Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18🕡Who Are You

"Ayo, berjuang bersama meraih mimpi-mimpi kita!"

-Bara-

💚

SEORANG pria terbangun dari tidurnya. Bagas beringsut dari ranjangnya dan berdiri di depan cermin satu tubuh. Manik hitamnya melihat beberapa garis di cermin. Garis dengan semburat biru-merah, bergerak sendiri seperti TV yang rusak. Terdapat angka -1 di tengah-tengah garis itu. Bagas mengusap wajahnya kasar. Ia tahu makna fenomena aneh itu. Sebuah pesan yang terkirim dari mesin waktu, bahwa waktu Bagas di tahun ini hanya tinggal satu bulan.

"Aku harus bisa mengubah takdir Via, bagaimanapun caranya!" gumam Bagas sambil memukul kaca di depannya. Ia berusaha menahan rasa sakit dalam dadanya.

Bagas segera beranjak ke toilet dan bersiap untuk ke sekolah Via.

Siang itu, Bagas berencana untuk mempertemukan Via dan Railo di rumahnya. Ia berharap Via mau menerima ajakannya dan pergi ke rumah kecilnya.

Bagas menunggu Via di gerbang, tetapi masih belum kelihatan gadis pujaan hatinya. Malahan, Bara yang melewatinya. Bagas mengingat bagaimana perlakuan pemuda itu terhadapnya dan Via sebelumnya. Bagas mencekal lengan Bara. "Kamu!"

Bara menoleh. "Oh, si pedofil? Ngapain pegang-pegang? Doyan sama cowok juga?"

Bagas melepaskan tangannya. "Terserah kamu mau ngomong apa tentang aku. Tapi, kuharap kamu mau dengarkan aku."

"Ogah! Najis!" tolak Bara mentah-mentah. Laki-laki populer itu melengos pergi, tidak ingin mendengar ocehan pria aneh.

"Ini tentang masa depanmu!" pekik Bagas sukses menghentikan langkah Bara.

Bara membalikkan tubuhnya dan kembali mendekat. "Memangnya kamu tahu apa tentang aku?"

"Segalanya."

"Tukang ngibul."

Bagas berdeham. "Aku harap kamu sadar dengan gendermu. Seorang laki-laki enggak akan menyakiti perempuan."

Bara mengerut. "Emang kapan aku nyakitin cewek?"

Bagas mengepalkan tangannya, sungguh tega pemuda itu melupakan kejadian yang baru beberapa hari yang lalu. Bagas pun mengganti topik. Topik yang sudah ia siapkan sebelumnya, dalam rencananya. "Tentang mimpi kamu ...."

Bara tampak tertarik, ia menggeser posisi kakinya, menghadap ke arah Bagas dengan benar.

"Aku tahu kamu suka basket, kenapa nggak kamu kejar aja mimpimu?" ucap Bagas sambil mengedikkan sebelah alisnya.

"Seandainya mudah mungkin sejak bayi aku sudah jadi pemain profesional," sahut Bara memandang sinis. Kalimat klasik yang sering didengarnya.

"Kenapa harus mudah? Bukannya jika itu sulit malah lebih menantang? Hidupmu akan membosankan, jika semuanya berjalan mudah. Bisa-bisa kamu kehilangan tujuan hidup kalau seperti ini."

Bara terdiam, ucapan Bagas terdengar berbeda di telinganya. Ia masih diam dan bersiap mendengarkan apa yang akan diucapkan pria aneh di hadapannya.

"Jadilah pemain basket! Sekalipun kamu ini masih bayi, kalau kamu niat, pasti bisa."

Bara menatap tak percaya.

"Itu hanya perumpamaan saja," sahut Bagas dengan cepat karena pria itu tidak bisa menangkap maksud tersiratnya. "Abaikan saja dream catcher itu. Jangan biarkan orang lain merenggut impianmu. Kamu sudah tujuh belas tahun, sudah cukup dewasa untuk menentukan apa yang harus kamu lakukan. Kamu punya hak untuk menentukan impianmu. Karena kamulah yang menjalaninya, bukan orang lain."

"Kenapa? Kenapa kamu bilang ini sama aku?"

"Aku tidak ingin kamu menyesal nanti. Mumpung kamu masih muda."

Bara menggeleng. "Bukan. Alasanmu yang lain. Memangnya kamu siapa ngomong hal seperti ini?"

"Aku?" Bagas melihat Bara dengan tatapan elang. "Aku pacarnya Via. Dan kamu, jangan coba-coba menyakitinya!"

Bagas pun meninggalkan tempat. Sementara Bara masih tercengang. Kata-kata pria misterius itu merasuki relung jiwanya. Ia sedang gundah karena mimpinya tentang basket. Kekalutan hatinya yang akan berjalan serius atau hanya dijadikan sekadar hobi. Dan keraguan tentang keluarga yang menentangnya.

"Kenapa sama orang aneh itu? Apa dia bukan manusia? Apa dia cenayang? Siapa sebenarnya ... kamu?"

ヽ(。◕o◕。)ノ.

Via duduk di ruang lukis. Ia sedang menggambar sebuah sketsa. Bukan Bara yang dilukisnya, tetapi Bagas dan Railo. Via menggambarnya berdampingan.

"Kenapa aku baru sadar?" gumam Via lirih, takut jika ada yang mendengarnya. Pandangannya menerawang mengingat dua sosok dalam hidupnya. Via mengingat kebiasaan Railo dan Bagas yang sama. Entah kenapa ingatan itu baru muncul sekarang seiring dirinya memikirkan dua manusia itu bersamaan. Kebiasaan Railo yang memegang lehernya, sama seperti Bagas saat suasana canggung.

Via juga menyadari, ada tahi lalat di leher Railo, sedangkan Bagas, lehernya selalu tertutup. Entah laki-laki itu menutupinya dengan jaket hoodie atau menggunakan training yang menutupi leher. Via sadar, Bagas menyembunyikan identitasnya.

Namun, Via penasaran, mengapa Bagas menyembunyikannya? Pantas saja, pemuda misterius itu tiba-tiba jadi makcomblang antara dirinya dan Railo.

"Ternyata Kak Bagas masih normal," kekeh Via. Ia sempat panik ketika dirinya dijodohkan dengan laki-laki lain.

Via berpikir dan berpikir. Mengapa Bagas tidak memberitahukan hal ini pada dirinya. Apakah laki-laki itu sudah memberitahukannya pada Railo?

"Viaaa~"

Nuri datang, membuat Via kelabakan. Ia segera menutupi kanvasnya, menyembunyikan apa yang sudah digambarnya.

"Apa sih? Kamu gambar apa emangnya?"

Via menggeleng kuat. Entah kenapa, dirinya belum siap untuk menceritakan hal ini pada Nuri. Ia juga takut, bagaimana jika ada konsekuensi saat dirinya membocorkan hal ini? Tidak. Via harus memastikannya terlebih dulu pada Bagas, walaupun ia juga tidak yakin akan mendapatkan jawaban.

Untuk sementara, lebih baik aku diam.

Nuri menyipitkan matanya, Via panik. Nuri melipat tangannya. "Hmmm, kamu nggambar porno, ya?" tukasnya.

"Nggak! Enak aja!" sergah Via.

"Habisnya nggak mau kasih tahu gitu," ucap Nuri dengan memajukan bibir bawahnya.

"Dih, ya nggak gitu juga kali!"

Nuri melihat Via yang masih bersikukuh melindungi kanvasnya. Dirinya curiga, tetapi ia memilih untuk mengalah. "Iya, iya! Terserah deh, kalau mau main rahasia-rahasiaan! Pasti ketularan Kak Bagas, nih!"

Via hanya tersenyum kecut. Bukannya ketularan, tetapi memang lukisan ini berkaitan dengan rahasia Bagas. Sebagai pacar yang setia, dirinya tidak boleh sembarangan mengungkap identitas Bagas. Bagaimana jika laki-laki itu adalah FBI? Bisa gawat jika informasi ini bocor!

Nuri mengibaskan sebelah tangannya. "Lupakan. Aku mau nanya soal masa depanmu."

"Palingan dia di depan gerbang."

"Bukan itu!" seru Nuri kesal ucapannya diinterupsi. Via segera merapatkan bibirnya. Nuri pun melanjutkan. "Gimana sama papamu? Sampai kapan kamu pura-pura keluar dari klub melukis?"

Via menurunkan bahunya. "Nggak tahu. Dulu, aku memang masuk klub ini karena Kak Bara. Tapi, seiring waktu aku makin suka sama kegiatan ini. Aku ... ingin terus melukis, Nur!"

Nuri manggut-manggut sambil memikirkan apa yang ingin diutarakan. "Kalau memang kamu serius, kamu harus bilang sama orang tua kamu."

"Nggak mungkin! Kamu tahu 'kan Papa seperti apa?" Via mengalihkan wajahnya, dirinya terlalu takut untuk berhadapan langsung dengan penguasa rumahnya.

"Ya kamu perjuangkan dong, sama seperti kamu berjuang buat Kak Bara. Meskipun hasilnya seperti itu," kata Nuri tercekat, mengingat apa yang telah terjadi antara Via dan Bara. "Hasil itu bonus. Yang penting, kamu jalani dulu, kamu berjuang dulu."

Via mencerna perkataan Nuri. Memang ada benarnya, dirinya bisa berjuang untuk cintanya, mengapa tidak untuk mimpinya? Hanya saja, keraguan terus merenggutnya. "Tapi, gimana caranya?"

Nuri mengeluarkan sebuah brosur dan memberikannya pada Via. "Ini, ada lomba lukis. Mau ikut?"

Via membacanya dan menatap Nuri dengan ragu.

"Seandainya kamu menang, kamu bisa bawakan piala itu ke papamu. Aku yakin beliau pasti bangga. Siapa tahu, beliau mau membuka hati."

Via kembali membaca brosur itu. Jantung berdegup kencang. Haruskah dia memperjuangkan mimpinya? Seperti dia memperjuangkan cintanya?

ヽ(。◕o◕。)ノ.

Via berjalan melewati lorong dan berpapasan dengan Bara. Gadis mungil itu tidak ingin berurusan lagi dengan idola yang sudah menyakitinya. Ia berusaha tidak memedulikan pria itu, tetapi Bara menahannya. Sungguh momen yang tidak biasa. Via mengerut dan sedikit bergetar, memikirkan kakak tingkatnya yang akan menyemprotnya lagi.

"Maaf, kalau waktu itu aku kelewatan."

Via menatap heran pada Bara yang tiba-tiba minta maaf padanya. Kesambet apa kamu, Kak?

"Aku sudah dengar dari Railo, kalau kamu cuma fans aku seperti yang lain. Kamu itu anak baik, dan nggak pernah ngikutin aku seperti stalker. Keza aja yang melebih-lebihkan. Maaf, aku terlalu percaya sama dia," ucap Bara dengan tulus.

Jantung Via berdegup tidak stabil. Entah perasaan apa ini? Bara atau Railo?

"Aku dengar, kamu ingin jadi pelukis, 'kan?" Bara mengganti topik, melihat Via tak bereaksi.

Via terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk mengiyakan.

Bara merekahkan senyumnya. "Aku baru dapat pencerahan kemarin. Aku rasa kita mirip. Ayo, berjuang bersama meraih mimpi-mimpi kita!"

"Mimpi?"

"Benar. Kamu ingin jadi pelukis, dan aku ingin jadi pemain basket profesional. Kenapa kita nggak menjalaninya bersama?"

Via melebarkan pupilnya. Ia benar-benar dibuat bingung oleh pernyataan pria satu ini. Meraih mimpi bersama? Maksudnya dalam batasan hubungan seperti apa?

"Aku ... ingin kamu ja-"

"Via! Kamu belum makan, 'kan? Ayo kita pergi!"

Bagas datang dan segera merangkul Via lalu menatap nyalang pada Bara. Mulutnya membentuk lengkung sabit. "Lagi ngomongin apa sama pacarku?"

Bara menggaruk alisnya. "Oh itu, aku ...."

"Kita pergi dulu." Bagas segera menarik Via, melewati Bara dan keluar dari sekolah. Sementara Bara membalikkan tubuh dan memandangi kedua manusia itu.

"Ada apa dengan mereka berdua? Rasanya ... ada yang nggak beres," gumam Bara merasakan sesuatu yang aneh dan mengganjal. Namun, ia tak tahu apa itu.

ヽ(。◕o◕。)ノ.

Via dan Bagas berjalan-jalan di tepi pantai. Kali ini, Via sedang ingin mencari inspirasi untuk lomba melukisnya. Mereka berjalan beriringan, merasakan kelembutan pasir putih di kakinya. Cahaya sore yang begitu indah pun deburan ombaknya. Sesekali air laut membasahi kaki mereka, terasa dingin menyegarkan.

Via memandang hoodie Bagas. Tiba-tiba terbesit dalam pikirannya untuk mencoba mengungkap identitas Bagas. Via menepuk pundak pacarnya tiba-tiba dengan keras. Hoodie lelaki itu berhasil jatuh, tinggal sedikit lagi. Via berjinjit untuk memastikan tahi lalat di leher Bagas.

Sayangnya, Bagas segera memakainya kembali. Via sedikit kesal dengan tubuhnya yang pendek. Bagas menghentikan langkah dan menghadap ke arah Via. "Ngagetin aja. Kamu bandel ya, sekarang?"

"Eyyy, bercanda aja Kak!" kilah Via sambil menunjuk tangan Bagas.

"Sayang," ralat Bagas.

"Eh?"

"Kamu nggak pengen panggil aku 'Sayang'?"

Via sudah mirip kepiting yang merangkak di dekat kakinya. Ia malah berjongkok dan menyembunyikan wajahnya. Hatinya benar-benar diaduk oleh manusia masa depan ini. Sebentar datang, sebentar pergi. Sebentar berhenti kencan, dan sekarang ....

"Lihat! Pemandangannya bagus banget. Kamu nggak ingin ambil foto? Katanya mau lukis ini?" ucap Bagas mengalihkan topik.

Via sedikit kecewa, tidak bisa berlama-lama untuk bermanja dengan perasaannya. Ia pun berdiri dan menyaksikan lukisan terindah ciptaan Tuhan. Via segera merogoh ponselnya dan memotret pemandangan itu. Lalu, ia terdiam sejenak.

Via menoleh pada Bagas. "Kak, apa ... aku boleh mengejar impianku?"

Bagas memutar bola matanya ke sana kemari. Via berpikir, mungkinkah terjadi sesuatu dengan impiannya di masa depan?

"Apa ... aku harus berhenti?"

Bagas meletakkan kedua tangannya di bahu Via. "Kamu ... enggak boleh putus di tengah jalan. Kamu harus meraihnya, apa pun yang terjadi. Kamu harus bertekad kuat untuk meraih mimpimu. Aku akan mendukungmu."

Via tersenyum, dirinya lega mendengar kekasih masa depannya mendukung apa yang dilakukannya.

"Ingat pesanku. Selama itu adalah hal yang baik, jangan ragu untuk meraihnya. Sebaliknya, jika itu bukan hal yang baik, kamu jangan mau dibutakan oleh perasaanmu. Kamu harus melihat hal itu dengan logika. Mana yang baik dan mana yang bukan. Untuk melakukan hal yang baik, aku yakin Tuhan pasti akan menolongmu."

Via terdiam mendengar perkataan bijak dari sang kekasih. Lalu, ia tersenyum. "Aku akan mengingatnya, Kakakku Sayang."

Bagas tersenyum geli, lantas ia mengusap puncak kepala Via. Kepalanya mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Via.

"Hatiku tercipta hanya untukmu, Via. Selamanya, perasaanku akan terus ada bersamamu."

(。◕‿◕。)➜(。◕‿◕。)➜

Dipublikasikan 23 Agustus 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro