Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Zeka

Gue langsung tersedak dengar pertanyaannya. Tentu gue gak langsung jawab, melainkan terkekeh sumbang dan melanjutkan sarapan gak sehat ini, bodoh amat tuh cewek diam kayak patung. Bukan maksud gue pengen bohongi adik gue sendiri. Gue cuma gak mau Enci terlibat dalam misi selama di sini: menghapus era geng remaja.

"Aku masih nunggu loh, Bang." Tatapan Enci makin tajam menohok, tetap gak mau makan.

"Abang gak sembunyiin apa-apa, Ci. Status Abang sebagai tentara lagi nonaktif. Gak ada kerjaan yang sesuai. Beliau akhirnya ngasih abang cuti buat pulang. Gitu doang."

Gue gak sepenuhnya ngelak. Beliau----perwira yang ngasih gue misi----memang kasih cuti buat gue lepas rindu sama Enci dan mang Nganjuk, sebelum akhirnya aktivitas sehari-hati gue dicatat tiada ampun sebagai perkembangan misi.

"Berarti sewaktu-waktu Abang bakal balik ke markas kalau dapat penugasan?" Enci bisa lanjut makan. Aish, lucu banget waktu dia ngunyah. Pipinya tembam kayak marmut.

"Tepat sekali. Makanya tentara kayak Abang jarang balik kampung."

Singkat cerita, gue dengan semangat 45 menunggangi motor ninja butut. Entah kenapa gue jadi teringat kenangan bersama kendaraan roda dua ini. Dialah yang bawa gue keliling daerah bersama petinggi geng The Bad, saksi bisu atas tawuran penuh darah, bahkan dia bisa merajuk kayak cewek PMS di saat genting: mogok terus.

"Sekarang kamu milik Enci, kicik." Kadang banyak yang nertawain nama motor gue. Nama lengkapnya Kicik Balap. Menurut gue keren, tapi apa yang lucu dari nama Kicik Balap?

"Abang mau anterin aku?" Gue nyaris ngakak setengah mati waktu lirik Enci. Maksud gue, ini beneran Enci? Yang semula pakai seragam sekolah asal-asalan bareng celana olahraga, kini terlihat rapi banget niru siswi teladan. Yang semula rambutnya awut-awutan tapi mempesona, sekarang dikucir kepang dua.

Bahkan dia pakai kacamata segede dosa gue di masa lalu.

"Kenapa? Puas Abang ledekin penampilan aku?" Enci mengerling dongkol. Pada akhirnya gue gak bisa tahan tawa.

"Ngapain kamu pake meranin cewek cupu segala?" tanya gue sambil pegang perut yang sakit kebanyakan tawa. Sekarang juga tawa gue belum berhenti. "Mau sok nyamar kayak di film genre mata-mata?"

"Bodo amat!" pekiknya entakkan kaki. Serius, lo kalau gitu mulu bikin gue gatal pengen narik-narik pipi lo, Ci. "Buruan anterin aku ke sekolah! Hari Senin ini!"

Ah, gak nyesel gue pulang kampung. Ngomong-ngomong, ada alasan kenapa gue terpaksa berbohong pada Enci.

****

"Sudah lama tidak bertemu, Ka." Dua cangkir teh menjadi saksi pertemuan gue yang kebetulan ini. "Datang-datang badanmu gagah begitu. Gak sia-sia perjuanganmu."

"Ya," gue terkekeh singkat memandang Enci kewalahan di area meja pelanggan. "Kamu juga bikin aku kaget. Sekalinya ketemu, kamu udah jalani bisnis."

"Ini bisnis orang tua saya, Ka. Saya gak mau jadi anak yang bebanin orang tua." Deva dengan anggunnya minum teh sambil baca buku sekecil saku seragam dinas gue. "Kalau saya perhatikan juga, sepertinya gaya bicara kita udah beda jauh."

"Aku emang diminta untuk bersikap sopan pada wanita dan orang lansia, eh malah jadi kebiasaan."

"Saya suka dengan perubahanmu, Zeka." Deva tersenyum lembut. "Setidaknya kamu bisa kendalikan emosi saat berhadapan dengan musuh."

Tunggu, gue jadi teringat sama misi. Sudah masanya gue pergi, mungkin aja beliau nungguin gue di markas. Gue sempat minta ketemuan nanti malam sebelum beranjak pergi ke markas. Beruntungnya gue dapat Deva yang seakan tahu maksudnya: "Datang saja ke sini jika pembahasanmu memang melibatkan saya."

Misi ini sudah gue pegang sejak pulang dari markas pusat. Dan benar saja, sosok pria paruh baya dengan seragam loreng berdiri begitu gagahnya, bahkan ngalahin sikap sempurna gue kalau lagi sesi baris-berbaris.

"Sepertinya kamu masih jalani masa lepas rindu, Zeka Airlangga," kata beliau saat gue beranjak dari Kicik Balap. Gue gak langsung menjawab, melainkan lakukan hormat di hadapan beliau.

"Kamu masih ingat dengan misimu?" Kalau lo penasaran, gue tegang setengah mati waktu beliau rangkul leher gue dan masuk ke markas bersama-sama. Berbulan-bulan telah berlalu, tapi tetap aja gue ngerasa takut kayak mau diterkam singa. Walau beliau percayai keteguhan gue dalam mengabdi pada negara, gue-tetap-tegang-setengah-mati.

"Siap! Ingat, Komandan!" jawab gue berusaha tegas seperti seharusnya tentara bersikap.

"Nah, karena saya belum jelaskan misimu secara rinci, saya akan memberikan beberapa informasi dari reserse polisi." Sampailah di sebuah ruangan milik beliau yang ... lebih mirip disebut ruang tamu? Seingat gue, rumah yang dihuni si monyet itu sebelas duabelas sama ruangan ini. Kami duduk berhadapan di kursi empuk, datang pula salah satu tentara membawa tiga cangkir teh tanpa menggunakan nampan.

"Saya jadi tak sabar melaksanakan tugas sebagai pengawas dari misi Zeka," kata dia duduk samping gue dan menepuk lembut di pundak. Dia sopan kok, usai taruh minuman langsung hormat pada kami, padahal gue lebih muda dibanding dia. "Pasti siap dong, soalnya saya akan mencatat laporan mengenai aktivitas sehari-hari kamu tak tersisa."

"Loh kok----"

"Bukannya kamu terbiasa, Zeka?" Cara beliau minum teh macam minum air minum dari galon aja, anjir! "Sudah 8 tahun kamu jalani hari dan pendidikan sebagai tentara, bahkan laksanakan tugas negara pun berkali-kali dan diawasi oleh salah satu tentara senior."

"Siap, Komandan!" Bisa-bisanya cowok samping gue cekikikan. Hebat juga sembunyiin ekspresi nahan tawanya, tergantikan dengan muka nahan kentut. "Maaf atas spontanitas saya."

Komandan hanya menggumam mengiakan, lekas minta tentara tadi untuk ambil 'amplop' di meja kerja. Gue gak tahu apa isinya, tapi beliau malah minta gue baca puluhan laporan yang berasal dari amplop tadi. Serasa jadi detektif. Beliau hanya jelaskan inti misi yang berkaitan dengan dokumen-dokumen ini, memperbolehkan gue untuk bocorkan sedikit informasi tentang misi pada orang yang gue percayakan, juga kasih izin menunjukkan adu fisik jika posisi gue semasa jalankan misi benar-benar terancam. Kebanyakan laporannya tentang geng Darah Hitam dan gue gak tahu apa-apa semenjak gue pensiun dari lingkup kekerasan remaja. Sebab itulah gue ajak ketemuan sama Deva. Cewek itu gak pernah langgar janji. Dia yang paling mengerti soal jalan pikiran gue.

"Geng Darah Hitam?" Deva mengernyit bingung.

"Ya, kamu tau geng itu?"

"Saya tak tau banyak soal geng Darah Hitam, tapi mereka sering datang ke kafe saya," jawabnya bersandar lemparkan kertas berjilid ke meja. Mirip cewek mafia. "Mengenai geng Darah Hitam yang menjadi targetmu, kenapa tidak lenyapkan geng Semar atau The Badders terlebih dahulu? Dari segi kekuatan, geng Semar masih tergolong lemah ketimbang The Badders."

"Aku tak menargetkan lenyapnya geng Semar karena motif pergerakannya belum tergambar jelas, terbukti laporan pertama hanya berupa tawuran berdarah sebelum menjadi langganan buronan polisi karena kasus jual beli barang ilegal dan pembunuhan. Sedangkan geng Darah Hitam menampakkan dasar dari aksi kejahatan----geng itu dari awal berjenis geng kriminal remaja. Aku sudah baca laporan kejahatan tiga geng ini, tapi aku masih belum bisa simpulkan tujuan geng The Badders beraksi."

"Saya setuju, di situ tertulis aksi geng The Badders adalah melindungi korban. Namun, pelaku yang semula targetkan korban justru jadi korban atas tindakan The Badders. Tapi geng Semar...."

Gue langsung alihkan perhatian, memandang Deva yang menengok jendela. "Apa? Kau tau soal----"

"Ah, bukan apa-apa." Deva memijit jidatnya sambil mendesah panjang. Bukan dalam artian lelah, tapi gue gak mau curigaan sama gelagat Deva. "Saya hanya membayangkan yang gak-gak."

Sialan.... Kenapa rasa curiga gue makin kuat? Sebisa mungkin gue tepis sambil corat-coret gak jelas di kertas, menulis beberapa poin yang saling terhubung. "Geng Darah Hitam beneran sering mampir ke sini?"

"Setahu saya iya." Deva bangkit bawa cangkir kosong ke meja pelayan. "Semenjak saya urus bisnis kafe, saya gak punya waktu dan hak berurusan dengan geng remaja. Yang saya fokuskan hanyalah kebahagiaan saya."

"Emangnya gak bisa pantau kafemu sendiri, Va? Bukan maksudku memaksa, tapi apa pekerjaanmu selain membangun popularitas kafe dan mengatur keuangan? Memantau aktivitas pegawai kan bisa sekalian cari tau keberadaan mereka yang duduk di meja pelanggan."

"Bukan tugas saya dalam mewawancarai setiap pelanggan dan saya tidak punya hak perintahkan pegawai untuk terlibat masalah dengan geng itu." Dia balik membawa cangkir yang terisi cokelat panas. "Kalau kamu ingin tahu banyak mengenai geng remaja, minumlah di sini setiap hari Sabtu. Ada sekelompok orang seusia Venchy yang diskusi perihal geng incaranmu, mungkin hanya itu saran yang dapat saya kasih. Kamu bisa tanya-tanya sama mereka."

Setiap hari Sabtu, ya? Gue bakal ingat, bila perlu gue catat agenda tersebut.

****

Dan itulah misi gue sekarang, setelah 8 tahun pergi ke luar pulau Jawa untuk jalankan tugas sebagai prajurit. Sambil nunggu kedatangan Enci di halaman depan sekolah, gue terus pikirkan ucapan beliau selama gue ditempa sebagai bagian dari kemiliteran.

"Jangan pernah berbohong."

Gue langsung ngusap muka dengan frustasi. Terpaksa Enci dibohongi. Bukan masalah takut ketahuan gue pulang bukan sekadar lepas rindu. Sampai taruhan nyawa, gue gak mau Enci ikut terlibat karena sifat keingintahuan dia yang tinggi. Gue paling ngehindari sifat kayak gitu. Bel pulang sadarkan gue yang asyik debat dengan otak, tapi murid-murid pada keluar macam detik-detik selamatkan diri dari gempa. Bedanya mereka saling cekikikan, waspada akan motor yang melaju pulang di antara pejalan kaki, bahkan gak malu nongki depan pedagang kaki lima. Nasib baik gue bawa mobil usai pergi ke markas, jadi mereka gak kenali muka gue yang ganteng ini.

"Pokoknya kamu harus ikut event yang Uwel kasih!" Itu dia datang. Gue berniat sapa Enci tersayang dengan pekikan ala tentara, tapi lirikan Enci pada orang lain terasa aneh. Mungkin kebetulan aja gue ngerasa demikian karena bocah-bocah tengik datang menyerang cowok yang Enci rangkul. Tapi tunggu, kenapa mereka langsung takut sama dia? Apa yang Enci lakukan sampai bocah tadi merunduk dan lari ketar-ketir? Gue yakin banget, tadi tuh cewek cuma----

"Permisi." Perhatian gue teralihkan. Entah sejak kapan nih cowok jangkung membungkuk samping gue, melemparkan senyum yang bikin mata waspada gue menyala. "Apa kamu abangnya Venchy dan Vinci?" []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro