2. Tes Pegawai Negeri
Nun jauh di sana, di belahan bumi lainnya, seorang pemuda bersemangat sebagai pengantar piza. Sebelumnya, ia menganggur parah dan hanya menjadi beban bagi eomma dan appa. Sebagai pemuda yang hidup di kerasnya Kota Seoul, ia lantas tak ingin terus-terusan berstatus pengangguran. Statusnya itu bukan hanya menjadi beban eomma dan appa, tetapi ia juga akan dihitung sebagai beban negara.
Menganggur sejak tamat universitas bukan karena ia malas, ia menganggur hanya karena ia selalu berharap menjadi Pegawai Negeri Sipil. Ia sudah mengikuti dua kali tes, namun ia belum pernah lulus. Nilainya cukup tinggi, tetapi banyak tamatan universitas yang juga nilainya lebih tinggi darinya. Ia sadar, bukankah di atas langit masih ada langit?
Tak putus asa, Park Jung Jae tetap mencobanya untuk kali ketiga. Ia tak bisa seperti teman-teman lainnya yang mengikuti bimbingan belajar masuk PNS. Alasannya sederhana saja, ia tak punya biaya untuk itu. Alasan yang cukup sederhana tanpa harus mendramatisir apapun. Ia hanya belajar otodidak sambil membuka situs pencarian, namun matanya sering tergoda pada situs perjudian casino.
Memasang taruhan dan menang. Memasang taruhan lagi lalu kalah, begitu seterusnya hingga ia tersadar kalau dirinya lebih sering kalah daripada menang. Akhirnya, ia memilih bekerja sebagai pengantar piza sambil menunggu hasil tes PNS diumumkan.
Park Jung Jae ia lebih suka dipanggil Jung. Jung adalah salah satu pemuda kurang beruntung di tengah kerasnya kota Seoul. Park Jung Woo, ayahnya adalah pelipat bungkusan pizza dan ibunya Jung Da Hyun adalah buruh laundry pakaian, sementara adiknya Park Jae Hyun masih bersekolah di sekolah menengah. Mereka tinggal di banjiha, kontrakan yang letaknya di basement rumah orang lain.
Setiap bulan mereka membayar sewa 450.000 won untuk tetap tinggal di sana. Sempit, cukup gelap, lembab seperti tak ada masa depan, bahkan lorong di depan kontrakan mereka letaknya lebihntinggindibandingkan lantai rumah mereka, namun mereka tetap harus bertahan. Jung lelah, ia ingin mengakhiri hidup susah seperti saat ini.
Jung tidak pintar, tidak bisa olahraga, pemain judi yang payah, namun ia hanya memiliki satu kelebihan jika dibandingkan teman-temannya, wajah Jung sangat tampan. Tubuh tinggi, kulit pucat, hidung mancung, kelopak mata ganda, otot atletis yang terbentuk dari bekerja sambilan sebagai buruh kasar pengantar makanan dan sepasang bibir tebal seksi. Ia kerap membuat pria seusianya iri dan menuduhnya bedah plastik.
"Kau baru pulang, Jung?" sapa Da Hyun-- ibu Jung di meja makan.
Jung hanya mengangguk pelan lalu bergabung dengan ibu dan adiknya di meja makan. Ia membuka topinya dan meletakkan bungkusan pizza di atas meja makan. Pizza itu lantas membuat hidung Jae Hyun kembang kempis. Sudah tak terhitung jumlahnya ia membawa pizza pulang sekadar memanjakan lidah anggota keluarga.
"Hyung, sepertinya aku memutuskan untuk tidak kuliah di universitas. Aku ingin bekerja saja membantumu," ujar Jae Hyun tiba-tiba setelah membuka bungkusan piza yang dibawakan Jung.
"Hei, kau berkata apa? Kau tetap harus kuliah. Bukankah kau berkata kalau kau ingin kita pindah rumah dari sini?" ucap Jung memelotot.
"Kau harus tetap kuliah, Jae. Kau harus belajar giat agar lolos ke universitas negeri. Sama seperti Hyung-mu," sambung Da Hyun.
"Eomma, aku tak ingin menjadi pengangguran. Lebih baik aku bekerja saja membantu Hyung," ucapnya lirih.
"Hei, menganggur atau tidak, itu nasib. Sekarang kau belajar saja, masalah biaya biar aku yang pikirkan," ucap Jung seraya meninggalkan eomma dan adiknya.
Ibu dan adiknya hanya saling tatap. Tampaknya Jung sangat lelah. Ucapan Jae Hyun tadi sepertinya hanya menambah bebannya saja. Jae Hyun menelan saliva, ia berjanji akan rajin belajar demi hyung-nya, dan akan membahagiakan hyung-nya itu.
Di kamar, Jung mengempaskan tubuhnya di atas kasur tipis dan keras. Ia menatap langit-langit sambil berpikir kapankah ia menjadi orang kaya. Atau setidaknya menikah dengan wanita kaya raya agar tidak tinggal di tempat ini yang setiap hujan harus meninggikan barang-barang karena seringnya banjir.
Jung mengeluarkan ponsel kecilnya dan meninggikan posisi ponsel itu guna mencari wifi tetangganya yang password-nya kebetulan ia ketahui. Ia kembali membuka situs pencarian dan membuka foto wajah pria tampan yang beda nasib dengan dirinya.
Beberapa kali ia melihat foto, ia selalu berkhayal menjadi orang kaya. Setelah puas berandai-andai, seperti biasa ia kembali membuka situs perjudian. Ia memiliki sedikit saldo di situs itu, kembali ia mengocok perputaran hingga layar ponselnya yang menampilkan jackpot lotre dengan dua gambar buah cheri dan satu gambar bintang.
"Tidak cocok, gagal lagi!" desisnya. "Aku penjudi payah." pria itu meletakkan ponselnya di atas kasur. Banyak sekali hal-hal tak berguna dan merugikan yang ia lakukan, seperti main judi tadi.
Jung sebenarnya tidak terlalu memilih kerja, namun ayahnya sangat menginginkan dirinya menjadi PNS dengan harapan bisa mengangkat derajat orang tuanya. Gagal dua kali tes PNS justru membuatnya makin kehilangan tingkat kepercayaan dirinya. Gagal sebelumnya membuatnya enggan mencoba kembali, ia merasa tidak lolos tes PNS akan membuang waktu karena usianya kian bertambah seiring bergantinya tahun. Makin lama, kesempatan mengikuti tes makin kecil dan saingan tentu makin banyak.
Kini pria itu menunggu hasil tes PNS yang akan diumumkan beberapa bulan lagi. Ia terpaksa melamar dan mengikuti tes untuk mendapatkan posisi sebagai staf depertemen perindustrian.
***
Saat makan malam, mereka sekeluarga duduk di meja makan dengan menu sederhana seperti hari-hari sebelumnya. Jung hanya memandangi makanan di piringnya. Pria itu tidak berselera makan lantaran memikirkan biaya kuliah adiknya. Ia tidak ingin adiknya tidak berkuliah karena melihat dirinya yang sebelumnya menganggur cukup lama.
"Apa yang kau pikirkan, Jung?" tanya Jung Woo, ayah Jung dan Jae Hyun.
"Appa, jika aku masih tidak lolos tes PNS aku akan mengubur impian menjadi PNS. Jika masih tidak lolos, berarti aku sudah gagal untuk yang ketiga kalinya," ujar Jung.
Appa menatapnya dan mengangguk. "Setidaknya kau sudah mencobanya, Jung. Jika kau tidak lolos, kau bisa melakukan apapun yang kau suka," ucap Appa bersemangat.
Jung mengangguk. Ia menyuapkan makanan dan mengunyahnya pelan. Jung mencoba memikirkan hari esok dan hari ini. Selagi masih bersama keluarganya ia tentu akan sangat bahagia.
Jung melanjutkan suapan makanannya. Baginya, walaupun hidup sederhana seperti saat ini setidaknya masih bisa makan dan orang tuanya masih lengkap itu adalah kebahagian. Jung menatap Appa yang suka mengenakan singlet dan Eomma yang masih me-rol rambutnya, mereka masih tetap seperti biasanya, tetap tersenyum. Namun, berbeda sekali dengan Jae adiknya yang sesekali melamun. Jung menebak adiknya memikirkan biaya kuliah.
Ponselnya bergetar tiba-tiba. Ia meletakkan sumpitnya dan merogoh ponsel di saku celana denimnya. Nomor ponsel tak dikenal meneleponnya.
"Anyeonghaseo?" sapanya pelan.
"Kau Jung?" sapa seorang pria di balik telepon.
"Iya, kau siapa?" jawab Jung penasaran.
"Aku Manajer Kim, bisakah kita bertemu?" jawab pria itu.
"Maaf, aku tidak ada waktu. Aku juga tidak pernah melamar kerja di perusahaan anda. Selamat malam," Jung menutup telepon sepihak.
Appa, Eomma dan Jae Hyun menatapnya. Jung tidak memberikan penjelasan. Ia langsung menyimpan ponselnya di saku kemeja lalu kembali ia mengambil sumpit dan menikmati mie ramen.
"Jung, apakah itu telepon dari sebuah perusahaan? Mengapa kau tolak begitu saja?" tanya Eomma.
"Oh, Eomma. Itu hanya orang iseng. Sebelumnya ada pria yang mengaku bernama Jung meneleponku, lalu Manajer Kim. Mereka menelepon dengan nomor yang sama. Jadi, kurasa mereka orang iseng," jawab Jung sekenanya.
Keterangan :
1. Eomma = Ibu
2. Appa = Ayah
3. Hyung = kakak laki-laki. Yang memanggilnya anak laki-laki juga
4. Banjiha = rumah yang letaknya rendah/di basement. Biasanya dikontrakkan dan ditempati orang kurang mampu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro