8. Bagas
Dering ponsel gaet atensiku. Nanggung banget, tinggal dua soal essay yang mesti selesai, gak mau tau. Belajar number one, cek pesan masuk nomor sekian. Entah berapa menit yang kuhabiskan dengan cari jawaban, tapi syukurlah isi pesannya tak terlalu....
Oke, tarik kata-kataku barusan.
Aku gak tau siapa yang ngirim beginian, tapi kalau orangnya ketemu pengen ucapkan banyak terima kasih. Senyumku merekah selebar kucing peliharaan hasil pungut. Sayang sekali hanya sekejap kala mataku menangkap tulisan berupa Biaya pendaftaran.
"Kukira bakal gratis." Bila dipikir-pikir lagi, agak egois pasang gratis untuk benefit selengkap ini. Maksudku, siapa yang gak mau rugi ajak ini-itu guna kepentingan event sedangkan pendaftarannya tanpa dipungut biaya sepeserpun? Orang juga pasti curiga ketika jumpa flyer dengan ciri-ciri yang kusebut.
Event buat artikel ulasan bertema kriminal. Ingatanku tentang daftar nonfiksi mengenai kasus kejahatan di aplikasi baca buku cukup membantu dalam menganalisis, pun materi artikel yang pernah beliau jelaskan di eskul mading. Selain dapat kendala biaya, ada sesi seleksi peserta. Patutlah keuntungannya amat menggiurkan.
Masalahku hanya kendala uang. Pakai uang saku bulanan bukan pilihan terbaik untuk hari esok dan seterusnya. Sekejap aku mematung begitu bayang seorang wanita berambut seleher muncul dalam benak.
Masa aku minta bantuan Mbak Deva?
****
Harusnya aku belanja mumpung kemarin libur sekolah. Kan lenyap makanan incaranku. Mau gak mau aku putar otak untuk masak makan malam sebagai hadiah telah belajar cukup lama----hitung aja dari jam pertama dimulai sampai jam pulang sekolah yang justru tergantikan oleh rapat OSIS. Langkah berhenti dan menghadap rak aneka minuman. Belakangan hari ini minat sama es krim matcha, lantas aku borong susu dan bubuk matcha.
Beralih pada lapak penuh sayuran. Mungkin masak sup brokoli bagus jadi hadiah ke diri sendiri, jadi ambil saja bahan utama sebanyak kemampuan uang yang kubawa. Tinggal cari bum----
Loh? Mbak Deva? Muka dia babak belur, tetap terlihat cantik. Cukup, Bagas! Aku menggeleng cepat, bukan waktu yang tepat untuk mengagumi kecantikan Mbak Deva. Lekas samperi dia yang asyik lihat obat luka.
"Mbak kenapa?" tanyaku berhati-hati, takut jadi samsak tinju dia. "Mukanya bonyok gitu."
Terlihat dia tersentak kaget, atau bisa kubilang ... refleks taruh barang tadi ke keranjang belanja. "Saya ... kemarin kecelakaan. Untungnya cuma luka ringan."
Luka ringan? Apa iya? Kenapa firasatku berkata lain, Mbak?
"Kamu gak usah cemaskan saya, Bagas," tambahnya tersenyum samar. Serius, meski senyum muncul juga yang kulihat hanya muka dingin Mbak dengan tatapan ala pemeran antagonis di sinetron.
"Gimana saya gak khawatir kalau luka yang Mbak dapati kayak----"
"Sebelum kecelakaan," akhirnya dia mengaku, "saya berantem sama preman di jalanan. Dia meringis ketika elus luka di tulang pipi. Pasti sakit. Masa malam-malam mereka palak saya pakai embel-embel Ini jalan kita."
"Harusnya Mbak abaikan mereka saja," kataku melengos tutupi bagian mulut dan hidung dengan punggung tangan. "Atau ... lapor ke polisi gitu? Dari pada Mbak ladeni sampai adu jotos."
"Saya paling benci sama orang sok berkuasa," ujarnya alihkan pandangan sebentar. Kamu sendiri? Persediaan makanannya habis?
Aku mengangguk----ah, sempat-sempatnya lupa sama rencanaku. Namun, minta bantuan di tempat ramai begini? Di hadapan calon ibu ini? Fix, tubuhku keluar hawa panas. "Mbak ... aku imgin ngomong penting sama----"
"Maaf, saya lagi buru-buru."
Waktu seakan berhenti sekarang. Barusan dia ... menyela dengan sebuah penolakan? Kulirik pelan-pelan.
"Tadi saya melamun, makanya di sini terus." Bahkan dia bersiap jauhi aku. Apa salahku?
"T-tapi, Mbak----"
"Jangan sekarang, Gas." Mbak Deva pun hilang dalam pandanganku, seperti menyembunyikan sesuatu. Mungkin dia masa bodoh, tapi diam-diam kuperhatikan wanita idaman itu tengah rapikan rambut dan memandang isi keranjang belanja.
Bagiku, wanita idaman sesungguhnya adalah cerminan Mbak Deva. Wanita yang tampil percaya diri meski titik ungu mengurangi paras cantik, yang tetap pasang muka datar pun berbicara lugas macam pemeran wanita ter-savage versi netizen, juga tak peduli apa kata orang mengenai penampilan binsifat.
Dia ... selalu seperti itu setiap hari, seolah tunjukkan pada dunia bahwa beliau cinta diri sendiri. Itu yang kutangkap, entah pendapat orang bagaimana.
Ah, sampai tak sadar kebutuhanku telah terpenuhi. Aku gak lihat harga barang yang terambil bahkan----Mbak Deva ke mana, anjir? Panik langsung mode on. Buru-buru beranjak ke area pembayaran yang tidak terlalu ramai sambil sesekali edarkan penglihatan ke seluruh penjuru mall. Rambut Mbak Deva sungguh tak asing dan anti-mainstream.
Pendek-ikal-bervolume.
Terima kasih sudah berbelanja. Aku gak peduli sama ucapan sopan sang kasir, berlari perpendek jarak dengan Mbak Deva. Banyak orang yang kusenggol saking gak perhatikan celah guna menyelinap.
"Mbak!" Betapa jeleknya aku kala berlari dekati wanita yang berhenti di ambang jalan masuk mall, apa lagi blak-blakan atur napas depan reinkarnasi dewi Athena. "Mbak ... Mbak ada waktu buat ngobrol sama saya?"
"Apa penting sekali sampai kamu lari macam dikejar tuyul?" tanyanya menyipit dingin.
"Iya!" Rasa penat langsung hilang berkat reaksimu, Mbak! "Penting-pake-banget!"
"Tatapanmu sungguh mengancam, Nak." Dia juga ambil jaga jarak denganku. Jadi canggung kalau situasinya kayak gini, saling diam memandang aneh. Sebab itu aku beli dua gelas es milo, mumpung punya duit sisa dan BBM masih penuh.
"Jadi ... Mbak punya waktu di hari Minggu?" tanyaku mengelap kacamata sambil tunggu pesanan jadi.
"Lebih tepatnya itu waktu saya bersantai di rumah." Mbak Deva meringis dan entakkan kaki teramat cepat, dance BBHMM-nya Blackpink pun kalah. "Sudah selesai, kan? Saya benar-benar dalam keadaan genting."
"Aku tau Mbak lagi berbohong." Terus terang, hal yang kubenci seumur hidup adalah rasa keingintahuan. Sekali terangsang, susah untuk dikendalikan. Bila aku tahan, justru malah ganggu aktivitas yang semestinya membuatku bahagia. Alangkah beruntung diriku melihat Mbak Deva yang berpaling jengah. Muka dia memerah sampai telinga.
"Just kidding," kataku menahan tawa. "Maaf sudah ganggu waktu produktif Mbak."
"Memang kau mengganggu waktu saya yang berharga." Pas banget pesanan kami jadi. Lepas itu, Mbak Deva pergi dengan motor scoopy tanpa pamit. Cukup sakit sih, tapi aku terus berpikir positif bahwa Mbak Deva memang punya jam kerja padat.
"Bye bye, Mbak!" pekikku lambaikan tangan, penuh harap bakal dibalas. Rupanya gak semudah itu, ferguso.
****
Malam ini, aku benci sama kamu.
Ini kali sekian kamu kejutin aku dengan suara cempreng bin menggelegar, dasar guluduk! Mana hujan deras lagi. Aku sudah bilang sama Uwel supaya undurin jadwal misi rahasia hari ini, tapi dia gak mau dengar. Jadi ya ... kami semua kena sial. Venchy yang harusnya fokus buat laporan dokumentasi rapat guru----dia yang bilang tapi aku curiga dia bakal begadang nonton anime----malah gabut potong satu per satu batang lidi di sudut kelas.
Lalu aku sendiri, duduk manis di bangku paling depan sambil lihat Uwel dan tumpukan buku setebal lebar ban mobil.
Tidak, jangan fokus padanya, Bagas. Ada hal yang wajib kamu urusi: event. Tanganku langsung bersetubuh dengan ponsel, mencari banyak informasi dari sosial media. Persetan guluduk jedar-jeder dengan ganas demi jadi pusat perhatian. Aku pun gak tau apakah pesan grup mading yang ini cukup berguna atau tidak.
Ringkasnya, mereka bicarakan berita tentang kriminalitas geng remaja karena satu pertanyaan sederhana: Apa kalian punya rekomendasi nonfiksi tentang geng motor? Tema seperti itu susah didapat untuk kategori bukan fiksi. Namun aku salut sama mereka yang tau banyak soal buku bertema demikian.
Sekejap mataku berkata lain. Ini bisa jadi tema yang bagus untuk pembuatan artikel ulasan.
"Apa yang membuat matamu kayak gitu?" Dasar Uwel sialan. Runtuh kan kerangka pembuatan artikelku.
"Bukan urusanmu," jawabku menatap dingin.
"Tapi aku berhak tau, kan?" Nyesal aku lempar serangan tadi. Tatapan Uwel mulai terasa janggal. Ditambah kelasnya tanpa penerangan, paling cuma kilat yang muncul sedetik. Hanya layar ponsel yang menerangi mukaku----aku bilang gitu karena lampu flash sengaja nyala guna melihat keadaan mereka yang melarat di bawah kuasa Uwel.
"Apa yang membuatmu punya hak mengetahui pikiran orang lain, hah?" Kami saling tatapan lamaaa sekali. Semua pengurus yang terlibat dalam misi rahasia pun melihat pertarungan sengit kami.
"Bukankah kita sudah berjanji akan saling terbuka jika salah satu tengah berpikir sesuatu?" kata Uwel mulai terbitkan senyum samar.
"Tapi kita sepakat hanya saling terbuka untuk urusan misi analisis para pembully di sekolah ini," sanggahku tak kalah tajam. "Dan kau pikir aku sedang pikirkan para pelaku yang meresahkan baru-baru ini?"
"Sayangnya iya, kata otakku."
"Maaf, tapi pikiranku sedang tidak mengarah ke sana, ketua OSIS Daniel Riqquel."
"Baiklah...." Akhirnya senyum lembut Uwel muncul juga guna cairkan suasana. "Tapi setidaknya izinkan aku bantu tuntaskan keresahanmu."
Di sini aku mulai membisu. Benakku menolak, tapi batinku menerima. Ambil napas dalam-dalam, kemudian embuskan perlahan. Saat itu pula sorot mataku makin terasah ketajamannya. "Urusanku harus kutuntaskan sendiri, Uwel. Maaf, kutolak uluran tanganmu." []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro