11. Diabaikan
"Huek!!!"
Begitu sampai Bandara Mccarran, pertama kali yang ia cari adalah toilet wanita. Gadis itu kembali muntah setelah berjam-jam melakukan perjalanan jauh dari transit di Tokyo lalu transit lagi di Los Angeles. Kini Megi tersenyum lega karena kota tujuannya sudah di depan matanya -- Las Vegas.
Seperti pada transit sebelumnya Megi tampak lemah, mata dan hidungnya berair, tenggorokannya kering karena muntah, dan tubuhnya lemas. Gadis itu memaksakan diri berjalan pelan menuju lokasi pengambilan koper. Ia tersenyum geli, saat melihat perbedaan antara beberapa bandara yang ia kunjungi, bandara di Las Vegas ini sedikit unik dengan adanya mesin jackpot di suatu sudut bandara. "Di sini memang kota yang seru untuk berjudi," gumamnya pelan.
Megi lantas melanjutkan perjalanannya ke luar bandara dan taksi online pesanannya sudah datang menyambut. Tanpa arah dan tujuan yang jelas, gadis itu berencana mengganti kartu ponselnya dengan kartu ponsel setempat. Tak sabar rasanya ia ingin menelepon pria yang bernama Rean itu.
Setelah mengganti kartu ponselnya, Megi duduk tepat di tengah keramaian downtown. Meski siang hari, tampaknya kota ini tak berhenti untuk menghibur pengunjung, banyak seniman jalanan yang berusaha menghibur apa adanya, sebelum malam saatnya opera seni digelar.
Hatinya tetap kosong walau keramaian berada di sekitarnya. Megi bahkan tidak mengagumi keindahan sudut kota Vegas. Baginya keindahan adalah ketika ia menikmati kota vegas ini bersama Rean.
Megi akhirnya nekat menekan nomor ponsel Amerika Rean, ia berencana membuat kejutan untuknya. Begitu tersambung, ia langsung terperanjat mendengar suara yang menurutnya paling indah.
"Hello?" sapa Rean.
"Re, ini aku, Megi," sapa Megi semeringah.
Lama Rean terdiam akhirnya ia menjawab. "Megi? Eh, kamu ke mana aja? Berhari-hari nomor kamu nggak aktif," ucap Rean.
Megi tampak senang setelah mendengar ucapan Rean yang bernada khawatir, sebab khawatir adalah salah satu bukti sayang dan perhatian. Ia pun tersenyum lebar.
"Re, aku sekarang di Vegas!"
"Ah, masa, sih? Jangan bercanda deh kamu," jawab Rean.
"Iya, beneran. Aku mau liburan di sini!"
"Ha ha ha, udah, ah! Jangan bercanda, aku lagi sibuk, nih!"
"Tapi, Re?"
Klik!!
Telepon diputus Rean sepihak. Mata Megi memelotot parah. Di tengah panas terik gurun Nevada ia telah diperlakukan sedemikian rupa. Tak menyerah Megi kembali menghubungi Rean. Jujur, di tempat seperti ini ia justru ketakutan. Tak ada sanak saudara yang akan dikunjungi selain Rean.
"Re," sapa Megi kembali.
"Apa lagi, Gi? Jangan nge-prank aku. Aku beneran sibuk nih, tugas Kuliahku banyak!" jawab Rean.
Megi terisak mendengar penolakan Rean. Entah sengaja menghindar, entah memang banyak tugas kuliah, atau entah tidak percaya, semua terdengar datar saja di telinga Megi.
"Err... Reee, aku nggak bohong. Aku berada di kawasan Flamingo Road, aku tepat di depan Bellagio Casino. Aku takut, Re," isak Megi.
"Aduh, kamu, Gi. Beneran kamu di Vegas? Gimana bisa kamu nyampe ke Vegas?" Rean kembali bertanya. Pria itu masih belum bisa percaya teman sekampungnya sudah ada di Vegas.
"Ceritanya panjang, pokoknya aku dapat paket liburan. Sekarang aku harus gimana, Re? Aku harus tinggal di mana? Jemput aku, Re! Aku mau tinggal bareng kamu."
"Hah! Tinggal bareng? Nggak, nggak. Nggak bisa, aku tinggal di asrama mahasiswa. Rasanya kamu nggak bisa tinggal di asrama, kamu cewek aku cowok" kilah Rean. Pria itu menjawab pertanyaan Megi dengan tergagap.
"Bukankah di sini bebas, bisa tinggal bareng. Lagian aku enggak lama kok. Re. Paling lama sebulan," ucap Megi memberi penjelasan.
Masih saja Rean berkilah. Sungguh pria itu tidak berperasaan, ketika wanita yang sangat menyukainya itu bersemangat menemuinya, ia justru menghindar. Sudah ribuan mil dilalui Megi, namun pria itu berkeras hati, bahkan tega tak mau menemui Megi.
"Re, kenapa kamu diam aja. Aku datang jauh-jauh dari kampung memenangkan voucher liburan. Aku sengaja buat kejutan buatmu, tapi kamu malah menghindar, Re," lirih Megi. Megi sengaja berbohong, ia ingin mengetes kesediaan Rean menemuinya tanpa ada maksud.
"Bukan, bukan gitu. Aku beneran sedang sibuk. Aku belom pasti bisa nemuin kamu, ya," jawab Rean santai.
"Tapi, Re. Aku di sini nggak ada sanak saudara. Aku harus gimana, Re?" rengek Megi.
"Gampang, kok. Kamu ikuti aja rombongan biro perjalanan kamu itu. Aku yakin kalau menang voucher liburan pasti ditanggung dan diurus biro perjalanan, ya, ya?" timpal Rean.
/
Air mata Megi meleleh, Rean seolah tak mempedulikan dirinya. Seperti tak berarti jarak ribuan mill, pria itu justru sibuk dengan dirinya sendiri. Berulang kali Megi mengusap air matanya. Ia tak ingin terlihat sedih gara-gara penolakan Rean yang sangat menyakitkan.
"Re, kalau kamu nggak mau aku tinggal di asramamu, paling enggak, kamu temani aku mencari hotel, ya," ucap Megi kembali.
"Gi, tadi kamu bilang kalau kamu berada di Flamingo Road, banyak hotel di situ. Kamu tinggal pilih aja," saran Rean.
"Tapi, Re," bantah Megi.
"Udah, dicoba dulu aja. Aku minta maaf banget, nih, nggak bisa nememin. Pokoknya kabarin aja lokasimu, ntar kalau aku sempat, aku nemui kamu, deh," sela Rean.
"Kalau sempat?" ulang Megi tak percaya. Jadi kalau tidak sempat, Rean tidak menemuinya?
"Iya, kamu tahu kan. Kalau mahasiswa sepertiku ini sangat sibuk sekali. Aku beneran mau fokus kuliah, biar cepat tamat, aku juga sekarang sedang mengajukan proposal judul untuk skripsiku. Pokoknya, kalau sempat aku nemui kamu deh," cerita Rean.
Megi tak menjawab, ia hanya syok mendengar kata 'kalau sempat' kalau saja tidak sempat itu artinya perjalanan menemui Rean ke Las Vegas tak ada gunanya. Sungguh tega pria itu, ia seperti tak menghargai perjalanan ribuan mil.
"Gi, masih di sana? Nanti kirim aja alamat dan nama hotel yang kamu tempati, aku usahakan datang nemui kamu," hibur Rean.
Megi masih mematung ia tak percaya atas apa yang ia alami. Kini giliran dirinya mematikan telepon secara sepihak. Dengan tatapan kosong ia berdiri dari kursi persinggahan di depan hotel Bellagio yang sangat besar itu. Megi pun melangkah pelan sambil menarik kopernya menuju hotel.
"Selamat sore, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" ucap resepsionis pria berkulit cokelat dan rambut hitam, sesaat setelah Megi memasuki bangunan megah di tengah kota Vegas itu.
"Selamat sore, berikan saya kamar yang paling mahal!" perintah Megi langsung memberikan identitas berupa paspor.
Lama terdiam pria Amerika latin itu akhirnya mengotak-atik komputer. "Anda yakin?"
"Tentu saja, walau penampilan saya seperti, saya ini orang kaya," ucap Megi.
"Baik, Nona. Tunggu beberapa menit," timpal resepsionis ramah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro