14🕝Patah Hati
"Tega banget Kak, kamu fitnah aku!"
-Via-
❤️
PERMEN lolipop setia berada dalam mulut gadis penyuka anime di depan kelas. Via sedang menikmati jam istirahatnya sendirian. Nuri sedang membantu Bu Juwita untuk membawakan kumpulan tugas yang telah dikumpulkan ke ruang guru.
Manik hitam Via menangkap pemandangan yang memanaskan hati. Keza dan Bara sedang berjalan bersama di lorong yang lain. Via tidak suka melihat kakak tingkatnya bergelayutan seperti makhluk mirip manusia, sementara dirinya masih belum bisa melupakan apa yang telah dilakukan Keza terhadapnya.
Panas hati Via kian menguar tatkala Keza menjulurkan lidahnya yang mengejek. Ini adalah perang! Via berkeyakinan tinggi, bahwa rivalnya adalah Keza. Apa pun yang terjadi padanya, yang menghalanginya untuk bersama Bara, pasti Keza.
Via bangun dari kursinya. Ia tidak tahan dalam kondisi seperti ini. Sayang, langkahnya terhenti oleh sebuah panggilan. Via menoleh dan mendapati Railo berlari kecil menghampirinya. Gadis itu memasang wajah jutek. "Apa?"
"A-a-aku cuma mau kasih ini," ucap Railo sembari memberikan sebuah buku Matematika. Via lupa, hari ini ada tugas yang harus dikumpulkan dan dirinya belum mengerjakan sama sekali, karena tidak mengerti.
"Aku kira, soal kali ini sulit. Karena kamu nggak belajar kemarin-kemarin, mungkin kamu belum ngerti. Maaf kalau aku salah," sambung Railo sambil menunduk menyembunyikan wajah gugup dan rasa bersalahnya.
Via segera menyambar dan membuka bukunya. Binar matanya terang, senyum lebar menghiasi wajah kusutnya. "Nggak papa kali, aku seneng lho dikasih contekan kayak gini."
Railo mengembangkan senyumnya. "Syaratnya, ini yang pertama dan terakhir. Kamu harus belajar sendiri."
Senyum lebar Via mendadak padam. "Ngeselin," gerutunya. Lantas, ia segera masuk kelas untuk menyalin tugasnya. Namun, ia juga merasa bersalah mendapatkan contekan seperti ini. Tetap saja ini adalah hal yang salah. Via kembali menghampiri Railo.
Railo tertegun. "Kenapa?"
"Ajari aku aja," sahut Via. Railo membeku. Ia hanya mengerjapkan matanya berkali-kali, tak menyangka gadis impiannya seperti malaikat. Dia menolak barang haram.
"Cepetan! Keburu bel, nih!" pekik Via yang sudah mendahului masuk kelasnya. Railo dengan kikuk mengejar Via, lalu mengajarinya tugas Matetmatika secara singkat.
ヽ(。◕o◕。)ノ.
Pulang sekolah, Via dan Nuri pergi ke ruang klub terlebih dulu. Seniornya, Angin, berkata akan ada penilaian sementara dari guru seninya. Sesampainya di sana, keadaan ruang klub cukup aneh. Tak ada satu pun anggota berada di sana. Memang hari itu bukan Rabu, tetapi penilaian sangat penting. Tidak mungkin, jika tidak ada satu pun anggota yang hadir. Aneh.
"Paling kita yang kepagian," celetuk Nuri berusaha berpikir positif. Lantas, mereka menyiapkan kanvas yang telah terlukis. Mereka memilih lukisan mana yang akan diajukan.
"Aku cari Kak Angin dulu, deh! Atau yang lain," pamit Nuri meninggalkan tempat.
Selang beberapa waktu, Bara dan Keza memasuki ruang klub.
"Kakak? Tumben ke sini?" tanya Via sedikit lebih berhati-hati, mengingat dulu dirinya pernah diperlakukan kurang enak oleh Bara. Takut, jika menyinggung keakraban yang overdosis lagi.
Bara tak menjawab, kepalanya menengok ke arah lukisan Via. "Gambar siapa itu?"
Via melihat arah pandangan Bara dan tersipu malu. "Mm sebenarnya ini ..."
"Jawab!" bentak Bara mengagetkan Via. Gadis lucu itu tak menyangka, Bara bisa membentaknya. Kesal, tetapi ia sembunyikan perasaan itu untuk menghormatinya. Ia berusaha menekan emosi yang sedikit tersulut - belajar sabar.
"I-ini Kak Bara yang lagi main basket," sahut Via dengan bibir bergetar.
Bara terdiam beberapa detik, lalu tatapannya berubah nyalang. "Jadi bener, kamu stalker?"
Via hanya menganga, tak percaya dengan tuduhan terlontar dari mulut Bara. Stalker? Apa maksudnya?
"Ya bener dong, Bar! Tiap hari dia ngikutin kamu. Aku punya saksinya si Shelly sama Felly. Selama ini, aku diam karena kukira dia cuma fans biasa. Sayangnya, aku sempet liat dia ngikutin kamu sampai ke toilet. Ini bukan batasan antara fans sama idola lagi lho, Bara!" sela Keza semakin mengompori keadaan.
Bara mengeraskan rahangnya, merasakan kengerian dari junior cantiknya yang telah melakukan hal-hal tidak senonoh. Sedangkan Via melirik ke arah Keza dengan tatapan tak percaya. Tega banget Kak, kamu fitnah aku!
"Sekarang dia lukis kamu saat main basket, besok-besok saat kamu di toilet gimana? Serem, Bar!" tambah Keza pura-pura bergidik. Gadis licik itu terus mengatakan hal-hal yang akan membuat pandangan teman masa kecilnya berubah.
Via tak ingin kesalahpahaman terus terjadi. Junior yang tidak terlalu tinggi itu menatap idolanya dengan mata kucing. Ia berharap dirinya mendapat perhatian Bara. "K-K-Kak! To-tolong jangan percaya sama Kak Keza, ya. Dia cuma mau mengha-"
"Cukup!" potong Bara, "terakhir kamu bilang Keza yang udah ngerusakin sepatu kamu. Dan sekarang?"
Masih ada satu lagi Kak, soal kado!
"Aku nggak tahu kalau kamu segitunya ingin menghancurkan persahabatan aku sama Keza," lanjut Bara sambil menghela napas berat.
"K-Kak, ini salah paham. Aku sama sekali nggak pernah berpikir un-"
"Selama ini aku lihat kalian suka ribut. Kukira emang karena Keza yang jail sama kamu. Ternyata ...." Bara mengalihkan pandangannya, sudah merinding dengan semua anggapannya akibat hasutan Keza. Via masih terdiam, berusaha keras memutar otak untuk membela diri.
"Makanya percaya sama aku, Bar! Aku udah temenan sama kamu bertahun-tahun!" hasut Keza yang semakin memancing kemarahan Bara. Via tetap diam tak berkutik.
Bara mendorong kanvas Via hingga bergeser dalam sudut berbeda. "Gambar jelek kayak gini mau dipamerin? Kayak anak kecil!"
"Cukup, Kak," lirih Via dengan suara parau.
"Kalau enggak bakat lukis, enggak usah sok-sokan lukis! Jelek-jelekin nama sekolah aja! Liat, garis lengkung-lengkung gini!" tunjuk Bara dengan nada mengejek.
"Kak, aku bilang cukup!" Via sedikit mengeraskan suaranya, tak tahan mendengar hinaan dari idola sendiri. Satu kata yang terucap saja, sudah seperti memberinya racun tikus. Apalagi jika diteruskan.
"Kenapa? Stalker?" Bara menyeringai, membuat Via sedikit bergidik. Seperti bukan Bara yang biasanya. Via merasa laki-laki itu kian mirip dengan gadis di sebelahnya.
Via menelan ludah dan air mata yang sedang terbendung di kelopaknya. "Tolong, Kak. Jangan pernah hina karyaku. Kalau aku salah, aku minta maaf. Tapi, tolong percaya sama aku. Aku bukan stalker, Kak!"
"Mana mungkin maling ngaku? Ini sudah buktinya," sahut Bara menunjuk kanvas Via dengan matanya.
Via sudah tidak dapat membendung segala emosinya. Bulir bening sudah mengalir, ia memilih lari dari area medan perang batin, menabrak dua kakak tingkat menyebalkan itu. Via terus berlari, melupakan Nuri bahkan tas yang masih tertinggal di dalam kelas. Via pergi menuju gerbang.
Di gerbang, Bagas yang sedang menunggu Via terkejut melihat tuan putrinya lari begitu saja melewati dirinya. Bagas segera mengejar dan berhasil mencekal lengan Via. Namun, gadis itu bersikukuh tidak ingin membalikkan badannya dan terus menunduk dengan muka tertekuk. Bagas pun memeluknya dari belakang dengan hangat dan lembut.
Via hanya menangis. Tangan kanannya perlahan memegang tangan Bagas yang menggantung di lehernya. Via terus terisak, Bagas menunggunya, hingga hati gadis cantik itu lebih baik. Lantas, Bagas membalikkan tubuh Via perlahan. Mereka berhadapan.
Bagas memegangi pundak Via. Punggungnya membungkuk sedikit, berusaha menyejajarkan wajah. Sebelah tangannya mengusap air mata Via. "Vi, lihat aku!"
Via perlahan memandang pria misterius di depannya.
"Kumohon, lihatlah aku. Jangan melihat dia terus! Aku ada di sisimu, Via!"
ヽ(。◕o◕。)ノ.
Via kembali pulang ke rumah. Setelah mandi dan makan sore, Via duduk di teras depan. Ia memandang langit sore yang semakin gelap. Benaknya dipenuhi oleh sentuhan Bagas. Backhug. Ucapan Bagas yang menyuruh Via untuk melihatnya. Memori gadis remaja itu bergeser pada ucapan Bagas yang lalu. Bagas menyuruhnya peduli pada orang di sekitarnya.
"Kak Bagas," gumam Via. Bayangan kehadiran lelaki misterius tiba-tiba memenuhi isi kepalanya. Meski beberapa kali tercampur dengan adegan menyakitkan di sekolah. Hatinya benar-benar gundah. Rasanya, ia tak bisa memutuskan dengan benar, siapa pilihan hatinya? Kak Bara atau Kak Bagas?
Via mengembuskan napas kasar. Kepalanya sedikit sakit karena kejadian yang sudah menimpanya.
"Kamu kenapa Via?"
Via hampir terlonjak dari bangkunya, mendapati sang ibu tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. Terkadang, ia berpikir ibunya mirip Bagas. Misterius. Tak dapat membaca isi hatinya.
"Tumben, Ma?"
Wanita paruh baya itu tersenyum lalu menepuk lembut tangan Via yang berada di meja. "Maafin Mama kalau kurang care sama kamu."
Hati Via berdesir, pertama kalinya sang ibu mengatakan hal semacam ini.
"Mama ingin lebih dekat sama kamu. Kamu bisa terbuka sama Mama."
Terbuka? Kalau nggak dukung, ada gunanya? Selama ini ibu Via tak mengatakan apa pun tentang dirinya. Entah mendukung atau tidak, seperti tentang mimpi, misalnya. Via ragu untuk mengungkapkan isi hatinya.
"Maafin Mama kalau selama ini Mama diam. Karena itu, sekarang ... Mama mau dukung kamu."
"Bener?" Via sumringah mendengarnya. Ibu Via pun mengiyakan. Tanpa ragu, Via mulai menceritakan kegalauan hatinya di antara dua pangeran.
"Eeeh? Anak Mama udah besar ternyata," komentar Mama membuat Via merona. Pertama kalinya Via menceritakan hal yang berbau cinta pada keluarga sendiri. Terlebih, ibunya.
"Kalau Mama sih, terserah kamu aja. Tanyakan pada hatimu, siapa yang buat kamu nyaman di dekat dia? Kalau kamu ada di sampingnya, semua emosi segera luruh dan mendinginkan hatimu."
Via menimbang-nimbang ucapan ibunya.
"Dan satu lagi. Mama harap sih, pilihan hatimu adalah yang terbaik untukmu. Yang bisa memberikan sesuatu yang positif terhadapmu, meski kadang menyakitkan."
Entah mengapa, yang ada dalam bayangannya hanya Bagas. Ia teringat saat Bagas mengomel tentang sepatunya yang mahal.
"Kamu masih muda, Via. Kamu enggak perlu terburu-buru memikirkannya. Jalani saja, Mama yakin, hatimu bisa menentukannya. Jangan terlalu fokus pada logika."
Via tersenyum. "Makasih ya, Ma. Aku nggak tahu kalau Mama punya kalimat berlian seperti ini. Perasaanku sudah lebih tenang. Makasih, Ma."
Ibu Via pun memeluk dan mengelus punggungnya. "Mama selalu memikirkanmu, Via! Maafkan Mama kalau cara yang Mama pakai selama ini salah."
"Enggak apa-apa Ma, aku sayaaaaang Mama!" Via mulai menitikkan air matanya. Bukan sedih, tetapi haru. Dapat merasakan kehangatan ibunya.
"Mama juga sayang banget sama Via."
Di ambang pintu, terlihat kakek Via yang mengintip ibu dan anak yang saling berpelukan. Mulutnya melebar, bangga dengan keturunannya yang akur. "Hmmm, kalau begitu tinggal yang laki-lakinya!"
(。◕‿◕。)➜(。◕‿◕。)➜
Dipublikasikan 9 Agustus 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro