16. Bagas
Begitu kendaraanku berhenti, langsung bertanya. “Kamu diserang----“
“Iya!” pekiknya naik motor seenak jidat. Aku belum izinin kamu naik, oi! “Plis, selamatin aku! Bentar lagi mereka pasti tau aku di sini. Aku beneran takut, Gas.”
“Terus gimana keadaan----“
“Dia baik-baik aja!” potongnya memeluk perutku erat. Kan aku gak tau siapa aja yang selamat, jadi bingung kan kamu bilang gitu buat siapa. Mana tau yang kupikir Venchy selamat, nyatanya gak. “Buruan bawa aku pergi sejauh mungkin! Mereka nyeremin!”
“O-ke....” Pasrah dah ladeni cewek kayak Mira. Lagipula, aku yakin Venchy pasti bisa lindungi diri dan mbak Deva, dasar Uwel yang terlalu manjakan dia. Kendaraan roda dua ini melaju kencang seperti waktu cemas nyaris ketahuan Zeka gara-gara mang Nganjuk.
“Kita pergi ke mana, Mir?!” tanyaku menjerit di arus angin.
“Terserah!” Dia balik teriak tepat dekat telinga kiri----bagian itu paling sensitif terhadap suara. “Yang penting kita selamat dari geng Semar!”
“Emang mereka mengejar kita?!”
“Udah, turuti aja napa! Pikirin aku yang cemas ini!” Mendadak dongkol sama keegoisan Mira. Titik kesalku telah menyentuh puncak bila desah gusar keluar.
“Karena itu aku tanya, supaya bisa tau situasi dan lokasi yang tepat untuk bersembunyi!”
“Aku kan udah bilang takut! Kamu sama kayak cowok lain, gak peka!” Astaga.... Gemetar nada bicaraku lama-lama keseringan nahan amarah mulu. “Salah kamu sendiri kenapa gak pasang kaca spion? Kalau ada, kamu bisa cek belakang dengan gampang.”
Lah, benar juga. Aku terbungkam. Bukan sebab kalah debat sama Mira, tapi telanjur malas minta ini-itu dengan orang yang mentingin diri sendiri. Kami melintasi jalan raya. Bahkan saat berbelok, lutut kami nyaris bersentuhan dengan aspal. Serasa pembalap motor GP yang kasih penumpang sama doi.
Gak-gak, hatiku masih terukir nama dia. Bukan ‘dia’ Mira.
“Buruan kasih tau, tempat yang aman di bagian mana? Biar kita sembunyi sambil rehatin motor!” Demi apapun, aku takut ban motor pecah. Plis, Mir. Kasih pengertian!
“A-aku gak tau!” Ayo dong, jangan bikin mulutku keluarkan kata-kata kasar. “Memangnya kamu tau tempat yang bagus buat bersembunyi?”
“Napa lu nanya gua, b*ngsat?” Nah kan. Susah kalau begini mah. “Lu sendiri seenak jidat naikin motor gua, berarti lu yang mesti cari tempat aman! Gimana sih lu jadi orang?”
Gak ada balasan. Fix, dia takut----aku lebih senang sebut dia mental breakdown----sama omonganku. Nyesel bilang gitu, kapan-kapan minta maaf. Seharusnya aku gak bilang kayak gitu pada seorang cewek. Kami memasuki daerah perkotaan. Tampak sebuah gedung terbengkalai dengan material untuk perbaiki bangunan itu. Mobil berbobot berat modelan truk pengangkut dan pengolah semen pun lenyap, mungkin jam kerja telah selesai. Sore menjelang magrib juga.
“Kita bakal selamat, Mira.” Supaya mengurangi ketakutan dalam diri mira, kueratkan tangan dia yang melingkar di perut. “Peluk aku erat-erat, secepatnya kita ke sana jika kamu pengen sembunyi.”
Dia menurut, mulai eratkan dekapannya. Jarum pada spidometer yang semula menunjuk angka 20 kini menuju 60. Kami masuk ke gedung itu bersamaan dengan motor, mumpung petak paling bawah adalah bagian paling gelap.
“Turun lalu ikuti aku. Ngerti?” Lagi-lagi Mira menurut. Kubiarkan kendaraan kesayangan ditaruh di situ, sementara kami periksa keadaan bangunan mati ini dengan bantuan sorot lampu flash dari ponsel. Keadaan semakin gelap, kami berpijak dari ruangan satu ke ruangan lain. Namun, entah kenapa lihat Mira makin ciut nyalinya bikin jantungku berdebar-debar. Tetap positif, Bagas. Ini efek teror geng Semar. Bukan maen emang. Akhirnya kami berteduh di lantai empat, menetralkan kadar kecemasan lewat atur napas.
Inginnya aku dengar kejadian berdasarkan sudut pandang Mira. Ah, jangan dulu. Kala kulirik, dia malah meringkuk dengan rahang bawah menempel di atas lutut, mengayun-ayun kayak boneka yang bisa berdiri meski alasnya melengkung. Aku makin merasa bersalah. Dia sungguh butuh bantuanku supaya lolos dari kejaran geng kriminal itu, tapi aku malah bentak dia dengan logat kasar. Baik dibiarkan sampai mau bicara sama aku.
Terlebih hujan datang amat deras, semakin kecil peluang untuk pulang dengan selamat. Geledek di mana-mana sempat kageti kami. Bukan, aku doang yang kaget. Sekarang bunyinya jarang terdengar.
“Kau tunggu di sini,” kataku hendak bangkit. “Aku akan periksa situasi di luar sana.”
Baru selangkah aku pergi, dia genggam tanganku dengan kuat. Mata bulat Mira nyeremin minta ampun lewat semburat merah di sekitar putihnya cuy. “Jangan tinggalin aku. Plis....”
Andai saat ini suasana hati Mira udah normal, aku bakal nolak permintaan dia yang buang-buang waktu. “Ya udah, mau bareng?” Aku berharap dia mengangguk, nyatanya geleng-geleng super pelan. “Lepas tanganmu. Aku periksa juga demi kebaikan kita, supaya kita bisa pulang secepatnya. Aku masih ada urusan.”
Mira membatu. Dia gak menjawab, pun enggan lepas tanganku. Ya Tuhan, aku kehilangan kata-kata untuk bujuk spesies satu ini!
“Mir.” Aku berjongkok menghadapnya, mencoba genggam tangan dia, berharap sensasi hangat yang terkumpul mampu tenangkan hati dari rasa risau. “Plis. Kamu gak sayang sama Venchy yang jelas bersamamu saat di kafe? Bukan sok tau, tapi mereka berbuat onar untuk mengincarku. Geng yang mempermainkanmu gak bakalan berhenti buat cari keributan selama yang diinginkan belum muncul. Karena itu, tolong lepaskan tanganmu. Aku janji bakal ke sini lagi, asal jangan ke mana-mana.”
Lega rasanya dia mengangguk walau samar. Perlahan cengkeraman tangan mungilnya melerai, mulai sibuk urusi pikiran----mungkin, dasar Bagas sok tau. Sederas apapun hujan guyur daerah ini, aku tetap keluar tanpa keluarkan ponsel. Persetan benda kesayanganku rusak kena air. Kuberlari sambil halangi muka dengan lengan bawah, supaya leluasa melihat sekitar tanpa sering diusap. Habiskan ratusan meter demi antisipasi kalau mereka----geng Semar----tidak ada di sini.
Hasil pemeriksaan menyatakan keberadaan geng kriminal itu negatif.
Ada baiknya aku hangatkan diri dulu dengan minum teh, seperti cara mbak Deva lakukan me time di kala hujan. Waktu itu aku mampir ke kafe malam-malam karena disuruh beliau untuk bantu penuhi stok bahan, makanya aku tau ritual me time ala wanita anggun tersebut.
“Kok basah kuyup begini, Kang?” Secangkir besar teh manis hangat----gak deh, ini lumayan panas----dia taruh di meja.
“Saya nyari pom bensin mini, Bu,” dalihku tersenyum lembut. “Kayaknya gak ada ya di sini.”
“Di sini mah jangankan pom bensin mini, warung kecil kayak tempat ini juga jarang ketemu. Wong perkotaan, kan. Kebanyakan gedung-gedung, jalannya besar sampai ada tembok pembatas jalur.”
Aku tau itu, semua ucapanku cuma alasan konyol. Namun kubalas dengan anggukan paham sebagai formalitas. “Kira-kira Ibu tau pom bensin di sini di mana?”
“Lumayan jauh sih, Kang. Tinggal ke kanan lalu teruuus lurus, ntar juga ketemu pom bensinnya.”
“Oh gitu, ya.” Syukurlah dia gak nanya apa-apa lagi, lantas habiskan teh supaya bisa kembali ke tempat Mira sembunyi. Ngomong-ngomong, enak juga ngeteh sambil dengerin hujan dan deru motor yang melintas. Tenang ... gitu.
Ck, pikirin keadaan temenmu, Bagas. Kutaruh uang lima ribuan di bawah kuasa gelas kosong, kembali menerjang hujan demi sampai di----hei, kok ada motor tipe cruiser? Apa jangan-jangan suara motor yang kudengar ternyata ini?
“Bagas....” Aku geleng-geleng cepat. “Fokus!”
Lanjut balik ke tempat persembunyian kami sambil memandang kendaraan khas geng motor yang terkenal di Jepang. Mana mungkin yang datang geng Semar? Hanya ada satu kendaraan yang terparkir di luar, jika diprediksi terdapat maksimal dua orang yang kunjungi tempat ini. Di dalam cuma motorku yang tersimpan kering.
“Ternyata benar dia di sini.”
Langkahku terhenti gitu aja selepas dengar tawa remeh dari belakang. Kulirik sumber suara tadi. Puluhan cowok berjaket hitam garis putih udah berdiri kena hujan, beberapa yang masih naiki motor menyoroti lampu ke arahku. Sambil halau cahaya yang menusuk mata, aku berjalan mundur memperkirakan letak undakan menuju lantai dua.
“Lu gak bisa ke mana-mana lagi, Gas,” kata cowok bertubuh gempal memasuki gedung mati ini. “Mending lu balik lagi ke geng Semar, geng yang lu bangun dengan susah payah.”
“Gua gak peduli lagi sama geng itu,” ucapku menatap dingin. Sampai juga menyentuh undakan, tapi malah jatuh tersungkur. Cepat-cepat bangkit seraya atur ritme jantung. “Dan apa-apaan kelakuan lu pada soal penyerangan markas tentara? Lu rekrut gua supaya posisi geng Semar dinyatakan menang melawan pasukan TNI, bukan? Hanya perkara gua kalahkan 80% anggota geng Darah Hitam sendirian di J square? Gua-gak-mau-terlibat-dalam perang yang lu nyatakan di depan aparat pertahanan dan keamanan.”
“Sialan....” Air mukanya mengeruh. “Lu tau dari mana gua nyatakan perang sama pasukan b*ngsat itu?”
Zeka yang bilang begitu waktu di warung mang Nganjuk. “Lu gak punya hak buat tau.”
“Anj*ng lu.” Sekonyong-konyong dia berlari mempersiapkan pukulan, beruntung bisa jadikan serangan balik dengan satu tendangan telak di muka. Langsung aja aku lari mencapai lantai dua, berniat beritau Mira kalau tempat ini udah gak aman. Sorakan mereka menggelegar, harap-harap seruannya itu menarik perhatian polisi.
Menuju lantai tiga, aku menemukan seseorang. Hatiku mencelos, lebih sakit ketimbang kepergian mantan kekasihku. Seseorang terbaring tak berdaya----aku yakin dia pingsan----dengan tangan dan kaki terikat. Siapa yang melakukan semua ini?
“Mbak Deva!” Lekas samperi dia dan mengguncang tubuhnya dengan lembut. “Mbak, bangun.”
Mata dia terbuka, tapi aku harus prioritaskan buka ikatannya dulu. Dimulai dari kaki lalu----
“Saya bisa lepas ikatan di tangan sendiri,” katanya asyik meringis. “Menyebalkan.... Dia pukul bagian belakang kepala saya dengan kuat.”
“Dia?” Aku mengernyit bingung. “Tunggu, Mbak kenapa datang ke sini?”
“Saya ikuti kamu karena khawatir saat geng Semar berbuat onar,” jawab Mbak Deva mengelus pergelangan tangan yang suka gesek tali tadi. “Saya sudah curigai temen kamu, Gas. Bila dibilang kita ... telah dijebak.”
“Dijebak?” Mataku membulat. “Maksud Mbak? G-gak mungkin dia yang Mbak sebutkan.”
“Emang kenyataannya gitu, Bagas.” Seketika badanku mati kutu. Dengan kaku menoleh ke belakang di sela berdiri kepalkan tangan, terlihat Mira tengah keluarkan ponsel milik Mbak Deva di saku celananya.
“Bisa-bisanya kamu jadi mata-mata atas kelompokmu sendiri, Nak.” Tiba-tiba Mbak Deva ada di depanku. “Karena kamu memanggil bala bantuan menggunakan ponsel saya, mungkin lawan yang sepadan denganmu adalah saya, Mira sayang.”
Apa? Mbak Deva ... mau bertarung? Aku benar-benar meragukan kemampuannya. Maksudku, aku emang takut akan tampang dan tatapannya. Namun harus baku hantam? “Apa kau bercanda, Mbak?”
“Kau harus tau, Nak.” Dia sedikit menoleh pamerkan tatapan paling asing dalam ingatanku. Sorot matanya jauh lebih dingin, lebih ganas. “Sosok Deva yang sering kamu temui, kadar keseriusan baru menduduki 20%. Tapi untuk sekarang....” Balik memandang ‘lawan’ yang dia tantang. “Keseriusan saya sudah penuh, jika menyangkut pautkan sosok yang saya sayangi untuk disakiti. Cepat basmi anggota geng Semar, Bagas.”
“B-Baik.” Demi apapun, aku benar-benar gak yakin! Baru saja berlari, Mira sudah halangi jalan dengan sebuah tendangan yang mengenai perut. Sialan, aku jadi susah berdiri. Tertatih-tatih bangkit memandang pengkhianat lewat sebelah mata, langsung disuguhkan oleh wanita yang menjambak rambut Mira sampai tubuhnya sedikit terangkat.
“Pergi hajar mereka,” kata Mbak Deva melirikku. “Sekarang juga.” []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro