12. Venchy
Yes, Minggu adalah jalan ninjaku! Selesai ganti baju, aku siap seratus persen untuk bersih-ber----
"Venchy." Suara Deva di hari Minggu juga adalah sumber semangatku untuk memerangi hari Senin! Kulihat dia tengah baca novel remaja sambil makan crouffle. Memang kebiasaan idaman cewek kalau bikin cemilan manis buat dimakan sendiri. "Kamu bakal bersih-bersih kafe, kan?"
"Iya, Mbak." Aku mengangguk puas. "Apa ada yang saya bantu?"
"Kau sangat peka, ya." Mantap, senyum lembut Mbak Deva yang diinginkan semua pegawai biar semangat kerja di sini! Dia melirik sambil berteriak nama seseorang. Kalau gak salah dengar, nama cowok yang dipanggil itu Arjuna deh. "Tolong hari ini kamu kerja bareng dia. Bisa, Venchy?"
"Siap, Mbak."
"Lalu kamu, Juna." Wanita penyuka pakaian warna sejuk itu berpaling dariku. "Kamu harus banyak-banyak tanya sama dia kalau gak ngerti. Pantengin terus keaktifan kerja dia. Mengerti?"
"Mengerti." Entah waktu Bang Juna ngangguk, fisaratku mulai gak enak. Namun, seenggaknya sorot mata dan senyuman dia yang polos minta ampun bikin hatiku klepek-klepek. Nambah satu kan cogannya. "Aku ... pengen tau namamu."
Ah! Bisa-bisanya kamu salah tingkah, Venchy! Plis, jangan kumat! "Namaku Venchy Mariana. Abangku sering panggil aku Enci, padahal dia sendiri yang kasih nama kayak gitu."
"Kalau gitu, aku pengen panggil kamu Mariana aja." Oh no, tawa dia bikin otakku melayang. "Boleh?"
"Bo-boleh." Gak ada balasan yang lebih estetik selain angguk satu kali. Fix, bayangan keimutan Bang Juna bakal terngiang-ngiang pas boker. Demi!
Oke, fokus sama kerjaan, Ci.
Pertama dan paling utama, aku ajari dia kalau sebelum jam 8 pagi, kafe harus bersih bin kinclong. Wajib shining shimmering splendid. No debat. Begitu pula sebelum pulang. Selama bersama Bang Juna, aku selalu greget sama dia, terutama waktu dia tanya hal-hal umum tentang sekolahku. Gak tau kenapa mukanya kayak semringah gitu.
Bunyi lonceng pintu terdengar, terlintas niat meminta Bang Juna untuk perhatikan caraku menyambut pelanggan.
"Lihatin aku ya, Bang." Begitu dibalas anggukan bermuka polos dari Bang Juna, aku beringsut mendekati pengunjung baru.
"Selamat da----Abang?" Kenapa harus si cogan yang mustahil aku gaet sih? Sialan. "Abang mau ngapain ke sini?"
"Mbakmu tuh," jawab dia nunjuk Mbak Deva. "Minta Abang ke sini."
"Logatnya medok banget, kataku menyipit dongkol. Padahal Abang asli da----"
"Kan Abang udah lama di sana, makanya logat medok Jawanya kebawa!"
"Kamu berdua bisa berhenti tidak?" Kami langsung bergeming kalau Mbak Deva udah bersuara. Di balik buku, aku bisa rasakan tatapan datar bin dingin seakan mengutuk kami jadi batu. "Kasihan pelanggan saya jadi tak nyaman."
Aku langsung kabur lanjutkan kerja. Bang Juna dipanggil, persetan mau beliau apakan. Pokoknya, selama layani pelanggan otakku terus bekerja susun daftar kegiatan yang harus dia ketahui sebelum jalankan tugas sendiri-sendiri besok. Barulah aku dapat waktu istirahat. Sambil makan bubur ketan yang kubeli dari pedagang keliling, aku mempelajari modul matematika peminatan versi Uwel. Waktu guru-guru sedang rapat, dia sendiri yang datang berikan buku itu.
Dari pada disia-siakan, jadi aku belajar aja.
"Mariana lagi belajar apa?" Hampir aku ngelatah kata-kata haram. Bang Juna dengan mata sembab duduk di depanku.
"Belajar matematika. Bang Juna mau ajarin?"
Nampaknya dia terkejut. "Boleh? Aku lumayan kuasai studi hitungan."
"Yei, diajari sama Bang Juna!" Satu per satu soal kami bahas dengan menyenangkan. Matematika kalau bareng Bang Juna gak terlalu buruk, bukan kayak Uwel yang pake bahasa ala ilmuwan terkemuka. Aku bisa memahami rumus menyebalkan kayak misteri hilangnya kutu rambut dengan lebih cepat.
"Bang Juna temenan sama abang dan Mbak Deva?" tanyaku seraya kemasi peralatan tulis. Kulihat dia menggumam mengiakan. "Apa dulu Bang Eka gak kayak sekarang?"
Kali ini Bang Juna miringkan kepala. "Aku pikir Zeka tak banyak berubah, tapi ada satu hal yang membuatku merasa beruntung kalau Zeka ikut akademi militer hari itu."
"Benarkah?"
"Bahkan aku rasa Mariana bisa menebak apa yang berbeda dari Zeka," kata dia tersenyum lembut.
Aku terdiam dan mengerjap, berusaha mencerna ucapan Bang Juna. Kalau dia aja bilang begitu, kenapa sampai sekarang belum temui sesuatu yang membedakan Bang Eka----Zeka maksudku----versi sekarang sama waktu remaja?
Aku ... beneran pengen tau.
"Hei." Kali kedua aku hampir keceplosan ngelatah. Bang Eka sialan, nyapa orang kayak teriaki maling. Beruntunglah Bang Juna yang kena sapa bin rangkulan. "Pamit dulu, ya. Jagain adek aku."
"Zeka mau ke mana?" Mata sayunya keluar lagi. Cowok aneh emang, tapi kalau kayak gitu bikin gemes bukan maen. Mana sambil nahan lengan kekar coganku lagi.
"Ke markas," jawab Bang Eka tersenyum lembut. "Kamu mau minta sesuatu?"
Bang Juna merunduk lepaskan cengkeramannya, lalu menggeleng lemah. Tak berselang lama dia menengadah pamerin senyum tipis. "Semangat."
"Gak usah disemangati. Sumber semangatku cuma Enci." Heh, sadar diri yang kamu gombalin tuh siapa! Ya ampun, kuatkan hatiku yang klepek-klepek karena kegantengan Bang Eka yang gak bakalan bisa jadi pacarku. "Tapi makasih udah kasih semangat."
Lepas itu, dia pergi dengan mobil. Kesialanku bermula di sini, ketika Bang Juna dengan polosnya bilang mukaku merah sampai asal tebak kalau bang Eka yang bikin aku jengah. Udah ngomong seenak jidat, nebak ala orang hoki, diketawain pegawai dan Mbak Deva pula. Kadang-kadang nih cowok imut bisa bikin malapetaka, ye. Bahkan tuh wanita titisan Monalisa tiru omongan Bang Eka tadi: "Jagain Enci/Venchy."
"Sana belajar racik teh," kata Mbak Deva masih tersenyum geli. "Omongnya doang antusias pengen belajar itu."
Aaa, Mbak Deva ter-luv-luv deh. Secepat kilat aku gaet tangan Bang Juna ke meja penyeduhan kopi dan teh, sekalian buatkan beberapa pesanan pelanggan. Dari dulu, pengen banget kuasai pembuatan teh herbal yang ramai dipesan. Pernah hari itu aku ditawari teh herbal sama Mbak Deva dan rasanya tak buruk, malah makin nikmat bila ada aroma jahe. Mendadak minum beras kencur.
"Mariana pengen aku jadi orang pertama yang cobain minumannya?" tanyanya mengerjap polos----AH, SIALAN JANTUNGKU DUGUN-DUGUN GAK TERKONTROL.
"Yep." Sebisa mungkin aku bersikap normal. Tapi, otakku nge-lag lagi gara-gara dia ketika siap ambil bahan-bahan sesuai takaran. Tadi mau ambil apa dulu, ya? Mendadak cuma sanggup celingak-celinguk.
"Kalau Mariana bingung takarannya, a-aku bisa bantu siapkan. Mariana tinggal tuang air panas atau nunggu air mendidih sambil antar pesanan."
Bodo amat kalian sebut aku melamun atau gak, sementara kesadaranku berdebat dengan otak. Maunya ambil tawaran Bang Juna. Gak, Ven. Kalau dia yang siapkan bahan sesuai resep, sama aja omdo pengen belajar racik teh herbal. Namun, sekarang aku gak bisa berpikir jernih karena keuwuan Bang Juna.
"Mariana?"
"Ah, gak deh, Bang," ucapku menggeleng cepat. "Kan aku mau belajar, masa minta bantuan sama Abang?"
"Iya juga." Syukurlah dia paham situasi! "Aku pengen perhatiin Mariana belajar aja, sekalian bantu pegawai yang sibuk antar daftar pesanan."
Fix, aku gagal fokus belajar. Mau rapal mantra biar gak lihatin Bang Juna juga hasil prakteknya bakal hancur. Andai ini terjadi di sekolah, sudah pasti dapat predikat F. Di bahan ketiga, aku merasa sesak akibat dekat dia. Niatku pengen keluar cari udara segar, sayang tertunda usai perhatikan gelagat kerumunan cowok berjaket hitam garis putih keluar tinggalkan piring dan gelas kotor. Seingatku, pelanggan bakal bayar setelah selesai tandaskan makanan. Giliran ada kejadian macam gini, emosiku langsung mengalir pada obsesi gigit jempol.
"Ini gak bisa dibiarin...." Gak perlu mikir panjang, langsung hadang jalan mereka yang tengah rangkul cewek ganjen. "Kamu harus bayar, Kak."
Aku udah menduga mereka gampang marah. "Lu siapa ngatur-ngatur gua? Suka-suka gua gak bayar." Mana ceweknya main peluk manja. Dikira aku bakal terpincut sama pacarmu, hah? Cuih! Najis!
"Tapi kan kamu pesan makanan di sini," kataku bersikap kalem. "Harus bayar lah."
"Lu mau gua hajar, hah? Mumpung bawa kawan gua."
Sialan, aku berusaha gak terpancing emosi tapi nih cowok emang ngajak gelut. "Dasar cowok b*ngsat, bikin badanku gatal aja." Saking gregetnya pengen layangkan tinju ke muka dia, celemek hitam dan lap yang nyangkut di saku celana jadi korban pelampiasan. "Buruan bayar sebelum aku menghajarmu, boys."
"Plis, Mariana. Jangan gegabah dulu." Ini lagi Bang Juna narik lengan aku. "Mereka kan pelanggan."
"Tapi orang kayak gini lebih enak disebut gelandangan," balasku secepat lepas tali rambut. "Lagian kamu yang pengen ngajak ribut, kan?" Tanpa ragu aku jambak rambut cewek dia sampai posisinya ada di pihakku. "Biar kulayani sendiri."
"Anj*ng lu!" Lekas kuhempaskan si cewek dari kerumunan baku hantam, disusul serangan uppercut yang mengenai rahang bawah pacar cewek tadi.
Satu musuh tumbang, tak menghambat kesenanganku untuk terjang muka lawan dengan highkick, kemudian siku bagi orang di sampingku. "Kakak-kakak semua, jaga pelanggan agar aman!"
Semua pegawai lari kocar-kacir. Ada yang ikut bantu aku, ada pula yang lebih prioritaskan kenyamanan pelanggan. Kukira musuhnya hanya gerombolan kecil di kafe, ternyata sisa lawan berada di luar, banyak pula. Demi apapun sih, aku bakal kalah----gak bakalan kalah lah!
BRAK!
Tinjuku yang semula mengarah ke hati musuh mendadak berhenti. Untung tersampaikan dengan baik. Semua orang menatap sumber suara. Seorang laki-laki berjaket sama terkapar dengan darah mengucur di dahi dan hidung. Bercak merah di sisi meja saji menjadi saksi dia gugur di medan perang, oleh Mbak Deva yang melahap crouffle dengan santai----gak, aku yakin dia gak setenang itu.
Tatapan matanya benar-benar mengancam nyawa.
"Buruan bayar sebelum saya bertindak sesuka hati pada kalian, Nak."
Jujur, aku memang sering kena tatapan dingin dari Mbak Deva. Tetapi untuk kasus ini, tatapan beliau sungguh asing dan mematikan. Apa lagi wanita itu baru saja kalahkan cowok berandalan dengan sekali gedoran.
Sebenarnya, siapa Mbak Deva semasa dulu? Gak mungkin dia orang biasa yang semata-mata doyan latihan bela diri. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro