Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16🕟Bersamamu

"Via itu milikku, sudah seharusnya aku menjaganya."

–Bagas–

💙

SEMENJAK api melahap sebagian gedung SMA Merak Putih, Bagas semakin kesulitan untuk menghubungi Via. Gadis mungil itu selalu menghindarinya dengan pipi menggembung. Via masih cemburu sekaligus marah pada Bagas yang tidak peka dengan keinginannya. Berulang kali Bagas berusaha minta maaf pada pujaan hatinya, tetapi tidak sampai. Kepalanya sakit, entah bagaimana lagi harus membujuk si gadis tukang ngambek.

Hari ini, kesekian kalinya Via melengos ketika namanya dipanggil oleh Bagas. Gadis itu segera meninggalkan tempat dengan supir pribadinya. Bagas menghela napas panjang.

"Percuma aja Kak, kalau lagi ngambek kayak gitu harus pakai trik jitu."

Bagas menoleh kaget melihat Nuri tengah menatapnya dengan senyum tulusnya. Jika saja dirinya tidak mengingat Via, bisa jadi Nuri yang akan dikencaninya.

Bagas berdeham. "Memang trik jitu apa?"

"Aku kasih tahu, asal Kakak bisa jauhin Via dari Kak Bara."

Alis Bagas saling bertaut. "Kenapa?"

"Aku kurang suka sama dia. Memang benar, selama ini aku dukung Via sama Kak Bara ...," ucap Nuri tercekat, lupa jika manusia di hadapannya adalah saingan Bara. "Ehm! Maksudnya, aku rasa mereka kurang cocok. Via hanya akan jadi bucin aja, dia nggak akan peduli meski hatinya tersakiti. Kakak tahu, 'kan maksudku?"

Bagas hanya terdiam.

Nuri memegang kepalanya. "Aaa, apa aku salah ngomong, Kak?"

Bagas menggeleng. "Nggak masalah. Via itu milikku, sudah seharusnya aku menjaganya."

"Omo, kalau Via dengar pasti melting."

"Jadi, apa triknya?"

Nuri tersenyum. Ia memberitahu soal makanan manis yang disukai Via, tetapi bukan sembarang makanan manis. Makanan itu harus berjenis Tiramisu Cake yang krimnya terbuat dari bahan telur bebek dan emulsifier merek kumbang. Tiramisu Cake yang merupakan makanan kenangan semasa kecilnya. Hidupnya yang tidak terlalu terbebani oleh apa pun, entah itu nilai pelajaran, mimpi atau jodoh.

Karena itulah, Via sangat menyukai makanan manis itu. Sayang, Tiramisu Cake ini jarang sekali ditemukan. Langka. Nuri saja menemukannya saat keluar kota, tetapi tahun lalu pemiliknya meninggal, tidak ada yang meneruskan usahanya. Alternatifnya, membuat sendiri yang paling termudah.

Bagas menyanggupinya. Ia berusaha membuat kue itu sendiri, demi pujaan hatinya.

ヽ(。◕o◕。)ノ.

Bagas menunggu Via di gerbang. Sebelum Via melewatinya lagi, ia segera mencekal tangan Via. "Tunggu, Vi!"

"Apa sih, Kak? Aku mau pulang!"

"Ikut aku sebentar!"

Tanpa menunggu izin dari Via, Bagas segera membawanya pergi dari tempat itu. Mereka berjalan menuju taman dekat sekolah. Mereka duduk di salah satu bangku kosong.

Bagas mengambil kotak bekal dari dalam tas yang dibawanya. Ia memberikannya pada Via. "Buat kamu."

Dengan muka masam, Via membuka kotak bekal itu. Matanya pun berbinar, melihat kue ajaib kesukaannya. "Tiramisu Cake?"

"Kamu suka, 'kan?"

Via segera memadamkan cahaya wajahnya. Ia menutupnya dan menyodorkan kembali pada Bagas. "Sori, aku nggak bisa sembarangan makan cake ini."

Bagas menyodorkan kotak itu kembali. "Coba dulu. Ini krimnya terbuat dari bahan telur bebek dan emulsifier merek kumbang kok."

"Eh? Serius?"

Bagas mengangguk. "Aku membuatnya sendiri."

Via semakin hanyut dalam perasaannya. Bukan hanya karena Tiramisu Cake yang memang favoritnya, tetapi juga dibuat oleh tangan Bagas sendiri. Tiba-tiba saja, Via sudah melahapnya dengan cepat. Tampak gadis itu begitu menyukainya. "Rasanya sama persis sama Tiramisu Cake jaman aku masih kecil!"

"Benarkah? Syukur, deh," sahut Bagas lega.

Via terus melahapnya hingga tak bersisa. "Terima kasih, Kak. Maaf, kalau aku terus ngambek sama kamu."

Bagas hanya membalasnya dengan senyuman, lalu ia mengambil sebuah headphone dari tasnya. Ia memakaikan benda itu di kepala Via, lalu mengutak-atik kotak kecil yang tipis berisi musik. "Aku suka lagu ini, favoritku. Semoga kamu juga suka, ya."

Via termenung, berusaha mencerna lagunya. Sebuah lagu asing yang tak pernah didengarnya, tetapi memiliki alunan musik yang indah. "Apa ... ini lagu dari masa depan?"

"Iya. Aku selalu mendengarkan lagu ini setiap hari," sahut Bagas sambil memandangi wajah manis di hadapannya.

Via manggut-manggut. "Enak, Kak!"

Mereka pun saling mendengarkan lagu, sambil menikmati langit oranye yang indah. Cocok untuk sebuah ketenangan. Setelah puas mendengarkan musik, Via mulai membuka topik pembicaraan. Tentunya, berhubungan dengan rasa penasarannya. "Kak, kenapa sih Kakak aneh banget?"

"Pertanyaan macam apa itu?"

Via tertawa geli. "Habisnya, Kakak itu kayak kuntilanak versi cowok tahu nggak! Datang nggak diundang, pulang tak diantar. Suka ngilang gitu."

"Serem amat ya, nggak ada yang kerenan dikit emangnya?"

"Sadako, deh. Deal?"

Bagas hanya tertawa, gadis pujaannya begitu lucu. Sementara Via hanya tersenyum kecut, lagi-lagi pertanyaannya malah dijawab dengan sebuah tawa. Walaupun manis.

"Kak, tujuan Kakak ke sini apa? Bukannya kita udah pacaran di masa depan? Terus kenapa ke sini? Apa jangan-jangan, ada masalah di antara kita?"

Bagas menelan salivanya. Ia takut, jika tujuan sebenarnya terbongkar.

"Kak, plis. Kalau aku memang pacar kamu, bukannya enggak ada rahasia di antara kita? Aku harus tau dong, apa yang sebenarnya terjadi?"

Bagas terus didesak, hingga mulutnya pun berbicara. "Via, aku masih belum bisa membicarakannya. Aku tahu, hubungan yang sehat itu tidak ada rahasia. Tapi, aku benar-benar harus diam."

"Kenapa?" Via menatap Bagas dengan intens.

Bagas memutar bola matanya. "Vi, daripada kamu terus menanyakan hal ini, kenapa kita nggak kencan aja?"

"Nggak mau! Aku ingin jawaban, Kak!" seru Via dengan mata yang masih melerok.

Bagas memegangi lehernya. "Ta-tapi aku ingin bersamamu, Via."

Via mendengkus kesal. "Makanya, kalau ingin bersamaku, ya dijawab pertanyaanku, Kak!"

Bagas nampak frustrasi, ia menunduk dalam sambil menutup mukanya dengan satu tangan. Tak lama kemudian, ia mendongak dan menatap lurus gadis enam belas tahun itu. "Satu bulan."

"Hah?"

Bagas tersenyum sendu. "Waktuku tinggal satu bulan, untuk tetap bersamamu, di sini."

Via terbelalak. "Ma-maksudnya?"

"Aku datang ke sini sudah sejak dua bulan yang lalu. Aku menaiki sebuah mesin waktu. Seorang profesor berkata padaku, aku hanya diberi jatah selama tiga bulan di tahun ini. Dan sekarang hanya tersisa satu bulan lagi, sebelum aku kembali ke masa depan."

"Hah serius? Kok nggak bilang?"

"Karena aku enggak ingin merusak momen. Aku hanya ingin bersamamu, Via."

Netra kelam Via berlinang. "Harusnya kamu bilang, Kak! Harusnya, aku akan berikan waktu luang lebih banyak untuk kamu. Harusnya, harusnya ...."

Via menutup wajahnya, menyembunyikan bulir bening yang terus meluncur dari sudut kelopak matanya. Ia tidak ingin kehilangan lelaki misterius secepat ini. Bagas pun merengkuhnya. "Sudahlah, aku masih ada waktu sebulan di sini. Ayo, kita habiskan waktu bersama."

ヽ(。◕o◕。)ノ.

Via dan Bagas berjalan beriringan menuju terminal. Dalam perjalanan, Via memandang tas Bagas yang hanya satu. "Sebenarnya kita mau ke mana? Enggak bawa baju?"

Bagas menoleh sambil berkedip. "Baju? Memangnya kamu mau nginap sama aku?"

"Aku nggak bilang gitu," sahut Via sambil memegangi pipinya yang terasa hangat. Sementara Bagas hanya terkekeh pelan.

"Kita cuma ke beberapa tempat aja kok, malam udah pulang."

Bagas mengerling via yang masih menggunakan seragam sekolahnya. Hari itu, Via pulang cepat karena kelas diliburkan akibat ada guru yang sedang sakit, sehingga para guru hendak menjenguknya.

"Kak, status kita ini pacaran, 'kan?" Sebuah pertanyaan mendadak meluncur mengingat Via sudah lama ingin tahu. Karena dirinya tidak pernah mendengar pernyataan Bagas yang menyatakan cintanya secara formal.

"Enggak," sahut Bagas dengan santai.

Via mencekal lengan Bagas untuk berhenti. "Kak, jangan main-main! Aku serius, nih!"

"Aku cuma ngungkapin fakta. Kita nggak pacaran di masa kini," sahut Bagas sedikit menjeda. "Tapi kita pacaran di masa depan."

"Ehhh?" respons Via dengan muka tertekuk, "sekarang aja, deh!"

Bagas membungkuk dan menyejajarkan wajahnya. Embusan napas lelaki itu terasa di wajah Via. Via dibuatnya menjadi patung dadakan.

Bagas pun berbisik, "Dasar, Bawel!"

Bagas segera angkat kaki menuju salah satu bus. Via merasa dipermainkan dan segera mengejar Bagas dan meneriakinya. Mereka saling tertawa dan bahagia. Mereka pergi menuju kota Malam.

Sebuah kota dengan pemandangan langit mendung. Bukan karena tertutup awan, tetapi pepohonan yang sangat rindang, menghalangi cahaya matahari dan cerahnya langit biru. Karena itulah, kota ini dinamakan kota Malam. Meski siang hari, tampak terlihat gelap. Bagas mengajak Via ke sebuah tempat. Gedung Olahraga Ken Aris.

"Kakak mau main basket?" tanya Via yang menganggap Bagas bisa bermain basket, mirip dengan Bara.

"Enggak. Permainan dalam gedung ini nggak hanya basket. Aku akan mengajakmu berlatih hal lain yang lebih menyenangkan," sahut Bagas dengan nada kesal, karena merasa dibandingkan dengan saingannya, Bara.

Via menuruti Bagas ke mana pun kaki melangkah. Mereka memasuki sebuah ruangan di ujung belakang. Pupil mata Via melebar, memandang takjub ruangan itu. Sebuah ruangan berdinding putih dengan ubin kayu, ada beberapa busur panah berjejer di salah satu meja. Sementara, di sebelah ruangan yang terbuka adalah halaman kecil dengan beberapa papan panah berdiri rapi. Ada beberapa lubang kecil di setiap papan itu.

"Kita main panahan, kamu belum pernah, 'kan?"

Via segera mengangguk cepat. Wajahnya sumringah, dirinya suka hal-hal yang baru. Bagas tampak memilih busur. Via menatap heran. "Kenapa enggak asal ambil aja, Kak?"

"Nggak bisa gitu, di sini ada yang bahannya berat dan ada yang ringan. Buat pemula sepertimu, harus pakai yang ringan." Bagas mengambil salah satu busur, "Nah, ini aja. Terbuat dari plastik. Jika udah lebih baik, bisa pakai yang dari kayu dan terakhir besi."

"Wuaaah!" seru Via terpesona, kagum.

"Ya sudah, kita mulai latihannya."

Bagas mengajaknya ke sisi pinggir menghadap halaman yang terbuka. Laki-laki itu mengajarkan Via menggunakan busur. Kaki harus terbuka lebar yang menghadap timur, kepala menoleh lurus ke kiri berikut busur panah di tangannya. Tangan kiri yang menggenggam busur harus lurus sejajar di bawah kepala, pun bahu kanan yang terangkat lurus di bawah telinga dengan anak panah dalam genggaman.

Bagas di belakang Via memegangi tangan gadis itu untuk berlatih. Kedua wajah begitu dekat, membuat debaran hati Via makin kencang.

Sebelum Via melepaskan panahnya, Bagas berbisik. "Akan kupanah hatimu, my sweet girl!"

Via pun tak sengaja melepaskan panahnya, saking dirinya terlalu melting dengan ucapan Bagas. Sungguh, hatinya sudah tak karuan. Mungkin, sudah ada ribuan anak panah tertancap di hatinya.

(。◕‿◕。)➜(。◕‿◕。)➜

Dipublikasikan 16 Agustus 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro