Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Deva

"Venchy." Saya lirik gadis cantik yang sedang mengelap meja. "Sekarang kamu istirahat saja. Buat diri kamu nyaman sampai punya kemauan untuk tersenyum lagi."

Hanya anggukan yang didapat, itupun dengan muka datar. Dia keluar sambil uraikan ikatan celemek hitam. Ah, kenapa saya pikirkan Venchy? Buang-buang waktu. Lagipun, beberapa bangket jahe malah melempam. Padahal sudah saya simpan di suhu kering.

"Mesti buat lagi...." Mau tak mau pula saya makan kue tersebut. Rasa jahenya justru makin kuat dan bertekstur lembut. Satu per satu keping telah masuk perut di sela buat adonan, terkadang melayani pelanggan selagi Venchy masih di luar.

"Tolong perhatikan Enci terus." Mendadak saya dengar suara berat Zeka dari mulut pelanggan yang pesan latte. Tentu tegang sampai merasa pikiran ini tengah berhalusinasi. Tidak.... Saya menggeleng pelan. Ini bukan ilusi, nyatanya mungkin ucapan tadi terngiang-ngiang. Kemarin sore, sebelum pulang dia cakap demikian.

Saya pikir perkataan lelaki itu sekadar main-main. Tak disangka akan separah ini, lantas senyum terbit dibibir saya. Muncul pula Venchy dengan celemek tersampir di lengan bawah, menatap dingin.

"Kau mau bertanya?" tanya saya setelah sempat terpengaruh dengan efek tatapan dia.

"Soal selendang di lehermu...." Berakhir. Dia jelaskan lanjutannya lewat jari telunjuk yang mengarah ke leher saya.

"Saya tak suka dingin." Berkatmu, senyum manis ini pudar, Venchy. "Ada masalah?"

Dia tetap memandang saya untuk beberapa saat, habis itu berbalik duduk di kepala kursi pelanggan. Kenapa melihat keadaan di luar sana? Apa yang menarik dari motor yang berjejer rapi? Apa yang menawan dari ramainya jalanan di sore hari selain hujan deras? Masa bodoh, ada hal yang lebih penting ketimbang lakukan me time.

KRING!

Suara tadi menampar jantung saya. Palingan pelanggan yang terburu-buru. Ada Venchy di sana, siap melayani dengan penuh cinta. Ingin tertawa rasanya. Apa sebosan itu saya bekerja di sini sampai melantur begini? Ini tak boleh terjadi, sudah amanah saya dalam menjalankan bisnis keluarga.

KRING!

Loh? Saya tak dengar langkah sepatu dia. Jangankan demikian, komunikasi antara Venchy dengan pelanggan saja tak ingat kapan mulainya. Apa saya melamunlagi, ya? Atau jangan-jangan saya terlena sama kegiatan ini. Cukup kedikkan bahu, saya lanjutkan menuangkan adonan ke plastik segitiga.

"Izin ganti baju." Itu dia suara yang saya rindukan.

"Tentu----" Saya langsung menatap tak percaya. Sejak kapan penampilan Venchy kacau balau? Pakaian kotor. Rambut acak-acakan. Luka memar di mana-mana, paling parah dia bagian muka. Darah pun menodai tangannya. Namun, entah kenapa saya lihat Venchy seperti perangai Zeka sewaktu perang malam berdarah.

Waktu itu, penampilan dia sama kacaunya dengan Venchy.

Sekonyong-konyong tubuh saya ambruk jatuhkan plastik segitiga. Nyeri datang berangsur di kepala----akh! Saya tutup sebelah mata. "Jangan lagi...."

"Hebat banget lo, Dev!" Apa yang hebat dari saya? Nyeri ini seakan tak mau hilang meski dijambak bertubi-tubi. Begitu mata terbuka, yang nampak justru sepasang kaki yang menginjak banyak korban. "Bisa ngehajar sampai gak sadarkan diri."

Bukan! Itu bukan kesalahan saya! Jerit pun tak terdengar, tenggelamkan diri di balik meja saji. Tidak, bahkan saya sendiri tak bisa prediksi di dimensi mana.

"Heh, angkat kepala lo, bangsat!" Akhirnya saya rasakan nyeri lain usai dipaksa mendongak. Namun, sakit dalam kepala malah menjalar ke sekujur tubuh begitu mata kami bertabrakan sama-sama dingin. Iya.... Saya ingat peristiwa yang teramat nyata ini.

Lihatlah Zeka yang berdiri dengan mata nyalang. Angin malam mengibarkan jaket kebanggan kami saat itu. Rambut gondrongnya ikut melambai. Senyum pun terlukiskan bermakna lain.

"Kita anggap kemenangan ini sebagai kegiatan terakhir sebagai-----"

"Gue gak mau bangkitkan geng itu lagi!" Memekik sambil bangun tertatih-tatih telah angkat kesadaran saya. Walau pandangan berkunang-kunang, jangan sampai mereka tahu kondisi mengerikan ini, terutama Venchy. Cukuplah mendengar teriakan sebagai penampakan.

"Mbak ... Deva?" Persetan dia bertanya. Dengan langkah terseok-seok, saya mendorong tiap pegawai yang menghalangi jalan ke kamar mandi. Saya kunci pintunya, menghabiskan waktu dan air secara percuma.

Lihatlah dirimu, Deva. Bahkan di umur beranjak 30-an pun masih tak sanggup melawan mimpi buruk itu. Air membasahi wajah dibiarkan terus menetes. Tapi saya apresiasi perjuanganmu, wahai diri sendiri.

"Terima kasih...." Tangan basah mulai membelai cermin besar teramat liar, mengikuti irama pernapasan yang asyik dihantui batin negatif. "Kita berjuang lagi...."

"Mbak gak apa-apa?" Bukan Venchy. Pasti salah satu pegawai kategori fulltime. "Mau saya siapkan obat?"

"Saya gak apa-apa," jawab saya mencoba atur sistem respirasi tanpa menoleh ke sumber suara. "Jangan cemaskan saya."

Dan lihat pula akibatnya, Deva. Kamu buat mereka khawatir. Saya terlampau pecundang, kan? Iya, saya tetaplah wanita yang menggenggam takdir menjadi makhluk terlemah. Badan merosot dan meringkuk telungkupkan muka hina ini.

Zeka.... Beri saya waktu untuk terima kehadiran kalian berdua.

****

Hei, Deva.

Saya dengar sisi lemahmu kambuh. Benarkah itu? Sudah coba minum teh atau baca senandika? Saya mengerti kamu masih tak sanggup melawannya. Tak apa, selalu berproses meski hasil perjuanganmu tak sepadan dengan rasa sakit yang kamu terima. Berjuanglah, saya berada di sisimu.

Butuh berjam-jam untuk sekadar menggambar pose memalukan khas penghuni jurang penderitaan berjenis realisme, belum menghias halaman buku dengan stiker tak berguna. Orang dengan selera seni tinggi berkata stiker tersebut amat estetik bila benar menggunakannya. Tapi entahlah punya saya estetik atau tidak.

Geraman motor menggaet perhatian saya. Sempat periksa ponsel, tertera jam menunjukkan tengah malam. Kenapa suaranya seolah gambarkan siang hari? Toh, saya pun tak sadar sudah selarut ini berperang dengan emosi. Panggilan tak terjawab hampir penuhi kolom notifikasi.

Tadinya saya ingin biarkan mereka. Namun, makin ke sini malah menjadi-jadi. Saya benci sorak sorai atau tepuk tangan yang berkumandang di waktu orang terlelap, terlebih deru motor terdengar mirip dengung pasukan lebah. Dari balik jendela saja bisa targetkan siapa saja biang kerok aksi meresahkan ketenangan masyarakat.

Sekumpulan cowok gondrong berjaket hitam yang dikerubungi calon kupu-kupu malam.

Enggan sangat saya kotori mata dengan pemandangan seronok, lantas saya alihkan pada foto lecek di atas bentangan buku. Potret yang memuakkan. Ada saya dengan sebatang rokok----sekarang masih doyan sesap tembakau meski tak sesering dulu. Najis, hina sekali kau dalam foto ini, Deva.

"Bagaimana kalau kita diam-diam berantas mereka?" Lagi-lagi ucapan Zeka hadir dalam benak saya. Begitu rinci. Mulai dari senyum lembutnya hingga gerakan mata bulat yang menyokong kata demi kata. "Maksudku, aku tak bisa bergerak sebebas dulu, tapi kau bisa."

"Tidak-tidak...." Lekas menggeleng cepat guna usir usulan konyol itu. "Kau malah bangkitkan geng yang kita bangun. Saya tak mau terjadi untuk kali kedua."

"Jangan sentuh gue----"

Saya spontan terpejam kuat. Sabar.... Jangan dengarkan desahan cewek goblok di luar. Tetapi, raungannya kian menggila, timbul embusan gusar dari mulut saya.

"Untuk kali ini saja, Zeka...." Selebihnya tetap berpegang teguh akan keputusan saya. Tangan saya menyabet kunci motor dan kardigan merah marun, seliar tendangan keras dalam membuka pintu. Senang sekali atensi mereka berpusat pada saya. Rupanya mereka bersetubuh secara terbuka, tepat di samping saya. Emang dasar letak kafenya di antara pesawahan. Bangunan terpencil, kasihan.

"Anj*ng, lu siapa?"

"Ada mata-mata di sini!"

"Mangsa baru cuy, lihat aja bodinya."

Aduh, lihat mereka bergairah buat saya tertawa, tapi saya lebih tertarik memandang cewek yang terengah-engah meneteskan cairan putih di sekitar kaki. Selamat, ya. Berkat kebodohanmu, sebentar lagi bisa merasakan jadi sosok ibu.

"Apa?" Pelaku pelecehan seksual mulai bangkit benarkan celana. "Lo mau kena bagian, hah?"

"Tentu," jawab saya tersenyum tipis, "itupun jika kamu bisa mengalahkan saya."

"Sombong banget lo jadi cewe----"

Serangan highkick saya berikan ke rahang bawahnya, saat itu pula dia tumbang. Perlu garis bawahi, saya paling benci dengan basa-basi maupun omong kosong.

"Jadi?" Seraya kenakan kardigan, sorot mata tajam saya sebarkan tanpa pandang bulu. "Siapa selanjutnya?" []

ARC I THE END

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro