Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Zeka

2 menit berlalu dan kami belum ucapkan sepatah kata pun. Sumpah, otak gue gak bisa rangkai kata buat jalin komunikasi sama Bapak. Kenapa lo malah egois begini, dasar otak!

"Kamu belum ketemu ibu?" tanya Bapak mendesah panjang. "Atau ... Vinci barang kali? Bisa saja mereka rindu kamu."

"Aku bakal ketemu sama Vinci," kata gue menyipit malas. "Tapi wanita brengsek itu...."

"Kamu masih benci ibumu, Nak?" Bapak peka banget cuy. "Mau sampai kapan kamu ikuti kata hatimu?"

"Tapi kelakuan dia gak pantas disebut ibu!" sergah gue menatap nyalang. "Dia nganggap Zeka sama Enci kayak kucing liar, Pak. Terlantar. Makan seadanya sedangkan dia dan Vinci makan hidangan mewah. Bahkan saking gedeknya saya sama ibu setelah tau penyebab Enci punya banyak luka. Saya gak bakal kasih SEPESERPUN kata maaf buat dia. Gak akan pernah...."

"Bapak ngerti, tapi apa terlalu berlebihan kalau Vinci juga kena imbas atas perlakuan ibu?" Kan gue udah bilang bakal ketemu Vinci, berarti gue gak benci dia. Tapi, gue lebih milih diam. "Vinci hanya menuruti kata ibu, malahan Venchy yang bilang sama Bapak kalau Vinci jauh lebih menderita karena selalu dia kekang."

Mata gue langsung membulat. Jujur baru tau soal ini. "Kenapa Enci gak cerita sama aku? Aku jadi----aku merasa bersalah sudah abaikan Vinci."

"Mungkin Venchy gak mau kamu stres saat jalankan tugas. Ada kemungkinan dia menanggung penderitaan Vinci sendiri."

"Mamang sama bibi Nganjuk juga gak tau soal itu?"

Bapak mengangguk pelan. "Lagipula, mereka hanya kenal kamu sama Venchy, kan?"

"Ya bisa aja Enci udah tertekan akhirnya curhat soal Vinci ke bibi Nganjuk."

Mendadak dia tertawa renyah. Apa yang lucu dari omongan gue? Emang bener kan dia suka kebablasan tiap mau lakuin apapun.

"Ternyata dugaan Venchy tepat sasaran, ya." Fix, gue cuma bisa nyimak. "Kamu sudah melupakan beberapa fakta orang yang kamu kenal, termasuk Venchy yang sangat awas kayak kamu waktu dulu."

Owalah, yang itu.... Kayaknya gue terlalu lama berada di markas pusat dah. Gue garuk-garuk kepala sambil nyengir terkekeh. Sedangkan Bapak geleng-geleng tersenyum geli. Gak kerasa 5 menit misahin gue dari Bapak. Namun sebelum pergi, dia bilang sesuatu dengan tatapan aneh.

Katanya.... "Kamu harus lebih jujur sama Venchy dari sosokmu dulu, Zeka."

****

5 hari kemudian....

"LAPOR, KOMANDAN!" Gue sontak bangun. Ampun jantung tercinta malah tertampar, jadi berdebar-debar gini. Tukang teriak tadi masih ketuk pintu sambil gaungkan kalimat yang sama.

"LAPOR, KOMANDAN!" Iye, sabar. Gue lagi bangun sambil atur napas. Tanpa pake sendal, pintu gue bukain dan terlihat cewek rasa cowok berdiri sempurna menyerahkan amplop cokelat tebal. "Barusan pihak kepolisian berikan arsip kasus geng remaja."

Mendadak batin gue menjerit. Jadi lo jerit kayak mau azan dalam keadaan mati listrik cuma sekadar kasih setumpuk buku calon ahli kaligrafi? Gue menyipit sepat, mengambil serahan dia tanpa berkata apa-apa lagi. Pintu juga gue banting pintu dan isi amplop cokelat saking lemesnya.

Dan ... yah! Gue rebahan lagi. Kasur emang objek paling kuat.

Mata gue udah berat pengen tidur, tapi dering hape malah ganggu kebersamaan kita. Bangkit lagi, jalan sempoyongan demi genggam gawai nyebelin seumur hidup gue jadi perwira. Sialan si Deva nelepon pagi-pagi begi----eh siang deng, gue aja yang telat bangun untuk kali pertama. Barang kali efek nangis kemarin pas jenguk bapak.

"Ngapa, Dev?" tanya gue nguap lebar-lebar. Aku lagi tidur juga.

"Kamu bisa ke kafe sekarang?" Dahi gue berkerut.

"Ngapain emang? Mereka----anak SMA yang suka diskusi geng remaja----datang lagi?"

"Udah ke sini aja."

"Tapi kan----" Dia putusin panggilan. Gue beranjak ke kamar mandi guna cuci muka----pagi buta gue udah mandi, sayang saking sibuk analisis arsipan jadi lupa olahraga. Kalau bukan Deva yang doyan bikin orang penasaran, gue bisa aja balik tidur.

Gue pergi ke sana kendarai mobil. Motor Enci juga udah terparkir di sana. Meski cuci muka, tetap aja gue ngantuk. Tahan buat gak pesan kopi, Zeka.... Plis, tahan!

"Selamat da----Abang?" Kagetnya gak sampai melotot juga, Ci. "Abang mau ngapain ke sini?"

Tapi seneng sih lihat dia ceria lagi. "Mbakmu tuh, minta Abang ke sini."

"Logatnya medok banget," kata Enci menyipit ... kesal? "Padahal Abang asli da----"

"Kan Abang udah lama di sana, makanya logat medok Jawanya kebawa!"

"Kamu berdua bisa berhenti tidak?" Usailah adu mulut kami, beralih serempak memandang Deva yang baca buku sambil makan crouffle. "Kasihan pelanggan saya jadi tak nyaman."

Bodo amat, dia yang mulai. Gue duduk di bangku putar sambil amati boneka panda yang bersandar di pot bunga kecil. "Ada apa sampai minta aku ke sini?"

Bukannya dijawab, Deva malah balik natap gue lalu tersenyum tipis. Misteri apa lagi yang dia sembunyikan? Cewek itu berhenti baca buku novel remaja. "Juna!"

Juna? Juna juri Mastercep Indonesia?

"Katanya mau ketemu Zeka." Ikuti aja lah lirikan Deva. Di situ gue terkejut bukan main. Cowok tinggi berambut pendek kusut balas seruan Deva dengan tatapan sayu----tepatnya dia lihat gue. Juna terdiam di sana, tapi tangan kekarnya asyik remas kain lap.

"Z-zeka?" Dia telengkan kepala, beranjak lari memeluk gue. Asli seneng banget ketemu lagi sama Juna alias Arjuna.

"Maaf! Maaf aku malah hidup berantakan, gak kayak Zeka dan Deva." Tapi kenapa dia minta maaf ke gue? Perlu gue kasih tau ye. Nih anak dulu hidupnya sompral nauzubillah. Deva yang kalem begini aja bisa ngamuk gara-gara Arjuna loh.

Pengen banget gue ngomong banyak hal. Tentang bahagianya gue ketemu Arjuna, kenapa dia mau kerja di kafe punya Deva, dan banyak lagi yang pengen gue ketahui dari Arjuna. Namun, lidah susah diajak kompromi. Hilang kata-kata yang terangkai di otak. Alhasil, gue celingak-celinguk terperangah sampai siang. Kalau lo mau tau gue ngapain aja tiap Juna nanya ini-itu, jawabannya sekadar "ah", "um", serta angguk dan geleng. Kadang terkekeh. Kata budak* zaman now mah, otak gue nge-bug.

"Mariana lagi belajar apa?"

"Belajar matematika. Bang Juna mau ajarin?"

"Boleh? Aku lumayan kuasai studi hitungan."

Dan detik ini juga gue masih terpelongo lihat Juna yang malu-malu kucing di samping Enci. Itu ... beneran Arjuna?

"Saya sudah menduga kamu kaget sampai tak bisa berkata-kata." Deva bisa aja baca pikiran gue, hancurin lamunan gue pula. "Waktu ketemu dia juga saya kaget bukan main."

"Serius?" Gue mendelik gak percaya, disusul anggukan singkat dari deva. "Kapan kalian ketemu?"

"Kesampingkan soal itu," kata dia mulai hentikan kegiatan mitaim----bener kan tulisannya? Dulu rekan gue yang cewek suka lakuin mitaim waktu libur tiba. "Kamu punya informasi terbaru soal mereka?"

"Siapa? Geng Semar?" Saking takutnya ketahuan sama Enci, gue bisik nyaris hilang suara. Lagi-lagi tuh cewek jadi-jadian mengangguk singkat. "Waktu itu mereka serang markas."

"Benarkah?" Mata Deva sedikit melotot tadi. "Semuanya baik-baik saja?"

"Iya.... Mereka menyerang bawa ajakan perang."

"Menyebalkan...." Bentar. Gue yang punya masalah sama mereka, kenapa Deva yang ngedumel? Bahkan gue perhatiin, muka dia makin ditekuk dalam arti benci banget sama geng Semar. Mungkin gue gak tau soal kehidupan dia semasa jalani berbagai penugasan. Namun, masa cewek sealim Deva buat masalah sama bocah petakilan stadium akhir?

"Tumben kamu nanyain itu," kata gue coba pancing spontanitas otak Deva. "Kamu mau bantu aku selesaikan misi?"

"Ogah." Dia berpaling dong. "Saya cuma pengen tau apa cowok dengan otak terbatas macam kamu bisa atasi geng elite."

Barusan lo hina gue, Dev. Lalu dia bilang geng Semar termasuk kelompok elite? Sepanjang gue baca tuh jurnal penelitian kasus dari aparat kepolisian, gak ada yang namanya kegiatan kriminal paling anggun dalam bayangan gue. Masih baik geng Darah Hitam dari segi eksekusi kriminal. Mereka main bersih, bergerak sampai peduli situasi supaya polisi susah cari keberadaan mereka.

Tetap saja gue gak membenarkan kelakuan dua geng jahanam itu.

"Kirain mau bantu aku." Kekehan gue gak bikin Deva tersenyum. "Atau mungkin ... kamu punya masalah sama mereka makanya kamu nanyain hal itu sama aku?"

Skakmat! Deva bergeming dengan wajah tegang. Kali ini, lo sembunyikan apa dari gue, cantik? []

Budak: Anak (bahasa Sunda)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro