Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Deva

Kini di tangan saya terdapat kapas dan obat merah kemasan pak. Hah.... Benda paling benci setelah berurusan dengan bocah-bocah ingusan kemarin. Berkat mereka, dari pagi sampai sore keadaan saya yang penuh luka lecet membuat para pegawai kafe khawatir. Beberapa pelanggan juga begitu bila pesanannya saya tangani. Beginilah yang mereka lontar begitu kami bertemu:

"Aduh, Mbak kena hajar orang, tah?"

"Mau saya belikan obat gak, Mbak? Lukanya bikin muka Mbak gak cantik loh."

"Siapa yang gebukin Mbak, hah? Tak aing tonjok sampai mereka tobat dan minta maaf sama emaknya."

Jujur, ungkapan yang barusan saya sebut bikin ketawa. Senangnya mereka khawatirkan sang atasan yang tak punya ekspresi membahagiakan selain muka datar. Paling penting waktu itu Venchy belum datang. Bisa berabe kalau dia lihat pemandangan buruk ini. Balik pada cerita, dua barang yang saya ambil masuk ke keranjang berisi bahan masak di rumah. Tinggal cari keperluan kafe dan----

"Mbak kenapa?" Sekejap tubuh saya menegang sebelum mengetahui keberadaan laki-laki berseragam batik-celana kelabu tengah mendorong keranjang besi, saking waspadanya terhadap kehadiran Venchy. "Mukanya bonyok gitu."

"Saya ... kemarin kecelakaan," jawab saya setengah berdalih. "Untungnya cuma luka ringan. Kamu gak usah cemaskan saya, Bagas."

Iya, dia Bagas, cowok paling unik setelah Zeka. Terkadang hadir dalam kehidupan saya macam nyamuk yang berbekal puluhan soal tak berguna, tapi bisa menjadi seseram tatapan burung hantu bila saya samperi kamar kontrakannya. Aneh emang ini cowok, macam Zeka.

"Gimana saya gak khawatir kalau luka yang Mbak dapati kayak...." Gawat, dia tahu saya berbohong. Ayo, Dev. Cari alasan spesifik.

"Sebelum kecelakaan, saya berantem sama preman di jalanan," sela saya pura-pura meringis ketika elus luka di tulang pipi. "Segini mah mana sakit. Malam-malam mereka palak saya pakai embel-embel 'Ini jalan kita'."

"Harusnya Mbak abaikan mereka saja," kata Bagas melengos penuh sesal. Tunggu, sesal? Kenapa mesti pasang raut muka demikian? "Atau ... lapor ke polisi gitu? Dari pada Mbak ladeni sampai adu jotos."

"Saya paling benci sama orang sok berkuasa." Oke, kamu harus cari topik lain, Dev. "Kamu sendiri? Persediaan makanannya habis?"

Bagas mengangguk, tapi dia melengos dengan muka merah. "Mbak ... aku imgin ngomong penting sama----"

Waktunya kurang tepat. "Maaf, saya lagi buru-buru. Tadi saya melamun, makanya di sini terus."

"T-tapi, Mbak----"

"Jangan sekarang, Gas." Saya langsung berhambur ke kasir. Mesti antri pula.... Berulang kali saya gigit jari sambil lirik ke belakang. Bagas masih di sana. Namun matanya tak mengarah ke sini, sibuk pilih-pilih produk yang saya rasa tak ada perbedaan. Sial sekali hari ini, jarak kami terputus oleh kehadiran pelanggan.

Singkat cerita, saya sudah bayar barang. Cukup kuras uang buat pribadi yang cemas sama nasib anak orang di dunia bisnis. Beruntunglah saya punya pegawai pengertian. Pernah suatu hari, saya telat kasih gaji demi perbaiki jendela kafe akibat ulah berandalan ingusan. Tetapi mereka bilang begini:

"Tak apa, Mbak.Yang penting, kenyamanan pelanggan nomor satu."

"Ih, gak apa-apa telat gaji selama gue dapat kue sisa. Iya gak, gaes?"

"Aku makin gak enak hati kalau Mbak merasa bersalah baru kasih kita gaji 3 jam kemudian." Perlu kalian tahu, jangan remehkan waktu atau kamu kena karmanya. "Kita dikasih kue sisa aja terselip rasa sesal udah ambil kesempatan dalam kesempitan."

Kau tahu siapa yang bilang begitu? Binggo! Venchy bicara demikian dengan muka merengut. Untuk seorang pegawai kafe, jarang sekali punya sosok seperti Venchy. Akan tetapi, saya merindukan momen tersebut. Peristiwa telat gaji yang saya maksud terjadi setengah tahun lalu. Bukan berarti saya bakal ulangi kejadian itu, tapi berharap dalam kondisi apapun----kecuali titik bangkrut----mereka tetap ucapkan kalimat tadi.

Ya.... Menyebalkan memang, tapi saya suka.

"Mbak!" Kaki beralaskan wedges baru pijakkan halaman depan toserba, menunggu Bagas yang pontang-panting kemari. Cowok itu membungkuk terengah-engah. "Mbak ... Mbak ada waktu buat ngobrol sama saya?"

"Apa penting sekali sampai kamu lari macam dikejar tuyul?" tanya saya memandangnya dengan gemas.

"Iya!" Spontan Bagas bangkit pamerkan mata bulatnya. "Penting-pake-banget!"

"Tatapanmu sungguh mengancam, Nak."

Dua gelas susu milo seakan tak bantu persempit jarak kami berdiri samping lapak. Tak apa selama rasa manis yang tak terlalu pekat bisa cairkan suasana.

"Jadi ... Mbak punya waktu di hari Minggu?" tanya Bagas tengah mengelap kacamata. Seingat saya dia tak pakai benda merepotkan itu.

"Lebih tepatnya waktu saya bersantai di rumah," koreksi saya entakkan kaki secepat skill potong bawang ala chef. "Sudah selesai, kan? Saya benar-benar dalam keadaan genting."

"Saya tau Mbak lagi berbohong." Tubuh saya menegang waktu lihat sorot mata Bagas yang mengancam. Jangan-jangan dia....

"Just kidding." Menyebalkan.... Ingin sangat saya jahit bibir dia yang tersenyum, supaya bisa lihat keceriaan abadi tiap bertemu. "Maaf sudah ganggu waktu produktif Mbak."

"Memang kau ganggu waktu berharga saya." Lekas bangkit dan menaiki motor scoopy, menaruh tatapan tajam pada Bagas yang melambai sambut kepergian saya. Akhirnya saya bisa bernapas lega.

Bagas ... memang sosok dengan otak yang tak dapat saya prediksi maksudnya.

****

"Sayang sekali ya kamu gak bisa datang." Di balik nada bicara penuh kekecewaan, saya tersenyum membalikkan halaman senandika yang belum selesai berkat kehadiran Zeka hari itu. "Saya kira kamu bakal setiap hari datang bagikan informasi tentang mereka."

"Aku emang berniat rutin ke kafe kamu, tapi emosiku lagi labil. Aku gak mau kemarahanku terlampiaskan pada orang tak bersalah."

"Berarti hari ini kamu di markas?"

"Iya, untuk hari ini dan seterusnya." Wow, kabar yang cukup menarik sampai senyum saya makin lebar.

"Apa ada masalah di indekosnya Venchy?" tanya saya mengambil cangkir kopi hitam.

"Sebenarnya bukan masalah sih, melainkan saran dari pemilik indekos. Dia takut kalau penampilanku buat emak-emak nekat selingkuh." Nyaris saja kopinya tidak muncrat. Kau buat saya tergelak, sayang waktu kurang bersahabat.

"Kenapa pikiran dia sampai sejauh itu? Padahal----"

"Aku rasa dia benar, Dev," selanya berdeham singkat. "Dan bisakah kita tak bahas itu dulu? Aku lagi gak mau ketawa atau bahagia."

"Terus kamu mau apa? Menangis? Mengamuk? Saya rasa itu bukan tindakan yang bagus untuk seorang perwira."

"Kamu telepon aku cuma tanya perkara datang ke kafemu atau tidak, kan?" Baiklah, nampaknya Zeka memang dalam suasana hati yang buruk. "Maaf, jangan bicara banyak dulu."

Panggilan pun berakhir. Desah panjang mewakili perasaan saya pada Zeka. Tak seharusnya pancing emosi dia yang ikuti suasana hati buruk. Di sisi lain, saya penasaran. Apa yang buat dia berlaku demikian?

"Semoga suasana hatimu membaik, Zeka," gumamku mulai memandang para pegawai yang asyik elap meja dan jendela----beberapa menyapu serta cuci piring. "Semuanya, jam kerja sudah berakhir. Baik kalian pulang bawa kue sisa, biar saya urusi kegiatan kalian yang belum usai."

Dan biar saya perhatikan siapa saja yang mengeluh.

"Yah, Mbak. Lima menit lagi buat kerja sambil lihat muka cantik Mbak," kata cewek buntal yang mukanya cukup cantik menurut saya.

"Belum juga pesta atas kafe Mbak yang kebanjiran pelanggan hari ini." Bukan tolak usulanmu, tapi saya benar-benar butuh waktu sendiri. Lantas saya menggeleng lemah.

"Gak, kalian pulang sekarang atau saya potong komisi." Sip, jurus ini memang ampuh buat mereka ketar-ketir keluar tanpa ganti baju. Sapu, lap dan cairan pembersih jendela, semua peralatan dibiarkan begitu saja.

Tawa nyaris meledak. Kalian sungguh menggemaskan kalau diperlakukan macam tadi. Beri saya waktu sebelum tuntaskan baca senandika dengan mengurusi kafe. Lelahkah menunggu saya? Maaf, sekalinya lihat pemandangan tak sedap, sisi perfeksionis saya kambuh.

Yuk, kita lakukan me time.

Halaman demi halaman saya baca dalam hati, mengikuti emosi yang tersentuh lewat kata-kata. Mereka ... mengendurkan ketegangan di titik tubuh tertentu. Badan saya jadi rileks, ditambah aroma kopi hitam yang mulai mendingin tapi masih goda nafsu untuk meminumnya. Sesekali ladeni ocehan kak Devin di aplikasi chat.

Kebanyakan kami membahas buku. Dia sering beritahu saya perkara buku yang masuk kategori viral. Terus terang, saya pribadi lebih menyukai fiksi terbitan lama. Namun, entah kenapa bila dia bahas buku paling viral yang ditemui di sosmed, saya langsung penasaran. Saya tak dapat menahan rasa ini. Alhasil, saya langsung beli buku tersebut meskipun masih dalam masa pre-order.

Sekarang juga dia temukan buku viral ke-sekian pada saya.

"Tadi gak sengaja lihat paket buku versi VIP," kata dia lewat pesan suara. "Sayangnya cuma bisa diborong dalam kurun waktu 10 menit, yang berarti harus rebutan. Dan kau tau, Dev? Aku nyaris tak dapatkan paket itu!"

Rengekan dia buat saya tertawa. Lekas tekan ikon mikrofon dan saya dekati ponsel. "Kenapa Kakak sampai segitunya dapatkan buku itu? Maksud saya, kita bakal cari tau penyebab larisnya cerita dia?"

Terkirim----ah, saya lupakan sesuatu. "Coba kirimkan postingannya."

Betuah sangat saya dapat orang yang peka. Dia balas sambil bawa apa yang diminta. Bonusnya memang menggiurkan untuk harga yang amat terjangkau. Dan kebanyakan paket komplit pasti pasang harga nyaris memborong enam porsi bakso kliwon.

Sampul buku tipikal khas Wattpad: vektor. Bisa-bisanya saya terangsang ingin baca novel tersebut. Guna tak kesusahan komunikasi, telepon saja dia. "Halo?"

"Kamu udah lihat bonus dari paket rebutannya?" Sekonyong-konyong langsung ke inti. "Menggiurkan, bukan?"

"Iya," jawab saya kedikkan bahu. "Jika yang beli suka kemas-kemas rumah."

"Kan aku sering di rumah." Saya belum kasih tahu fakta tentang dia. Bila di rumah, sepanjang waktu dia habiskan dengan bercakap ringan bersama keluarga atau lakukan hobi seperti baca buku dan berkebun. Alhasil, kamar saya yang semula luas sangat harus ditimbun banyak rak berisi buku.

"Dan Kakak dapat paketnya?"

"Dapat dong! Moga cepet datang, biar kita bisa sama-sama baca."

Saya tertawa gumam. "Bisa mati kutu kalau baca bareng Kakak. Biar aku baca lebih dulu kalau Kakak izinkan."

Terdengar dia tertawa renyah dan ... menjawab pertanyaan orang? Dev, berpikir positif. Dia kan punya jadwal padat buat hadiri seminar. "Iya, pas paket datang, Kakak biarin kamu yang baca dulu. Kapan lagi coba Kakak bisa riset buku tersebut lebih rinci lagi lewat pemaparan darimu, Dev?"

Menyebalkan.... Perhatian saya teralihkan ke luar kafe. Hujan deras? Tak sempat masukkan motor pula. Biarkanlah, selama petir sedang absen.

"Di sana hujan?"

"Yep. Saya gak bisa pulang, padahal ingin kena giliran masak makan malam."

"Gak apa-apa, masih ada besok. Paling penting sekarang kamu nginap di sana aja."

Hanya gumaman pelan yang saya berikan, itupun dengan mata mengarah ke sumber suara misterius. Serius, tadi saya dengar ketukan kaca pintu. Mana mungkin ranting pohon, wong tak ada pohon di wilayah kafe. Mustahil ranting bisa terbang menyapa jendela orang.

"Sudah dulu," kata saya cepat-cepat bangkit dan kemasi barang di meja kasir. "Saya telepon balik. Ada hal yang mesti diurusi."

Dia mengiakan, lalu panggilan kami berakhir. Ambil langkah waspada, diam-diam tangan saya mengepal erat. Sengaja saya memekik "Siapa di sana?" supaya muka dia tak jadi korban tinju.

Namun, dia tak menjawab. Baiklah, jangan salahkan saya jika anda terluka. Mata telah memandang setajam kekuatan dari kepalan tangan. Dengan cepat saya tendang pintu hingga kacanya pecah, pun seseorang terpental tak jauh dari titik awal.

"Siapa kau?" tanya saya menyabet sapu. "Apa maumu?"

"Aku tidak mencuri!" pekiknya susah payah bangkit. Dahi saya mengerut tautkan alis. Siapa juga yang simpulkan kamu maling? "A-aku cuma ... ingin tau...."

"Ingin tau apa?" Sapu sudah siap dalam mode penyerangan.

"Tolong, dengarkan aku dulu, Deva!" Sekejap saya turunkan sapu. Dari mana dia tau nama saya? Jangankan berkenalan, bertemu saja belum pernah. "A-aku hanya senang Deva sekarang ... punya hi----"

"Langsung ke inti sebelum anda babak belur di tangan saya." Di tangan sudah gaet pengganti sapu: payung.

"Apa Deva butuh pegawai?" Kecepatan dia berbicara menyamakan rapper Jennie waktu nyanyi DDU-DU-DDU-DU. "B-barang kali ... ada, i-izinkan aku kerja di sini, Deva."

Lagi-lagi dia sebut nama saya. "Siapa kamu sebenarnya?"

Sebentar. Biar ingat-ingat dulu orang yang dekat sama saya. Kayaknya cuma Zeka sama----akhirnya saya ingat. Lekas buang payung demi usap muka dia yang terhalang rambut dengan leluasa. Persetan payung menjauh serta baju basah kuyup. Membulatlah mata saya.

"Ar-arjuna?" []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro