11
Yuna terbahak membaca balasan Jeon.
"Kangen matamu a, Pak." Yuna mendecak lidah. Ia memikirkan balasan untuk dosennya itu.
Makin ke sini, dosen gantengnya itu berani bicara secara blak blakan. Yuna jadi penasaran, apakah memang Jeon suka mengumbar kata-kata manis? Lantas, bagaimana cewek di layar ponselnya?
Mengingat foto itu membuat perut Yuna mulas lagi. Ia mendesah panjang. Haruskah ia bertanya siapa cewek di foto itu? Biar ia tak membiarkan spekulasi mengular di kepalanya.
"Astaga aku jadi badut." Yuna melempar ponsel dan memandang Holly yang sudah tidur di sampingnya. "Holly, menurutmu, aku tanyain ke dia nggak soal cewek itu?" Tak ada balasan. Anjingnya sudah terlelap tidur. Ia memutuskan untuk memejamkan mata dan melupakannya.
*
Sepanjang mata kuliah Linguistik, Yuna hanya memain-mainkan pulpen. Teman-temannya sibuk mencatat, baik di buku, iPad, atau laptop. Namun, hanya ia yang diam, membawa lamunan jauh. Ada yang melemparinya dengan buntalan kertas. Kena kepala. Praktis, Yuna menoleh mencari sosok pelemparnya. Ia menatap Suhay yang sedang menulis di bangku belakangnya.
"Eh, Su, sopo yang ngelempar aku?"
Suhay menengadahkan kepala. "Lha, emboh (nggak tahu)."
Yuna menoleh ke kanan-kiri. Ia menemukan segerombolan cewek di bangku belakang yang cekikikan melihatnya. Mata Yuna menangkap buntalan kertas di meja salah satu cewek itu.
"Oalah jancuk."
"Heh, lambemu (mulutmu)," tegur Dani yang tak sengaja mendengar Yuna misuh di sampingnya. "Yun, besok mau tak ajak?"
"Ke mana? Nanti kalau aku jalan sama kamu, dipikir aku cabe-cabean godain pacar orang." Yuna tak ingin namanya semakin jelek. Orang-orang sudah banyak menuduhnya menggoda dosen-dosen di kampus. Ia tak mau menambah spekulasi negatif. Apalagi, Dani kan sudah punya pacar.
"Nggak bakal. Jihan udah kukasih tahu kok kalau nanti aku ajak kamu."
"Seminar lagi?"
"Enggak. Ke rumah Pak Jeon."
Deg. Asu, kenapa nih? Yuna merapatkan bibir. "Ngapain?"
"Bantuin ngoreksi tugas mahasiswa lah. Kan katanya kamu juga disuruh beliau. Ya udah, sekalian kita barengan. Besok, yo? Mau tak jemput ndek rumahmu, tah? Aku mau minjem mobil Ceceku."
Aku menggaruk tengkuk. "Di rumahku ada sepupuku. Nggak enak kalau kutinggal."
"Ya diajak aja."
"Ndasmu." Ngajak Yono sama aja cari mati, pikir Yuna. Yonanda akan mengacaukan segalanya. "Ya udah. Tapi, aku nggak bisa lama-lama, lho. Nanti kalau kakakku tahu aku ninggalin sepupuku lama, bakal dimaki-maki aku."
"Iya.... Sepupumu suka apa? Bawain aja sesuatu. Biar nggak bawel."
Boleh dicoba sih.
Yuna dan Dani tak lagi melanjutkan percakapan karena Bu Sasa memelotot ke arah mereka.
*
"YONO!" Yuna berteriak memanggil Yonanda begitu keluar dari kamar. Ia sudah siap dengan tas kecil.
"Apaan, sih?" Suara Yonanda terdengar di bawah. Oh... rupanya cowok itu sedang asyik main video game sambil tiduran di sofa.
Yuna menuruni anak tangga dengan cepat. "I will go sama my friend."
Menjeda permainan sebentar, Yonanda menengadah menatap sepupunya. "Terus, aku ditinggal di sini, gitu? Alone? Nanti kalau aku mati kesepian gimana?"
"Apaan, sih." Yuna menyatukan alis. "Nggak bakal mati kesepian. Ada Holly. Nanti aku bawain sesuatu ya. Tapi, jangan bilang-bilang kakakku kalau kamu kutinggal. Nanti I kena marah. Mau apaan?"
Yonanda melanjutkan permainan. "Bawain Subway, deh."
"MANA ADA SUBWAY DI SURABAYA, BANGSAT. YOU PIKIR SINGAPORE?" Yuna memijit pelipisnya, menahan jengkel.
"Hm... apa, ya?"
"Aku bawain ayam Pok Pok aja. Nggak usah protes."
"Itu apaan?" Yonanda mengernyit. "Kalau banyak micin nggak mau, ah. Nanti aku jadi bodoh kayak kamu."
Yuna mendorong kepala Yonanda saking kesalnya. "Itu Taiwan street food paling enak. Udah. Nggak usah protes."
"Maksa amat, sih. Ya udah sana. Pergi. Jangan ganggu main PS."
Mengembuskan napas panjang, Yuna menyingkirkan poninya ke samping. Ia mendengar suara klakson mobil di luar. Pasti Dani sudah menjemput. Maka, gadis itu buru-buru keluar dan membuka pintu gerbang. Sebuah Mini Cooper berwarna merah muncul di pandangan Yuna.
"Widih, anjay betul." Yuna membuka pintu mobil kecil itu.
Dani tersenyum. "Biasanya aku bawa cewekku make mobil ini juga. Abis enak sih. Sempit. Kalo pegangan tangan lebih losss."
Mini Cooper tersebut meluncur di jalanan komplek yang sepi.
*
Sepertinya, ini pertama kali Yuna ke rumah Pak Jeon. Untung saja ada Dani yang menemaninya sehingga ia tak perlu mati kutu. Meski demikian, tak tahu kenapa jantungnya berdebar. Ia meraba dadanya. Aduh, aku kok malah deg deg ser gini sih?
Dani memarkir mobil begitu pintu gerbang dibuka oleh satpam. Rumah Jeon terlihat minimalis dan rimbun oleh pepohonan serta kebun yang luas. Yuna seolah bisa melihat kepribadian Jeon dari rumah yang ditempati.
Begitu keluar dari mobil, Yuna mencengkeram tali tasnya. "Eh, Dan. Kamu emang bilang ngajak aku?"
"Ya iyalah. Kan dia yang nyuruh aku ngajak kamu."
Yuna menggaruk kepala, membuat rambut yang ia kucir kuda sedikit keluar dari ikatan. Ia merapikan ikatannya sambil berjalan menghampiri pintu. Dani menekan bel. Tadinya, Yuna berekspektasi seorang ART yang membuka.
Namun, justru wajah Jeon yang langsung menyambutnya di balik pintu. Lelaki itu tersenyum semanis madu, menampakkan lesung pipit yang samar.
"Maaf yo, Pak. Kami telat," tukas Dani.
"Silakan masuk."
Keduanya masuk, diikuti pintu yang ditutup.
"Saya justru mau ngucapin terima kasih karena kalian bersedia ke sini dan membantu saya. Kerjaan saya sudah overload. Saya butuh dibantu asdos."
"Wah, kalau jadi asdos ya saya siap-siap saja, Pak. Asal nilainya dibagusin di akhir, ya." Dani tersenyum, membuat matanya semakin menyipit.
"Itu urusan gampang. Saya bisa bantu kalian dapat IPK bagus."
Tak seperti Dani yang girang, Yuna malah bengong. Ia meneliti rumah Jeon. Rapi. Dan, tak banyak barang. Tidak ada foto keluarga yang dipajang. Hanya ada lukisan.
"Mau langsung ke ruang kerja saya? Saya sudah menyiapkan segalanya buat kalian."
Dani langsung mengekori Jeon menuju ruang kerja. Namun, butuh waktu bagi Yuna untuk berjalan. Ia kepo. Ingin mengetahui banyak hal. Jeon cukup tertutup soal privasi. Benar-benar tak ada foto satu pun di rumah itu. Dani bilang, itu rumah Jeon sendiri. Dibeli pakai uang sendiri. Bukan kontrakan. Bukan indekos. Benar-benar atas nama Jeordie Notonegoro. Tapi, kenapa sepi, ya?
Berbanding terbalik dengan keadaan di ruang tamu dan sekitarnya, ternyata ruang kerja Jeon luas dan dipenuhi buku yang dipajang di rak lebar. Ada tiga MacBook di sana. Wah, benar. MacBook Jeon banyak sekali.
"Eh, Pak. Ada swimming pool, ya?" Seru Dani berbinar-binar melihat kolam dari balik dinding kaca—kelambu berwarna krem itu disingkap.
"Kenapa? Kamu mau renang?"
"Nggak, sih. Saya pengen ngerjain di pinggir kolam. Boleh, nggak? Nggak enak kalau rame-rame begini. Sekalian...." Dani mengusap tengkuk dan tersenyum malu-malu. "Mau teleponan juga sama pacar saya."
HEALAH, TERUS AKU DITINGGAL BERDUA SAMA SI JEON? Yuna membulatkan mata. Ia memelotot ke arah Dani yang mengedikkan kepala.
"Ya sudah. Bawa saja makalah-makalah mahasiswa dan MacBook saya. Asal jangan lelet, lho."
"Iya, Pak. Siap! Saya sudah paham kok ngerjain beginian. Udah sering diminta dosen lain." Dani mengambil beberapa makalah beserta satu MacBook, lalu membawanya keluar.
Tinggallah Yuna dan Jeon berdua di ruang itu. Yuna semakin kikuk. Ia berulang kali mengusap belakang lehernya tanpa berani menatap sepasang mata Jeon yang dari tadi mengamatinya bagaikan predator.
Oalah, cuk. Gini amat aku. Yuna hanya bisa menggumam dalam benak.
"Saya duduk, ya." Gadis itu langsung duduk, masih tak berani memandang Jeon yang tersenyum mengamatinya. Yuna berdeham, kemudian membuka MacBook di depannya.
"Kamu sudah mengerti?" tanya Jeon.
"Ehm, anu...." Yuna menggeleng.
"Saya ajarin." Lelaki itu duduk di sebelah Yuna yang diam mematung. Jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa senti. Yuna bahkan bisa mencium aroma parfum di tubuh Jeon. Tidak terlalu menyengat seperti parfum cowok kebanyakan. Sangat lembut.
Duh, parfumnya enak banget ini. Gadis itu hanya bisa memuji dalam hati.
Selama mendengar Jeon mengajarinya, Yuna mengamati layar. Sesekali, ia menoleh ke samping. Dengan perlahan. Jantungnya berdebar semakin keras. Yuna sadar, rambut lelaki itu dibiarkan agak memanjang dibanding pertama kali ia datang ke kampus.
"Sudah mengerti?" Jeon memalingkan wajah, memandang Yuna yang praktis mengedipkan mata.
"Iya, paham."
Yuna mengalihkan perhatian ke makalah di dekat MacBook. Ia membuka makalah pertama.
"Kamu mencoba menghindari saya, ya?" tanya Jeon.
Ah, sial. Kenapa pertanyaan seperti harus dilempar sekarang, sih? Yuna hanya bisa menggeleng.
"Saya ngerasa begitu. Kenapa? Apa saya punya salah?"
"Nggak ada...."
"Kok, pesan saya nggak dibales?"
"Habis, Anda bahasnya nggak penting." Yuna membolak-balik halaman makalah.
"Hm." Jeon mengangguk-angguk. "Jadi, kalau saya bilang kangen, itu nggak penting buat kamu?"
"Ish.... Bapak jangan gitu, dong." Yuna mengembuskan napas panjang. Ia akhirnya memberanikan diri membalas tatapan Jeon.
Oalah, cuk. Kok dilihat jarak dekat begini ganteng banget, sih? Hatiku jedak jeduk rasanya. Kenapa ini?
Padahal, sejak awal Yuna tak bermaksud masuk ke jerat pesona dosen barunya. Seperti kebanyakan mahasiswi di universitasnya. Namun, kini tampaknya ia paham mengapa dosen di depannya ini sangat digilai cewek-cewek. Auranya tak main-main. Yuna hanya menyadari belakangan.
"Bapak kan sudah punya pacar, nih. Mohon maaf, bukannya saya lancang, tapi... saya nggak mau saja kalau ada orang lain yang menyalahartikan kedekatan kita."
"Hm?" Sebelah alis Jeon terangkat. "Kok kamu bisa berspekulasi begitu? Pacar?"
"Yang di hape Bapak?"
"Ah...." Jeon terkekeh manis. "Itu adik saya."
JHAHAHAHAHA. ADEK TERNYATA. Entah kenapa, Yuna malah tersenyum. Hatinya bunga.
"Oh." Ia memalingkan wajah sekadar menyembunyikan senyum lega.
"Kenapa kalau saya punya pacar? Kamu jealous?"
"Dih, apaan, sih. Saya baik-baik saja." Yuna mulai mengetik di keyboard. Gerakan jemarinya terhenti ketika tangan Jeon menyentuh jemarinya.
"Yuna," panggil Jeon. Sangat lembut. Suaranya yang merdu seperti bisikan angin yang menyejukkan.
"Iya?" tanya Yuna pelan, nyaris seperti bisikan. Debaran jantungnya sudah tak karuan. Rasanya, ia seperti gunung aktif yang hendak meletus.
"Kamu dekat dengan Christian?"
Spontan, Yuna menoleh. "Christian Jumantara?"
"Iya dong. Masa Christian Bautista."
Yuna terkekeh. "Dia teman kakak saya, Pak. Kayaknya relasi kerja."
"Kakak kamu? Memangnya kerja di mana?"
"Ah, anu. Kakak saya ngurus perusahaan papa saya di sini."
Tangan Jeon terulur, menyingkirkan rambut Yuna yang lolos dari ikatan rambut, ke belakang telinga. Darah Yuna rasanya berdesir. Cewek itu ingin memalingkan wajah. Badannya terasa kaku. Ia tak bisa terus-menerus di ruangan itu hanya berdua dengan Jeon. Ia lebih baik lari dari ruang kerja itu daripada terjebak dalam pesona dosen sialannya ini.
"Boleh nggak saya bilang kalau saya cemburu sama Christian?"
Mata Yuna melebar lagi. "Hah? Buat apa?"
"Sepertinya, saya suka sama kamu."
Debaran kali ini semakin menggila. Seperti genderang perang yang ditabuh. Yuna jadi salah tingkah. Ia hanya bisa memandang wajah tampan dosennya tanpa berkata-kata.
GILA APA? Yuna hanya mampu merutuk dalam hati. SEUMUR-UMUR NGGAK PERNAH AKU TUH DI-DOR SAMA DOSEN.
"S-saya...." DUH, AKU BALES APA INI? Rasanya, Yuna ingin kabur. Tapi, badannya benar-benar membatu. Ia hanya bisa menggerakkan jemarinya di atas meja. Sedikit. Lehernya bahkan kaku.
Tiba-tiba saja, sesingkat kedipan mata, bibir Yuna bersentuhan dengan bibir Jeon. Cukup pelan, hingga membuat gadis itu membulatkan mata karena kaget.
EH BUSET. KOK AKU DICIUM???
Tak ada reaksi apa pun dari Yuna selain kedipan mata. Tangannya bergerak sedikit.
"Kamu keberatan?" tanya Jeon.
APANYA?
Yuna malah menggeleng. Tidak sinkron dengan suara hatinya.
JANGAN GELENG-GELENG DONG, GOBLOK. Kabur!
Alih-alih kabur, Yuna malah tersenyum simpul. Hal itu dianggap Jeon sebagai jawaban. Lelaki itu mendekat lagi dan mendaratkan ciuman sekali lagi. Bukan, bukan seperti kecupan singkat tadi. Kali ini, ia benar-benar mencium gadis itu. Bibirnya bergerak, menuntut balasan. Yuna mengangkat tangan. Tadinya, ia pikir akan mendorong tubuh Jeon. Namun, tangannya berhenti hanya di dada lelaki itu. Diam. Tak bergerak. Alih-alih mengikuti suara hatinya tadi, otaknya justru bertindak sebaliknya. Ia menikmatinya.
"Kayaknya saya harus kembali, nih. Cece saya nelepon, mobilnya mau dipa—" Dani yang membuka pintu ruang kerja spontan menghentikan ucapannya begitu melihat dosen dan temannya itu berciuman. "—ke."
*****
Susah emang nolak pesona Pak Jeon ya, Yun :)
"Jadi, gimana? Ada yang mau daftar jadi mahasiswi saya?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro