1. Sahabat Jadi Cinta
Enam Bulan Yang lalu
Ketika malam, ia ingin cepat pagi. Ketika pagi ia ingin cepat malam dan tidur. Baginya hidup adalah silih berganti antara siang dan malam yang tak berkesudahan. Ia bahkan membenci pagi dan membenci sore, karena waktu itu adalah waktu yang seharusnya dipergunakan untuk mencari pundi-pundi kehidupan. Ia benci, karena dirinya adalah seorang pengangguran.
Menjadi pengangguran bukan suatu hal yang ia inginkan. Bisa saja ia nekat melamar pekerjaan ke kota, tetapi bagaimana dengan adiknya? Iksan dan Reni yang butuh biaya untuk membayar SPP yang sudah menunggak selama delapan bulan.
Megi Wulandari Pratama Insani, ia tak ingin meninggalkan kampung halamannya yang berada di tengah pulau Sumatera. Nekat ke kota justru membuat adiknya kian tersiksa dari tagihan SPP yang berbulan-bulan menumpuk, beras habis sebelum waktunya, lauk yang hanya bisa mengutang di warung, bantuan pemerintah yang belum cair dan sederet masalah hidup akibat buruknya perekonomian orang kampung seperti ia dan keluarganya.
***
Adiknya sering bercerita karena kucing-kucingan dengan pihak sekolah perihal SPP nunggak, Megi berinisiatif untuk mengakiri status pengangguran tamat SMK yang ia sandang setahun ini. Paginya, Megi merapikan berkas yang ia siapkan semalam. Surat lamaran, foto copy KTP, dan foto copy ijazah yang baru kemarin ia jemput karena SPP dan uang pembangunan yang terutang sebanyak dua juta. Ia juga memasukkan pas foto ukuran tiga kali empat sebanyak dua lembar, siapa tahu pemilik warnet itu mempertimbangkan dirinya hanya dengan melihat fotonya.
Megi mendesah sambil mengelap keringatnya, mengapa melamar sebagai operator warung internet dengan gaji tiga puluh ribu perhari begitu susahnya. Ia makin heran kala membaca lowongan operator warnet yang menyebutkan ada tes wawancara. Ia berpikir mungkin saja wawancara yang dimaksud adalah wawancara kejujuran. Sebab, zaman sekarang mencari orang yang jujur ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.
Megi berdebar kala sampai di warung internet dan menyerahkan amplop coklat lamaran pekerjaan sebagai operator warung internet. Ia tertunduk kaku, sebab ia hanya belajar internet secara otodidak. Ia memang hanya lulusan SMK jurusan bisnis yang hanya belajar internet sedikit jika dibandingkan siswa SMK yang benar-benar jurusan komputer.
"Sudah pernah kerja di warnet?" tanya pria gondrong berewokan yang bernama Solikin.
"Belom, Bang," jawab Megi sambil menggelengkan kepala.
Solikin hanya manggut-manggut sambil mencoret berkas Megi. Ia mencoret-coret seolah berkas Megi adalah PR yang jawabannya salah semua.
"Belajar internet, dari mana?" Solikin kembali bertanya. Kali ini pria muda itu menatap Megi serius. Sepertinya ia tak ingin menerima karyawan secara asal-asalan.
"Otodidak, Bang," jawab Megi.
"Sejak kapan?" tanya Solikin penasaran.
"Sejak SMP, Bang. Sekitar enam tahunan," jawab Megi kembali.
Solikin kembali mengguk sambil membaca KTP Megi dan membandingkan foto Megi dengan wajah Megi yang asli. Jelas saja berbeda, Megi selalu memberikan penekanan pada tukang foto untuk mengedit fotonya secantik dan seputih mungkin. Ia sebenarnya hanya ingin fotonya cantik seperti penyanyi Korea Idolanya.
Solikin kembali mengangguk, entah berapa kali pria itu mengangguk. Harapan Megi, anggukan Solikin adalah pertanda mengerti dan berniat menerimanya kerja.
"Soal gaji, kamu sudah tahu bukan? Sudah kutulis di lowongan, tiga puluh ribu sehari," ucap Solikin.
"Iya, Bang," jawab Megi. Ia terpaksa menerima pekerjaan ini. Jika dihitung dalam sebulan uang gajinya bisa untuk membayar SPP adiknya, membeli beras, perlengkapan mencuci, minyak goreng dan lainnya. Ia memperkirakan uang gajinya itu akan ludes dalam kurun waktu lima sampai sepuluh hari. Apalah orang miskin ini, dapat gaji langsung habis untuk seluruh kebutuhan.
Meski dirasa susah, Megi selalu bersemangat dan tidak lupa caranya tersenyum. Sebab, dengan menjadi operator warung internet ia akan berhadapan dengan sahabatnya yang secara tidak langsung membuatnya tersenyum, Rean Putra Santoso.
***
Begitu diterima kerja, Megi langsung memegang kendali warung internet yang memiliki delapan komputer itu. Warung internet itu terasa panas, sebab tidak diberi AC seperti kebanyakan warung internet. Warung internet itu memang sengaja dibuat tak ber-AC mengingat pengunjungnya adalah anak dibawah umur yang aktif merokok.
Berulang kali Megi mengibaskan tangan kirinya menghindari asap rokok. Sementara tangan kanannya sibuk menggenggam mouse dan mengklik situs video conversation guna menelepon sahabat sekaligus lelaki yang pertama ia cintai, Rean.
"Apa kabarmu, Gi?" sapa Rean di balik layar komputer warung internet beberapa detik setelah tersambung.
"Baik, Re. Gimana kuliahmu? Lancar?" tanya Megi basa-basi.
"Alhamdulillah, cuma, aku …. Nganu biasa lah," ucap Rean ragu.
Megi menggaruk rambutnya. Jika Rean sudah mengatakan biasa, itu artinya ia kehabisan uang. Entah itu uang makan entah itu uang lainnya. Biasanya Rean memang mengandalkan Megi untuk urusan uang-uang dan kebutuhan kuliah.
Megi baginya seolah ATM berjalan yang siap mengeluarkan dana kapan saja. Rean terkadang terlambat berpikir kalau Megi sendiri sedang dalam kesulitan akibat dua adiknya yang menunggak SPP selama delapan bulan. Jadi, selama ini Megi memperoleh uang dari mana untuk membantu membiayai kuliah Rean?
Megi, gadis itu adalah penjudi online baru-baru ini. Ia mampu meletakkan perkiraan pasang angka, atau hasil kocok dadu poker yang luar biasa. Uang hasil judi yang ia dapatkan dipakai untuk membantu biaya kuliah Rean di Amerika nun jauh di sana. Megi tak berani memakai uang itu untuk adiknya. Uang itu uang panas, dan hanya Rean yang mampu memintanya dengan mudah tanpa syarat.
"Gi?" Rean celingukan kiri dan kanan memastikan teman sekamarnya tidak menguping pembicaraannya dengan Megi. Ia tampaknya malu jika meminta Megi kembali bermain judi.
"Apa?" jawab Megi mengerutkan kening.
"Pinjem duit kamu, dong?" ucap Rean pelan hampir berbisik. "Aku perlu nih, buat biaya magang. Aku juga gak sempat kerja sambilan. Tugasku banyak."
"Aku, gak punya duit, Re," jawab Megi menatap Rean yang tergambar jelas di layar komputer.
"Lo, kan bisa kocok lagi. Sana pasang lagi, pasang lima puluh ribu, dapat sejuta enam ratus ribu 'kan lumayan bisa buat gue makan beberapa hari lagi."
Kini giliran Megi celingukan kiri dan kanan memastikan tidak ada orang yang menguping pembicaraannya termasuk Solikin si pemilik warung internet. "Aku udah gak main lagi, males lah. Sekarang aku kerja di warnetnya Solikin," ucap Megi bangga.
"Apaan, sih? Gaji tukang warnet cuma tiga puluh ribu sehari. Mendingan kamu berjudi lagi. Ya? Ya?" ajak Rean.
"Males ah, aku takut kalau nanti aku dikejar polisi, itukan uang gak halal," ucap Megi.
"Halah, persetan halal gak halal. Zaman sekarang susah nyari duit. Kebanyakan orang tuh nyolong. Kamu kan gak nyolong, tinggal kocok dadu pasang menang," bujuk Rean.
Megi menggaruk rambutnya yang mendadak gatal karena ucapan Rean dan panasnya suhu warung internet.
"Ya? Ya? Demi sahabatmu ini. Hebat kan, mana ada di kabupaten kita yang kuliah di Amerika kayak aku."
Megi cemberut, ia selalu sensitif jika Rean mengatakan sahabat. Gadis itu sebenarnya sejak lama menyukai Rean, namun pria itu hanya menganggapnya sahabat. Megi selalu berharap suatu saat Rean menaruh hati padanya, ia beranggapan bisa saja sahabat menjadi cinta.
"Ayo, Gi. Demi sahabatmu ini," rengek Rean.
Kepala Megi sontak pusing. Pusing mengapa bertahun-tahun slogan sahabat jadi cinta tak kunjung terwujud. Ia hanya bisa banyak berharap tetapi Rean tak kunjung perasaannya bertambah.
"Gi!" panggil Rean kembali.
"Apa?" tanya Megi dengan intonasi agak ketus.
"Ya?" tagih Rean.
"Ntar deh, kupikirin lagi. Kepalaku mendadak pusing," jawab Megi sekenanya.
"Minum obat, Gi," jawab Rean santai.
Megi menggeser mouse dan mengklik tanda silang mengakhiri video conversation secara sepihak. Bosan, lelah, dan capek mendengar hubungan sahabat yang sepertinya tak akan pernah meningkat menjadi kekasih. Slogan sahabat jadi cinta sepertinya hanya omong kosong saja. Ia pun membuka aplikasi browsing dan membuka situs judi biasanya dan kembali bertaruh demi sahabat atau cinta dalam hatinya itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro