"Kamu nanti besarnya mau jadi apa?" Lelaki itu sudah memintaku untuk makan, tapi aku bukan menolak karena pilih-pilih. Tangan ini ... tak dapat bergerak leluasa semenjak luka panjang nan merah hadir muntahkan banyak darah.

"Udah, jangan nangis." Tangan besarnya mengusap air mata di pipiku. Saat ini juga, aku tak menyadari ada yang basah di mataku. "Abang yakin kamu itu kuat. Katanya kamu mau jadi superhero, kan?"

Aku mengangguk kaku. Kalau boleh jujur, aku lebih menginginkan tinggal bersama dia ketimbang bersama dua sampah tak tahu diri itu. Dia selalu melimpahkan seluruh perhatiannya padaku. Dia spontan mengkhawatirkanku bila fisikku tak baik-baik saja. Sekarang saja dia membaluti banyak perban di kedua tanganku. Hanya anggukan yang dapat aku lakukan. Aku tak mau dia mendengar suara getar nan mencekat ini.

"Tapi, rasanya mustahil kalau kamu jadi superhero kayak Wonder Woman," katanya baru saja tuntaskan menempel secuil plester untuk rekatkan perban. "Soalnya mereka punya kekuatan super."

"Terus," sial, aku melanggar niatku sendiri, "adakah superhero yang gak menggunakan kekuatan super untuk aku perankan?"

Kulihat senyum merekah di bibirnya yang hitam----dugaanku----kebanyakan sesap rokok. "Menjadi polwan."

****

Ha! Polwan? Persetan dengan aparat keamanan dan masa itu! Kutatap tanganku yang berlumuran darah, menikmati angin malam di atas gedung mati yang menghadap pada jalan raya. Jaket pun ikut berkibar bersama rambut yang terurai panjang. Aku bisa mendengar sirine polisi makin kuat saja.

"Jangan bergerak!" Tingkah mereka sungguh menggelitik hati, lantas aku melirik sunggingkan seringai lebar. Dari sini, entah kenapa aku dapat melihat sosok lelaki dengan punggung lebar----mantan pemilik jaket hitam ini----tengah melindungiku, mengucapkan sepenggal kalimat yang tak dapat kudengar.

Namun aku berkata, "Aku pasti akan berada di atasmu." []