroup aja sih?"
Akutu takut ada fanwar :" Mending kaga usah deh ya :"
Atau mau mukanya si Yuna dipakein Yeji ITZY? Kan mirip Yoongi tuh wkwkwk
"Kak, grup lain ada ga? EXO, Ikon, dkk?"
Pokoknya kalau ada grup yang nggak gue sebutin di sini, artinya ada membernya yang bakal muncul, ya. Wkwk.
Enanya dipanggil "Pak" atau "Kak" nih? :3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro