15. Bagas
"Sampai sini Bagas paham?" Aku terdiam lamaaa sekali. Pikiran bercabang. Satu mikirin cara kelarin target harian biar produktif sebagai pelajar, satunya lagi bahas soal strategi biar isi artikelku berbobot.
"Bagas?" Sentuhan samar di tangan efeknya udah kayak dirayapi kecoak, buat tersontak dan nyaris jatuh terjungkal bersama kursi. Cepat-cepat mengangguk seraya atur ritme detak jantungku. Sumpah, si Vinci kalau nyadari orang gak ada beda sama Venchy. "Tadi Bagas melamun? Biar nanti belajar bersama lagi."
"Aku rasa ... perlu belajar ulang lagi deh, Vin," kataku----pura-pura----mengerling jengah. "Tapi aku harus kembaliin modul fisika Uwel, takut dia gak belajar dan ... kau tau kan perilaku dia?"
"Yang itu, ya. Aku gak berani bayanginnya....." Mungkin kujelaskan sedikit perihal tingkah Uwel yang kami maksud.
Uwel kalau gak belajar atau baru selesai urusi hal prioritas di otaknya, tingkat kegabutan makin tinggi bahkan kegiatan orang nolep yang dianggap gak berguna malah terkesan berbahaya bila Uwel yang melakukannya. Ambil contoh ... dia iseng ikuti tantangan di tikitoko yang gambar kotak hitam di tangan kemudian jepret dalam keadaan lampu flash hampir menempel dengan gambar tadi. Dari amatanku, jika lakukan hal tersebut bakal terasa tersengat listrik.
Kampretnya, si Uwel malah ketagihan dan jadikan tantangan tikitoko tadi sebagai daftar kegiatan paling berfaedah. Kata dia, sengatan listrik yang dirasa sangat candu.
"Buat jadwal belajar bersamanya diskusi aja sama Uwel," kataku buru-buru beranjak keluar peluk isi totebag merah----puluhan buku tulis hasil tulisan si ketos ter-absurd. "Aku ikut aja."
"Oke." Lariku langsung melejit di atas rata-rata, menyenggol beberapa murid, terlebih masuk lorong undakan menuju lantai atas. Sempit. Banyak orang. Sumber penghambatnya malah siswa-siswa doyan nongki lagi. Tak lupa kuketuk pintu ruang OSIS, meski aku sering diperingati supaya masuk saja mau itu penting atau gak.
"Biasanya kalau kamu ke sini mau menyampaikan sesuatu yang penting." Daku disambut tebakan pembuka yang jelas melenceng. Bukan, setengah melenceng.
"Aku hanya kembalikan buku milikmu," kataku menaruh totebag di meja kerja Uwel. "Malas sekali aku berurusan denganmu."
"Oh, ya?" Dia terkekeh renyah di sela baca makalah yang kuduga proposal acara sekolah. Gak terlalu minat. "Kau benar-benar paham dengan penjelasan di buku itu? Kukira kau butuh waktu berminggu-minggu supaya ngeh dengan pemahamanku."
"Idih, jangan kelewat optimis atas otak encermu, Uwel." Mumpung masih istirahat, gak ada salahnya aku habiskan waktu disini, meladeni ocehan Uwel yang terkadang cukup menarik.
"Aku dengar dari anggota eskul mading...." Nahkan. Apa kubilang? "Kamu ikut event seleksi penulisan artikel bertema kriminal. Apa itu benar?"
Mula-mula aku menegang dengar tebakan Uwel. Nyatanya mau menghindari sebaik mungkin, Uwel tetap lelaki dengan keingintahuan yang tinggi, belum puas jika rasa penasaran masih menggelora. Ditambah mulut mereka gak bisa dikontrol, ambyar lah usahaku. "Iya, kuperingati kau jangan bantu aku."
"Baiklah." Uwel kedikkan bahu. "Padahal aku hanya beritahu kamu soal orang yang mengincar mangsa kita."
"Mengincar mangsa kita?" Sial, kenapa aku malah penasaran? Ini sama saja aku menjilat ludah sendiri. "K-katakan padaku mengenai orang tersebut."
"Kau sendiri yang menolak uluran tanganku," kata Uwel tersenyum lebar, menghiasi matanya yang menyipit. "Memberikan informasi penting ini kan jatuhnya membantumu."
"Aku tau itu, Uwel!" Kugebrak meja hingga gelas plastik jatuh. "Katakan padaku. Sekarang juga!"
"Boleh, asal kamu harus lolos seleksi dalam event itu." Dia bersandar dan kembali baca proposal. "Atau ... kau mau menumpas gengmu sendiri tanpa bantuan siapa-siapa? Kupikir kau cukup kuat untuk menghancurkan geng yang susah payah kau buat, tanpa campur tangan aku dan Venchy."
"Jangan bandingkan aku dengan insiden di J square."
"Aku tak membandingkan. Aku hanya mengamati pergerakanmu selama jalankan misi rahasia di sekolah."
"Bodo amat. Tapi aku bakal lakukan hal itu."
"Lakukan hal apa?" Sumpah, lihat senyum dia bikin amarahku mendidih. Kamu gak keberatan kan biarin aku mukul Uwel?
"Menghancurkan geng Semar," kataku mengulang poin penting yang Uwel sebutkan. "Aku bakal lakuin setelah kasih tau informasi apa yang kau punya. Kalau dirasa gak penting, perjanjian kita batal."
"Masa batal sih? Gak adil dong."
Aku mendengus kesal sambil lepas kacamata. Susah emang kalau negoisasi sama nih orang. "Lo sendiri? Informasinya penting kagak?" Gara-gara dia, logat kasarku kumat.
"Aku rasa...." Jangan gantungin rasa penasaranku, Uwel. Mukamu bakal bonyok sampai cewek-cewek merasa ilfeel pas saling papasan. "Penting sih. Kau dengar istilah pandangan kita, lain pula pandangan orang lain, bukan?"
"Ya makanya gua tanya lo ngerasa informasinya penting atau kagak, ba*ngsat...." Sekali lagi ngulurin waktu dengan beribu pertanyaan gak jelas, siap-siap ruangan ini jadi arena tinju.
"Kamu terlalu serius, Gas." Kamu yang bikin pengamatanku menuju mode garang, Uwel. "Waktu itu kamu ikut diskusi gak sih di kafe?"
"Ye," jawabku judes, berpaling kenakan kacamata lagi. Tadi aku bersihkan lensanya.
"Kamu sempat lihat cowok yang ngobrol sama pemiliknya, kan?"
"Mana gua tau."
"Gas, aku serius."
"Gua juga serius," kataku tak kalah sengit. "Dari awal gua udah pasang muka kayak gini."
"Serah kamu, tapi aku merasa ... cowok itu berniat curi mangsa kita," ucap Uwel dengan nada semakin berat.
"Itu cuma perasaaan lo doang kali, Wel," sanggahku berdecak dongkol. "Wong gak saling kenal ju----"
"Aku kenal orangnya," potongnya memandang dingin ke penjuru ruangan. "Waktu itu aku ketemu dia yang jemput Venchy."
"Maksud lo dia abangnya Venchy?" Bukan apa-apa, aku hanya menebak. Pasalnya, dua minggu belakangan ini Venchy sering bahas tentang abangnya lewat surat yang terkumpul sejak 8 tahun. Ternyata dugaanku diterima oleh anggukan kecil dari Uwel.
"Mungkin dugaanku emang salah, tapi boleh aku minta pendapatmu?" Tangan besarnya meraih kaleng soda teh yang masih tersegel. "Kamu sering dengar ocehan Venchy, kan?"
Balas dengan gumaman mengiakan. "Gua dengar abangnya Venchy seorang tentara. Sekian menit yang lalu gua dapat informasi mengenai pertemuan lo dengan beliau."
"Iya. Biasanya ada dua pilihan yang bisa jadi alasan kenapa seorang tentara pulang kampung. Pertama, status sebagai tentara tengah nonaktif karena gak ada kerjaan atau penugasan, tapi yang ini aku sanggah karena biarpun gak ada kegiatan mereka tetap latihan di markas pusat. Kedua, emang punya penugasan atau misi yang lokasinya di tempat tinggal dia.
"Aku sempat bahas ini dengan Venchy dan meminta kepastian apakah abangnya memang dapat misi di sini, tapi nyatanya gak. Dia bilang hanya pulang kampung untuk sekadar lepas rindu. Paling kalau benar yang dimaksud adalah cuti sehabis operasi militer atau apapun itu, paling lama itu enam hari. Tapi ini----sudah enam hari lebih dia masih ada di sini. Sudah jelas dia ke sini buat jalani misi, kan?"
Panjang juga penjelasannya, tumben banget nih anak satu. "Gua setuju sama lo, Wel. Gak heran lo berprasangka gitu, tapi dengan bukti apa supaya kita tau kalau dia----abangnya Venchy----pulang bukan tanpa alasan pasti? Lagian, itupun dugaan lo, yang jelas masih samar-samar kebenarannya."
"Benar, karena itulah aku beritahu kamu, supaya lebih berhati-hati dalam cari informasi untuk artikelmu." Ah, aku paham sekarang. "Mungkin kamu gak kenal muka atau perawakannya, tapi seingatku namanya Zeka. Kau jadikan nama itu sebagai sosok yang harus kamu hindari, takutnya setelah saling kenal dia mulai cari tau tentang kamu. Jujur, aku sendiri merasa terancam dengan dia."
****
Sekarang aku menyesal kenapa gak sepeka Uwel mau di manapun lokasi kupijak. Namun, aku tau Uwel bertingkah demikian, sebab minatnya hanya menangkap pelaku kriminal remaja dan seolah-olah tengah berperan sebagai detektif. Aku gak mungkin bisa seperti dia, percayalah. Dia saja bisa memprediksi pergerakan orang dengan tepat, aku yang baru bergerak tumpas kejahatan di sini merasa gak berguna.
"Sialan, posisiku dalam bahaya...." Kekhawatiranku meningkatkan kecepatan motor, melesat seperti melawan maut dengan menyalip kendaraan lain. Tadi katanya tempat kerja Zeka diserang geng. Tanpa cari tau aku sudah pastikan pelaku serangan terbuka itu: geng Semar. Apa lagi yang mereka inginkan? Belum puaskah kalian incar aku? Sampai harus berurusan dengan tentara seperti Zeka?
Tunggu. Sekejap kecepatan motor menurun. Bisa-bisanya aku lupa ada diskusi bareng pengurus OSIS aneh itu. Kalau tujuan mereka masih mengincarku, maknanya----aish, kecepatan motorku bertambah pesat. Aku gak bisa tahan marah yang terus terpendam ini. Jangan sampai mbak Deva kena keonaran mereka!
Kebetulan jalan menuju markas geng Semar yang sekadar gedung kosong tak terurus searah dengan kafe tempat kami diskusi, maka terlintas periksa keadaan di sana. Bukan hanya khawatirkan mbak Deva, tapi Venchy selaku anggota diskusi membasmi geng motor juga patut kulihat. Sekalipun aku gak mau lihat Uwel dalam mode menyerang jika mengetahui Venchy dalam terluka.
"GAS!" Di kejauhan terllihat seseorang berlari melambai padaku. Suaranya familier. Tentu kuturunkan laju motor sambil direm sedikit. Ternyata Mira. Baju dia awut-awutan kayak rambutnya. Muka Mira juga gelisah, macam kena teror dari geng Semar.
Hah.... Aku terlambat menyadari hal ini. Maaf telah gagal jadi pelindung anggota diskusi, Uwel. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro