3. Aku Suka Kamu
Dua minggu berlalu, namun ia tak memiliki keuntungan yang banyak dari menjaga warnet milik Solikin. Ia belum menerima gaji sebanyak 900 ribu rupiah sama sekali, tetapi ia sudah berani meminta kas bon pada Solikin untuk mencicil SPP adiknya. Jika SPP tidak dicicil tentu saja adiknya tidak bisa mengikuti ujian tengah semester.
Sepertinya pihak sekolah sejak zaman ia bersekolah tetap tidak mengubah keputusan atau mengganti aturan harus lunas SPP sebelum ujian. Jika ditanya baik-baik, alasan bendahara komite sekolah adalah banyak siswa yang uang sekolahnya tidak sampai ke sekolah atau dipakai untuk hal lain, nongkrong di kafe misalnya.
Megi menggeleng, Iksan dan Reni tak mungkin seperti itu. Untuk makan saja susah, bagaimana bisa nongkrong di kafe untuk sekedar ber-haha hihi membuang-buang waktu. Iksan tentu akan lebih senang bermain game di ponsel tanpa tahu waktu dengan membobol wifi tetangga. Lalu Reni, ia lebih senang rebahan sambil membaca komik yang ia sewa diiringi lagu-lagu bintang K-Pop kelas dunia seperti Armor Boys.
Megi bernapas lega, ia menyimpan uang 200 ribu di saku kemejanya. Uang itu hasil kas bon atau mengutang potong gaji pada Solikin. Beruntung pria itu mau memberinya dan memotong gajinya sebanyak 200 ribu. Artinya, bulan pertama ia terima gaji, gajinya tinggal 700 ribu rupiah.
Megi kembali ke meja kerjanya, meja operator warnet. Ia membuka situs e-wallet miliknya, dan uangnya masih utuh 400 US dollar. Uang itu sedikitpun tak ingin ia cairkan, uang itu adalah uang hasil bermain casino online beberapa hari yang lalu. Uang yang tak ia inginkan itu, justru menjadi incaran Rean sahabatnya.
Rean pun menghubungi Megi melalui video conversation. Rean seperti semut yang tahu saja keberadaan gula. Rean juga selalu tahu kapan Megi mendapatkan uang hasil bermain casino. Jika pepatah mengatakan di mana ada gula di situ ada semut. Pepatah yang tepat untuk Rean adalah di mana ada uang Megi, di situ Rean gelisah.
Begitu tersambung, Megi melihat wajah Rean berbinar-binar. Pria asli Sumatera Barat itu melambaikan tangannya, dan Megi membalasnya.
"Sehat, Gi?" tanya Rean basa-basi.
"Sehat, Re," jawab Megi dengan semeringah bahagia.
Bagi Megi, Rean adalah penyemangat hidupnya. Walau apapun serba kurang, namun senyuman Rean terpenting baginya. Pagi ini ia akan mencoba memperlebar senyuman Rean beberapa sentimenter karena janjinya beberapa hari yang lalu,
"Kamu jangan terlalu capek di depan layar komputer, Gi. Nggak baik," timpal Rean sok perhatian.
Mulut Rean bak mulut playboy kelas kakap yang siap menjerat wanita manapun. Megi salah satu orang yang iklas dijerat Rean. Wajah Rean yang tidak terlalu tampan itu justru membuat Megi ketar-ketir gelisah. Setiap hari gadis itu berharap Rean menyatakan cinta padanya, namun nihil. Sudah lama berteman ia hanya kerap menerima perhatian, bukan pengakuan cinta. Lebih parahnya perhatian Rean itu lebih dari seorang pacar.
"Ah enggak kok, aku kerjanya santai," jawab Megi seadanya.
Di dalam layar komputer Rean menoleh kiri kanan memastikan tidak ada temannya yang menguping. Rean tinggal di asrama mahasiswa dan kebetulan sekamar dengan beberapa mahasiswa Indonesia. Sepertinya pria itu khawatir pembicaraannya didengar mahasiswa Indonesia lainnnya. Rean malu dengan kehidupannya yang mengandalkan Megi.
"Gimana? Kamu pasti menang main casino lagi kan?" tanya Rean.
"Iya," jawab Megi singkat.
"Wah ha ha ha, mantap. Aku tahu kamu enggak bakalan pakai duit itu, siniin transfer ke aku," ucap Rean dengan tidak sungkan.
"Iya, tapi itu kan uang …." jawab Megi.
"Udah, enggak apa-apa. Banyak pejabat korupsi santai aja kok. Aku sih santai pakai uang judi. Aku gak juga ngerugiin rakyat kok," celoteh Rean.
"Oke, nanti ku transfer, Ya. 400 dolar aku menang kemarin."
"Oke, makasih ya. Oh iya, sisakan 50 dolar, ya. Buat main lagi. He he he." kata Rean sambil menggaruk rambutnya.
Megi hanya menjawab dengan senyum getir. Sang pujaan hati hanya memanfaatkan dirinya. Ia sadar se sadar-sadarnya. Tetapi demi bisa berkomunikasi dengan Rean, mau tak mau ia lakukan. Jika saja ia tak menang bermain casino, belum tentu komunikasinya dengan Rean sesering ini. Rean mungkin hanya menyapanya lewat pesan obrolan online, dan itu pun Megi yang mulai menyapa.
Pesona Rean sepertinya melebihi idola Megi, Kang Seok Jung anggota boyband Armor Boys asal Korea. Walau Kang Seok Jung paling tampan di dunia, tetapi bagi Megi tetap yang tertampan adalah Rean. Cinta itu logika, logikanya Kang Seok Jung tidak akan pernah mengenalnya, tetapi Rean sudah cukup lama mengenalnya, hanya saja Rean hatinya masih belum bisa diruntuhkan Megi. Keras dan kuat seperti batu karang di lautan asmara.
"Re," panggil Megi.
"Iya," jawab Rean.
"Re, aku tu, em, anu," ucap Megi dengan dada berdebar.
"Iya," jawab Rean.
"Gak jadi, Re. Gak jadi," ucap Megi gelisah.
"Kamu emang suka gitu, kalau kuperhatikan," protes Rean.
Megi menggaruk-garuk kepalanya sambil tertawa pelan. Rean juga ikut tertawa. Hampir saja Megi ingin bertanya, perihal perasaan Rean yang tak kunjung berubah. Mengapa sesusah itu? Mengapa jika banyak pemuda lain yang menyukai Megi, justru Rean tidak? Apakah Rean hanya mementingkan fisik semata?
Megi tidak cantik seperti bintang sinetron, tetapi ia pintar, dan berwawasan luas. Mungkin nasibnya saja yang kurang baik, ia sudah dua kali mencoba tes Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri tetapi belum lulus. Padahal Megi dan Rean sering bergantian menjadi juara umum di sekolahnya. Rean justru lolos beasiswa di Amerika, tepatnya di University of Nevada. Ini sudah tahun ketiga Rean berkuliah.
"Re, kamu nggak punya pacar di sana?" Akhirnya Megi mengucapkan pertanyaan yang selama ini menghantuinya.
"Enggak, mana mau bule pacaran sama aku. Cewek-cewek di sini lebih tinggi dari aku, tahu!" gerutu Rean.
Megi tertawa. Baiklah, Rean memang tidak terlalu tinggi. Ia bahkan ukuran tingginya hampir sama dengan Megi.
"Iya, kan banyak orang Indonesia di sana, kurasa kaya dan cantik," timpal Megi.
"Enggak, ah. Aku gak mau pacaran dulu. Mau fokus kuliah dulu," jawab Rean santai. Jawaban Rean justru membuat Megi teriris, sejak dulu jawabannya fokus sekolah, fokus kuliah, besok mungkin fokus kerja lalu entah fokus apalagi. Mungkin saja Rean akan menjawab fokus karir, fokus ibadah, fokus bahagiakan orang tua dan fokus lainnya. Intinya fokus untuk hal-hal tertentu adalah sebuah penolakan secara halus tetapi menyakitkan.
"Padahal, ada loh, Re. Yang setia nungguin kamu," seloroh Megi.
Rean mengangkat satu alisnya tanda ia penasaran. Tentu saja, selama ini ia tidak tahu bahwa ada seseorang yang diam-diam setia menunggunya. "Hah, siapa? Siapa? Penasaran deh!"
"Ya, aku belum bisa kasih tau. Mungkin suatu saat nanti," sambung Megi.
Bahu Rean menurun, bibir yang tadinya tersenyum kini menampilkan raut cemberut. Padahal, ia sudah sangat penasaran sekali.
"Ah, kamu juga gitu. Kamu tuh ditungguin Abdullah tuh," canda Rean.
Megi memelototinya. "Apaan, sih! Gak lucu tau," gerutu Megi.
"Aku pernah denger obrolan cowok-cowok, kabarnya dia suka sama kamu," ujar Rean.
"Aku udah tau, kok. Dia pernah nembak aku," jawab Megi santai.
Pernyataan tersebut membuat Rean melebarkan matanya karena terkejut. "Terus, gak kamu terima?"
"Enggak lah. Aku cuka sama cowok lain!" jawab Megi santai.
Rean mengerutkan dahinya lalu terkekeh pelan meremehkan. "Siapa? Jangan bilang Kang Seok Jung. Halumu kayaknya gak habis-habis sampai tua," ejek Rean.
"Bukan Seok Jung, tapi kamu!" tegas Megi.
Rean terkekeh mendengar pengakuan Megi. Ia tak menanggapi, sedikitpun. Pria itu lalu mencoba mengalihkan pembicaraan. Selalu saja begitu jika menyangkut perasan. Rean seolah lari dari kenyatan jika Megi memang memendam rasa selama ini.
"Re, aku sayang kamu, Re," batin Megi. Sayangnya Megi mengucapkan dalam hati saja, hingga Rean tidak tahu.
Keduaya merasa saling canggung dan obrolan terasa kaku. Jangankan menjawab atau menanggapi perkataan Megi, Rean justru pamit mengakhiri video conversation dengan alasan mengerjakan tugas kuliahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro