Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Deva

"Lawanmu adalah saya, Nak." Kaki beralaskan wedges menendang bagian perut Mira, kemudian saya hantamkan muka dia ke lutut. Tekstur tulang yang retak amat merangsang kesenangan duniawi saya. Namun konsekuensi atas serangan tadi buat betis saya terluka. Kami saling menjauh meredakan rasa sakit.

"Apa ini?" Saya layangkan sorot mata mengancam. "Kamu sendiri yang menantang kami dan sekarang berbuat kotor dengan menggunakan senjata tajam dalam menyerang musuh?" Biarlah Mira terkejut dengan reaksi saya yang berjalan tanpa menghadapi sensasi denyut di titik luka. "Percuma kamu kalahkan saya, Nak. Tapi...."

Sekali kaki memijak, darah mengalir deras. Tinju jenis hook mengenai pipi Mira, berharap tulangnya juga retak macam hidung. Dia justru silangkan pergelangan tangan depan titik serangan saya jatuh. Hasilnya lawan terdorong mundur. Saya tak hilang akal supaya Mira tunduk pada saya. Pukulan uppercut lolos dalam lindungan silang itu, telak mengenai rahang bawah. Tak sampai situ, saya terjang muka----apa?

"Umurmu memang memengaruhi ingatan, ya?" Dia menangkap kaki saya. Salah satu tangannya acungkan pisau belati. "Jangan lupakan senjata tajam."

"Maka dari itu jangan andalkan senjata, sayang." Dalam sekali ancang, kaki satunya menggaet leher Mira. Kami sama-sama terjatuh. Tanpa ulur waktu saya buang senjata dengan kaki. Kalau sempat, saya hantam kepalanya. Dia mengaduh, senang masih merasakan sakit. Cepat-cepat bangkit mengambil pisau belati, inginnya saya lempar keluar. Tak kusangka dia masih bergerak cepat menyabet leher saya. Dalam posisi ini memang bahaya di dunia baku hantam. Sang lawan bisa lesatkan pukulan bertubi-tubi di punggung, bahkan memperkuat cengkeraman hingga terkesan mencekik tanpa ampun.

Saya masih bisa bernapas bila posisinya seperti ini. Tutup mata, tahan napas, jatuhkan senjatanya begitu saja sembari kumpulkan tenaga di tangan, baru layangkan serangan yang disuka macam pukulan siku dan membanting tubuh lawan ke depan. Peluang emas berhasil saya ambil: injak muka di tengah menarik tangan. Dia menggelepar macam ikan, ya.

"Bagaimana rasanya baku hantam, Nak?" Lepas pisau ada di tangan saya, Mira berhenti bergerak. Tangan yang saya tarik juga melemah. Mungkin tak sadarkan diri akibat injakan saya. "Beruntung kepalamu tak remuk. Sepeser pun tak besar kekuatan yang saya keluarkan saat kamu menggelepar tadi."

Dengan begini perkelahian selesai. Ambruklah saya di tempat. Banyak tenaga yang terkuras di anggota tubuh, khususnya tangan ini berakhir gemetar hebat. Sensasi inilah yang buat saya gila kala lagi doyan rebut wilayah bersama mereka berdua. Luka di kaki? Bodoh, sudah saya bilang kan tidak sakit?

"Mbak Deva!" Suara lantang pun takkan buat saya bergerak. "Saya sudah kalahkan----Mbak?" Bahkan tubuh ini kehilangan sensor sentuhan saat Bagas hadir depan mata dan menyentuh tubuh saya. "Mbak gak apa-apa? Astaga, lukanya! Biar saya obati."

"Tak usah," jawab saya nyaris berbisik. "Biarkan aja seperti ini."

"Kenapa dibiarin?" Tanpa seizin saya, Bagas rebut pisau lalu melemparkannya sembarangan. "Nanti infeksi. Saya gak mau Mbak sampai dirawat di rumah sakit cuma perkara luka kecil."

"Luka kecil, kan?" ucap saya menatap kosong. "Ini luka tusuk. Persetan obat-obatan...."

"Terus Mbak mau bilang kalau Mbak tusuk betis sendirian?" Sorot mata Bagas mulai nyalang. "Saya tau Mira pelaku atas luka menyebalkan itu."

"Bagas...." Mendesah panjang juga butuh perjuangan. "Bantu saya berdiri."

"Tentu." Dia menuntun saya berdiri dengan merangkul tangan ke lehernya. Setidaknya saya berhasil gerakkan badan lagi.

"Terima kasih." Saya lepaskan tangan dari rangkulannya. "Tak ada satupun anggota geng Semar yang bergerak?"

"Gak ada, Mbak," jawabnya terengah-engah.

"Meski dia bangkit terpincang-pincang? Atau merangkak?"

Dia balas dengan gelengan lemah. "Kita harus pergi sebelum aparat keamanan datang."

Iya, atau saya ketahuan Zeka soal rencana terselubung ini. Susah payah kami melangkah keluar, sama-sama kritis energi. Saya suruh Bagas pergi duluan guna bisa ikuti dia lewat menumpu pada pundaknya. Samar-samar terdengar napas yang tertahan, lantas lepaskan tumpuan tadi dan mendorong punggung Bagas. Tiba-tiba leher saya digaet dan tertarik ke belakang. Bahu kiri langsung terserang nyeri hebat. Serangan diam-diam ini buat saya mati rasa. Nampak Bagas bangkit tertatih-tatih menatap saya teramat panik, yakin sekali dia kehilangan kata-kata. Sebilah pisau terasa ngilu di hadapan leher saya.

"Kenapa kamu masih di sini?" Diam-diam saya ubah kalimat ke dalam tatapan menyipit dingin: Pergi-cari-bantuan-selain-dia. "Jangan pedulikan keadaan mbakmu ini." Saya tambahkan dengan nada pelan.

"Sialan lo ngehasut teman gue!" Pelukannya semakin erat memperpendek jarak antara leher saya dengan lekas aku bangkit kepalkan tangan.

"Sudah dibilang pergi saja." Mau sebahaya apapun ancaman dia, takkan gentar memeringati Bagas agar ingin turuti perintah mbakmu ini. "Jangan berlagak sok pahlawan kalau kau tak mau saya terluka."

"Ya...." Dia menyeringai lebar, mendekatkan bibir pucatnya ke telinga saya. "Baik lo turuti perkataan orang ini, sebelum lo jadi target selanjutnya."

"Dan sebaiknya kamu juga lebih waspada lagi, Nak." Saya balas ejekan Mira dengan tatapan yang benar-benar sedingin cairan hidrogen. "Jangan remehkan kekuatan kami."

Tapi, dia malah ketawa. "Kenapa gue mesti waspada sama lo berdua, hah?" Genggamannya makin kuat saja, bahkan ujung pisau yang senantiasa memaksa korban untuk tidak bergerak mulai menusuk selendang leher. "Selama bala bantuan datang buat ngehajar lo berdua."

Saat itu pula dalam keadaan mematung, terdengar deru motor sekampung. Cahayanya mengalahkan lampu konser di alun-alun kecamatan, buat saya mau tak mau harus memejam kuat.

"Kau benar-benar meremehkan kekuatan kami ya." Mungkin itu kali pertama kamu dengar saya tertawa, Bagas. "Padahal kamu berdua sudah lama bersama dalam satu organisasi. Tentu kamu tahu betul kemampuan dia. Lalu kamu...."

Begitu sepasang mata ini tertuju untuk Bagas, dengan lincah sundulkan pangkal kepala sebelum merosot banting tubuh Mira ke depan sambil tarik tangannya yang memegang senjata tajam. Dia terbaring mengerang keras dan ... kesabaran saya telah habis. Tanpa pandang bulu, perlahan mulai injak pergelangan tangannya. "Bersiaplah untuk perang demi permalukan pengkhianat, Bagas."

Kenapa saya bilang dia pengkhianat?

Mari ulur waktu ke masa saya tiba di indekos Bagas. Pemiliknya bilang anak itu belum pulang, dengar-dengar kepingin belajar bareng Daniel dan Vinci----saya kenal dia adik kembar Venchy waktu kasih makanan lebih buat Bagas. Lekas pergi ke lokasi tujuan dengan kecepatan di atas rata-rata. Kalau bukan di rumah Daniel ya di tempat tinggal Vinci. Namun, mata saya yang jeli menangkap motor merah yang melesat cepat menuju perkotaan. Sebab itu berhenti di pinggir jalan guna pastikan penglihatan saya tak salah.

Barusan ... dia naik motor sama Mira? Waktu saya pantau keadaan kafe juga, sosok yang keluar kafe sambil menyeringai lebar itu penampilannya sebelas duabelas dengan dia. Buru-buru saya menggeleng. Berpikir positif, Deva. Jangan buat Bagas badmood.

Daripada diam terus di sini, baik saya sambung perjalanan. Misi kali ini ialah cari jalur Bagas melintas. Kecepatannya jauh lebih cepat ketimbang motor saya, sialan memang. Sampai magrib ngalor-ngidul demi mencari lokasi sementara. Hujan turun begitu deras pula, tapi kecemasan saya masih bergelora. Sempat putus asa dan berharap Bagas baik-baik saja jika firasat ini menjadi nyata. Hingga saat itu ketika saya angkat telepon dari Arjuna, tampak Bagas berlari sambil celingak-celinguk mengarungi lebatnya hujan.

"Apa? Kamu dipanggil oleh sebuah geng remaja?" tanya saya masih memandang ke mana Bagas pergi. Sejauh ini, dia hanya mengecek lorong gelap di antara dua bangunan belum jadi.

"Iya, Deva...." Arjuna merengek samar. "Apa yang harus aku lakukan?"

"Sesuai persyaratan yang saya sebutkan, kamu harus terima panggilan itu. Kau tau kan arti dari panggilan geng remaja?" Mesin baru saja saya nyalakan.

"Aku tau.... Tapi Mariana larang aku."

Fix, tak ada yang bisa saya bantah. Hilang sudah kata-kata dalam otak. Cukup satu hal yang ingin sangat dilontarkan bareng caci maki, jika kamu mau izinkan.

"De-va?"

"Dasar cowok terlalu polos...." Biarlah Arjuna menganggap nada saya terkesan kalem, padahal aslinya muka telah tertekuk dingin. "Bisa-bisanya kamu bilang begitu sama Venchy, Arjuna."

"Eh? Salahkah?" JELAS SALAH, DASAR B*NGSAT!

"Lupakan. Pergi saja. Cari alasan yang gak bikin Venchy curiga dan itu bukan urusan saya." Langsung matikan saja saking dongkolnya sama kelakuan Arjuna. Kelamaan depreshot. Tadi seingat saya, Bagas keluar dari gedung mati yang terletak----jika berpatok pada warung yang Bagas kunjungi----dihalang tiga bangunan.

Menyebalkan.... Oke, pikiran saya mulai mengeruh. Lepas masukkan ponsel ke saku baju, motor melaju dengan suara nyaring melintasi jalanan licin. Mantap sesuai dugaan, ada motor Bagas di dalam gedung ini. Kalau dia pergi keluar sendiri, lalu di mana Mira?

"Mira?" teriak saya di tengah memeras ujung baju. "Ini Mbak, Mir. Kasih tau saya di mana kamu."

Titik cerahnya ada di lantai empat, tepatnya waktu saya melampaui undakan dan mendengar dia menelepon seseorang bareng tawa licik. Dari yang saya tangkap, dia bercakap pasal ... Bagas? Kenapa Mira incar Bagas? Oh Tuhan, jangan buat firasat saya menjadi nyata.

"Mira...." Kini sengaja suaranya dipelankan. Namun tak disangka dia mendengar, terbukti lewat ucapannya yang tergesa-gesa dan bilang begini: "Cepat ke sini, ada penyusup yang merebut Bagas dari kita."

Kita? Sialan, saya langsung emosi. Saya berlari tak pedulikan baju bawahan yang basah. Tiba di lantai empat, tapi tidak ada siapa-siapa. Ayolah, di mana Mira? Saya ingin bicara secara intens di sini.

"Lo cari gue, Mbak?" Dia di belakang! Sayangnya terlambat menyadari, maka saya pingsan di tempat sebelum tengok ke sumber suara. Menyakitkan.... Bukan hanya di sekitar pangkal kepala dan leher, tapi tangan-kaki ikut terimbas rasakan nyeri.

"Woi." Sekarang, pipi yang jadi korban. "Sadar, b*ngsat...."

"Sabar, b*jingan...." Saya bisa sadar dengan cepat tanpa kamu suruh. "Ternyata firasat saya benar, ya."

"Apa sih?" oceh Mira tertawa sinis. "Ngeracau lo gara-gara gue pukul dari belakang?"

"Iya...." Saya tergelak setengah tak minat. Ibaratnya kayak kamu ketawa saat nangis. "Sebelum kesadaran saya melayang, kamu mau dengar cerita? Plis, supaya kamu bisa lihat saya meracau tak jelas."

"Oke, gue kasih waktu 5 menit."

"Sepakat ... eh, saya mulai dari mana, ya?" Dalam keadaan macam gini, mustahil saya mampu hentikan kelakuan sinting yang baru saja terjadi. "Ah, dengar baik-baik, Mira sayang...."

Begitu saya tengok, dia sudah acungkan senjata tajam depan mata. Balas saja tingkah dia dengan senyum ala orang gila. "Dari dulu aku sudah curiga kalau kau pengkhianat." Saya balik ketawa sampai terasa bibir ini gemetar. "Tapi saya----ah, jangan begitu bila bicara sama sampah. Tapi gue gak mau kasih tunjuk aib lo sama Bagas dan kawan-kawan. Kalau gue kasih tau kan lo sendiri yang posisinya terancam. Iya gak?"

Lihat muka Mira yang mulai tertekuk buat humor saya meledak kayak orang gila sungguhan.

"Cuma ya ... emang dasar lo yang g*blok gak tau etika dan terima kasih, gue jadi terkesan baik banget. Hei, jika Bagas datang hari ini juga, gue bisa umbarin aib tentang hubungan lo sama geng Semar."

"CUKUP!" Senjata berjenis pisau menancap hampir mengenai daun telinga saya. "LO GAK TAU APA-APA TENTANG GUE!"

"Gue tau segala hal tentang lo, b*bi." Senyum saya makin merekah hingga tercipta muka haus darah. "Dikira gue diam di kafe cuma buat layani pelanggan? Gak, sayang. Gue dulu ahli menganalisis musuh. Bahkan yang gue dengar, hampir semua geng remaja takut sama gue. Lo tau kenapa mereka kayak gitu?"

"Bacot lo...." Mata Mira mulai memerah sampai ke muka dan telinga. Reaksi yang sangat memuaskan hati saya.

"Sebagai akhir kesadaran gue melayang, gue cuma bisa kasih lo petunjuk tentang gue: Gue-adalah-salah-satu-petinggi-yang-disegani." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro