Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Deva

Ya ampun. Otak saya mendadak masalah dalam menyusun kata-kata. Badan tegang. Mata tak kuasa memandang lawan bicara. Sialnya kala periksa ekspresi Zeka usai bilang begitu, senyum miring bin tatapan dingin sudah menyambut reaksi saya.

"S-suka–suka saya dong mau tanya soal begituan," kata saya nyaris gelagapan, langsung melengos hitung hidangan manis yang tersisa di rak saji. "Kamu mau tau gimana saya ketemu Arjuna, bukan?"

"Mau!" Akhirnya sanggup bernapas lega juga. Ngomong-ngomong, saya tergelak lihat muka Zeka yang antusias. Mirip Blacky----hamster kebanggan kakak.

"Dia datang ... saat saya bahas buku remaja ini."

****

"Kamu ... beneran Arjuna?" Entah berapa kali saya bilang begini pada lelaki yang duduk menunduk di tepi ranjang. Sengaja saya keringkan rambut dia dalam keadaan disanggul muncung, bisa lihat mukanya yang gelisah meski banyak luka. Pakaian yang saya berikan sekadar jaket hoodie dan celana tidur milik kakak----pernah suatu hari dia datang kemari buat temani saya jalankan bisnis ini.

"Bi-bisakah Deva ... tidak melihatku terus?" Permintaannya yang hampir tak bersuara buat saya tersentak.

"Maaf, saya terlalu terkejut lihat kamu." Jelaslah. Wong muka dia yang saya kenal jauh lebih tampan ketimbang Zeka malah berubah mengerikan. Maksudnya, kamu mau bersanding dengan sosok kerempeng macam dia? "Apa kamu lapar? Kebetulan punya kue sisa meski pegawai saya sudah kebagian satu."

"Bo-boleh ... kah?" Sekejap dia mendongak kemudian meringkuk lingkarkan tangan di perutnya sendiri.

"Tentu." Saya berikan tiga piring kue dan sandwich buah, tak lupa cokelat panas yang diharapkan buat Arjuna nyaman berada di sini. Menunggu Arjuna makan, saya kemas-kemas kafe sekalian balikkan status buka tidaknya kafe. Inginnya selesaikan tantangan bangun rumah bangket jahe. Namun, Arjuna jauh lebih penting.

Makanya saya bawa material manis nan hangat itu ke kamar. Dia masih enggan bergerak dari zona nyaman. Makanan pun utuh dengan cantik. Apa yang dia pikirkan sekarang?

"Kenapa tidak makan?" tanya saya diam di meja yang biasa dipakai baca buku sepuasnya. Tangan ini siap bangun rumah idaman anak kecil saat hari natal tiba.

Dalam titik bayang, lelaki itu malah merunduk makin dalam. "Aku takut ... Deva minta aku bayar atas kue ini."

"Makan saja, jangan banyak bacot."

Sini saya lihat apakah dia mulai bergerak usai didamprat secara halus. Arjuna mulai meraih sepiring crepe cokelat begitu selesai tempel perabotan rumah dari kembang gula. Sepiring strawberry shortcake tandas setelah bangunan rumah bangket jahe berdiri kokoh, saya siram dengan permen pasir warna putih di sekitar dinding. Sepotong sandwich buah dimakan kala saya baca senandika, tapi kecepatannya mulai melambat.

"Deva tak mau makan?"

"Saya tidak makan."

"Tapi...."

"Makan semua sebelum saya siksa kamu lahap roti dalam sekali telan," potong saya melirik kasih ancaman.

"B-baik!" Bertambah lajulah dia makan kue sisa. Cukup cokelat panas untuk ganjal perut saya. Ingin habiskan rumah imut ini, tapi sadar diri betapa lelahnya buat dekorasi kue tak berguna macam gingerbread's house.

"Selesaikan makannya, saya greget pengen eksekusi kamu," kata saya bangkit meneguk sisa minuman pelepas stres hingga titik penghabisan. Terlihat dia menatap gelisah----keluar air mata pula. Berabe nih urusannya.

"A-aku beneran minta maaf kalau perbuatanku di masa lalu menyakiti hati Deva," katanya terisak. Sudah saya duga bakal begini. Nasib punya mulut bandel.

Mula-mula saya mendesah pasrah. "Saya males lakuin hal kekanakan like.... Sebentar melengos dari hadapan Arjuna. Balas dendam atau ... apapun itu. Kalau kejadiannya sudah setahun yang lalu, yang saya lakukan hanya menerima dan melupakannya. Itu saja. Dan mungkin ini kali pertama kamu dengar saya bicara panjang lebar."

Dia terdiam cukup lama. Saya juga balik baca buku, menulis beberapa kesan dan pesan usai baca beberapa bab.

"Jangan salahkan diri sendiri, kau pahami itu." Ketukan demi ketukan pulpen di meja mengiringi ucapan saya. Dia juga masih bergeming. "Habiskan makananmu sebelum saya selesai tulis jurnal. Atau kau kena batunya."

Bunyi remasan plastik memberitahu saya pasal Arjuna yang melahap makanan manis secepat mungkin. Begitu kek dari tadi. Hati saya jadi nyaman dan sejuk lihat kamu menurut, Juna. Tak menunggu lama, tuntas jurnal baru saya mengenai rasa bahagia dalam membangun rumah bangket jahe. Perhatian beralih memandang Arjuna yang balik meringkuk di tepi ranjang.

"Diam di situ." Tubuh dia langsung bergidik macam telah disapa makhluk tak kasat mata, timbul efek gemetaran bila saya pindah tempat ke ranjang----duduk bersimpuh di belakang Arjuna. Sebelumnya, saya bawa gunting di dalam laci. "Dengar. Ucapkan segalanya yang ingin kamu ungkapkan selama saya ngurusi kamu jadi pribadi rapi. Mengerti?"

Cowok lusuh itu mengangguk satu kali. Dengan aba-aba lepaskan handuk di kepala, ritual pangkas rambut pun dimulai. Helai per helai rambut berjatuhan di atas kasur berbalut sprei hitam kebiruan, begitupun irama gunting yang membelai pendengaran ini. Pantas tiap pelanggan di salon suka tertidur. Rupanya suara ini yang asyik hilangkan stres dan galau.

"Kita ... sudah 8 tahun tak bertemu, kan?" Senangnya dia bicara duluan.

"Kalau dengan Zeka, iya," jawab saya mengacak rambutnya yang telah terpotong.

"Aku ... baru ingat kita bertemu lagi----"

"Minta uang dengan paksa demi sebuah benda haram?"

"Sekarang aku gak bergantung sama itu!" Dia berbalik tiba-tiba dan memeluk saya. Sensasi getarannya menular, pun basah mengenai sekitar dada. Lelaki ini ... menangis? "Aku ingin bertemu dengan mereka...."

Bertemu dengan mereka siapa yang dia maksud?

"Aku akan menjadi pria yang baik.... Aku gak mau kehilangan mereka lagi...."

Oke, saya mulai bingung. "Ungkapkan saja selama saya rapikan rambutmu. Peluk saya selama emosimu masih meluap."

"Aku ingin pulang...." Iya, saya juga pernah kepikiran begini waktu dulu. "Aku ingin Deva menegurku seperti waktu kita remaja.... Aku ingin bertemu mereka."

"Suatu hari kamu menemukan mere----"

"Gak," potongnya menggeleng cepat di pelukan saya, sekejap hentikan mainkan gunting yang asyik potong rambutnya. "Aku gak tau mereka di mana. Aku takut mereka mulai melupakanku karena perbuatan keji hari itu."

Saya pilih diam sambil periksa apakah rambut Arjuna terlihat elok usai dipotong dengan menyisir secara acak. Hasilnya tak buruk, bahkan perlahan dia tenang, tak lagi menangis. Malahan Arjuna tidur dalam keadaan masih memeluk saya, mendengkur gumamkan sebuah permintaan maaf. Tangan ini menyambut kehadiran dia dengan hati-hati, selembut yang saya mampu bila salurkan bahagia pada sosok yang terpuruk. Saya hanya mau bilang, saya juga pernah seperti kamu, Juna. Namun saya tak ungkapkan secara terang-terangan, baik itu kepada Zeka atau kamu.

Butuh 3 hari supaya Arjuna bisa beradaptasi di sini. Minimal penampilan dia jauh lebih baik ketimbang kali pertama bertemu dalam keadaan basah kuyup. Lelaki itu mengenal banyak pegawai, mulai mengekspresikan rasa bahagianya dengan menelengkan kepala, juga gemar nagih tugas yang----kata dia----harus dia kerjakan guna tak jadi beban hidup saya. Padahal saya tak merasa demikian, tapi ya sudah. Kalau ditolak, Arjuna bakal gelisah dan menganggap saya merajuk. Serba salah jadinya.

Karena itulah, saya kasih Arjuna lowongan kerja di sini sebagai pelayan, menggantikan satu pegawai yang saya pindahkan jadi barista. Awalnya saya pikir dia bakal sujud syukur dan mengucapkan beribu terima kasih sambil genggam tangan saya. Ternyata....

"Aku merasa tak pantas mendapatkan tawaran dari Deva." Kan situ yang mau kerja, dasar g*blok! Nasib baik mulut saya bisa tahan untuk tidak berkata hal tak senonoh, mana dia bilang sambil nangis.

"Jika kamu merasa seperti itu untuk terima tawaran saya, apa yang kamu punya supaya saya tak simpulkan kamu sebagai sosok hina?" tanya saya menyerahkan kopi kepada pramusaji.

Mula-mula Arjuna menunduk dan membisu, bisa jadi tengah cari jawaban yang tepat. Kemudian dia mendongak dengan tatapan yakin. "Apa menurut Deva, Zeka pulang kemari karena ada misi?"

"Saya rasa ... begitu," jawab saya berusaha agar tak tegang sama pertanyaan Arjuna. Saya ingat betul, tak pernah sekalipun cerita pasal Zeka yang pulang dari markas pusat. "Sekarang dia ada di sini."

Dan itu kali pertama saya bahas Zeka di hadapan Arjuna.

"Benarkah?" Mata dia berbinar-binar. "Boleh aku bertemu Zeka? Deva tau di mana dia?"

"Kamu boleh bertemu dia, dengan satu syarat yang pastinya buat Zeka mau lakukan apa saja demi ringankan misi."

"Syarat?" Paham sangat dia kebingungan akan maksud saya. "Zeka bakal lakuin apa yang kuinginkan selama laksanakan syarat yang Deva sebutkan?"

Anggukan pelan saya berikan. "Termasuk mencari alamat keluargamu. Kau ingin sekali pulang, bukan?"

"Mau!" Arjuna mengangguk mantap bin cepat. "Aku mau pulang dan bertemu sama keluarga!"

"Baiklah, kebetulan saya tau apa yang Zeka butuhkan bagi misinya." Perlahan senyum saya lenyap, tergantikan dengan sorot mata kosong. "Kau mau bergabung ke geng Semar demi dapatkan beberapa informasi kriminal?"

****

"Woi! Woi!" Tiba-tiba Zeka hancurkan masa dongeng saya. "Kapan aku minta Arjuna buat----"

"Diam." Langsung saja bekap mulutnya, persetan dia bakal memberontak. "Ini juga demi kebaikan kamu, bukan?"

Namun pada akhirnya dia bisa lolos dari cengkeraman saya. "Aku tau maksudmu baik, tapi----serius, kamu tumbalin orang yang gak bersalah demi dapatkan informasi kejahatan mereka? Fix, kamu psikopat, Dev."

Masa bodoh dia gak suka sama rencana ini. Toh, tujuan utama adanya syarat tersebut adalah untuk kebaikan saya dan Bagas. Anak itu lebih membutuhkan banyak petunjuk guna menganalisis motif kejahatan geng remaja. Saya gak mau Bagas asyik diteror geng b*jingan yang doyan baku hantam tanpa pedulikan nyawa. Dan andai Zeka setuju, bisa berguna bagi strategi dalam menumpas geng berandalan.

Cuma ya ... sekali lagi saya masa bodoh dengan setuju tidaknya dia atas rencana ini.

Semenjak saya bercerita tentang Arjuna, Zeka lebih banyak diam dan memerhatikan Venchy yang asyik bercanda tawa dengan para pegawai. Begitu lelaki tentara ini pamit, dia sempat lemparkan lelucon singkat dengan Arjuna. Tumben Zeka peka sama sekitar.

Baiklah, saya balik baca buku. Kopi telah tandas, tinggal sepotong crouffle yang mungkin teksturnya mulai terasa tak enak di lidah. Arjuna juga mulai aktif bila bersama Venchy, lantas saya minta dia jaga adik tentara.

Sampai mana saya baca? Bookmark sangat berguna dalam beritahu kapan terakhir kali dibaca. Mari hanyut dibuai nuansa yang beliau suguhkan pada novel....

"Kamu harus bayar, Kak."

"Lu siapa ngatur-ngatur gua? Suka-suka gua gak bayar."

"Tapi kan kamu pesan makanan di sini, harus bayar lah."

"Lu mau gua hajar, hah? Mumpung bawa kawan gua."

Hei, saya dan pelanggan yang mau secercah ketenangan merasa terganggu olehmu. Buku tertutup lagi, memandang Venchy tengah adu mulut dengan seorang lelaki berjaket hitam garis putih. Sesekali saya dapati Arjuna membantu Venchy supaya mereka bayar pesanan. Diam-diam saya pindah dari kursi ke meja saji. Ditemani crouffle berlapis cokelat dan karamel, menonton pertunjukkan gratis ini cukup menyenangkan.

"Buruan bayar sebelum aku menghajarmu, boys," kata Venchy hempaskan lap dan melepas celemek hitam.

"Plis, Venchy. Jangan gegabah dulu, kata Arjuna menarik lengan Venchy semampu----"

"Lu pemilik kafe ini, j*lang?" Perhatian saya beralih pada cowok dengan rokok terapit di mulutnya.

"Kamu gak baca peraturan untuk tidak merokok di sini, Nak?" tanya saya menelengkan kepala dengan malas. "Baik kamu buang rokoknya sebelum saya minta denda untuk pelanggan pengidap asma."

"Banyak bacot lu, anj*ng." Selama dia berbincang dengan saya, tak sengaja lihat para pegawai berusaha menghindar serangan bocah ingusan sambil meminta pelanggan untuk berlindung di bawah meja dan kursi ataupun kamar mandi. Venchy sendiri terus tangkis pukulan mereka guna tak menghambat aksi pegawai.

"Bodi lu bagus juga, nj*ng." Diam. Saya tengah fokus pada sosok bayangan yang keluar di antara kerumunan rusuh itu. Siapa dia? Mungkin saya bisa kejar.

"Dada lu montok juga, ya." Sebelum tangan nakalnya sentuh buah dara ini, saya langsung jambak rambut dia tanpa kurangi kekuatan sedikitpun, sampai dia mendongak dan memberontak.

"Saya penasaran sama orang yang ngajarin kamu berbuat nakal." Satu suapan crouffle telah saya gigit. "Apa asmodeus yang mengajari semua tips masuk neraka jalur undangan, Nak?"

Dia tak menjawab selain berteriak dan bilang "Lepasin gua, anj*ng!"

Lantas, saya gedorkan kepala dia ke sisi meja yang cukup lancip. Bercak darah tercetak di sana, disusul hening serta tatapan ngeri yang mereka berikan padaku. Dia tak bergerak dengan cairan merah yang mewarnai jidat dan hidung. Satu suapan terakhir masuk ke dalam mulut, mengasah ketajaman kala menatap bocah sok berandalan itu.

"Buruan bayar sebelum saya bertindak sesuka hati pada kalian, Nak." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro