08🕗My Family
"Jadi Kakak juga nggak dukung aku? Apa nasibku ditakdirkan untuk merana?"
-Via-
❤️
CAKRAWALA malam menghantui pikiran Via. Bukan karena situasi mistis atau semacamnya, tetapi ia pulang melewati jam pulang ayahnya. Gadis penyuka warna biru itu takut kena marah karena pulang kemalaman. Jarinya terus bergerak, mengetuk sandaran tangan, meremas rok sekolah dan membuka ponsel berkali-kali, masih belum ada panggilan apa pun.
Sudah pukul tujuh malam, sempat ada kemacetan di jalan. Via buru-buru lari masuk ke dalam rumahnya. Netra hitamnya telah menangkap mobil porsche putih yang terparkir di garasi samping. Via terus melantunkan doa dalam hati, agar si ayah tidak punya tenaga untuk memarahinya.
Tangan Via membuka engsel pintu utama dan melangkah masuk. Tubuhnya bergeming, seolah dikutuk ibunya Malin Kundang. Telah duduk seorang pria berkumis tipis sambil menatap tajam ke arah Via. Tatapan berapi yang sudah diduga oleh si pemilik sepatu Nike.
"Ngapain kamu pulang telat? Ngelukis lagi?" Suara berat sang ayah menggetarkan jiwa rapuh putrinya.
"Eng-enggak, Pa! Aku belajar sama temen, kok," kilah Via yang memang mengatakan hal yang sesungguhnya.
Pria paruh baya itu mencondongkan tubuhnya membuat Via semakin tegap seperti anggota paskibraka. "Belajar? Belajar apa?"
"Ma-matematika, Pa."
"Bener?"
"Be-ben-"
"Pacaran kali, Pa!" celetuk Danu menginterupsi pembicaraan ayah dan putrinya. Laki-laki tinggi itu dengan santainya duduk di kursi kosong. Tangannya mengambil toples kue kering berisi coco crunch yang mirip dengan kulitnya.
Mata Via membola, jantungnya kembang kempis teringat dengan sang pacar masa depan. Dirinya belum siap untuk memperkenalkan Bagas ke hadapan keluarganya. Pasti panjang kali lebar dan bisa-bisa malah membuat malu Via. Gadis itu segera mengibaskan tangannya. "Enggak, Pa! Beneran!"
Ayah Via hanya memicingkan matanya, berusaha menelisik kebenaran dari gelagat putri bungsunya.
Bola mata Via berlarian ke sana kemari, mencari ide untuk menyelamatkan dirinya. Lantas, tangannya segera membuka ransel dan mencari bukunya. "Ini nih buktinya, kalau enggak percaya."
Ayah Via menepuk kedua pahanya dan beranjak berdiri. "Ya sudah, Papa percaya kamu."
Via meneguk salivanya, merasa senang dipercaya oleh sang penguasa di rumah itu.
"Baguslah kalau memang kamu belajar. Lebih baik daripada main-main nggak jelas!"
Sang ayah kembali ke ruang tengah. Ia disusul oleh Danu yang menjulurkan lidah pada Via sebelumnya. Gadis muda ini tahu betul apa yang dimaksud 'main-main' oleh ayahnya. Bukan main ke rumah teman atau main game, tetapi tentang kegiatan melukisnya. Sang ayah hanya menganggap melukis adalah sebuah hobi belaka alias main-main. Jantungnya serasa dirobek-robek oleh pisau belati. Sakit.
Sebuah sentuhan hangat mengelus pundak Via. Kepalanya menoleh dan mendapati si kakek yang telah berada di sisinya. Via menghela napas kecewa.
"Kakek dukung kamu, kok!" Suara parau khas seorang kakek, melegakan sedikit kekecewaan di hatinya. Setidaknya, Via masih memiliki satu orang yang benar-benar mendukungnya. Meskipun hatinya sakit saat mengingat keluarga inti yang mengabaikannya. Tidak mendukung sama sekali. Apalagi, seorang ibu yang Via sendiri sama sekali tak bisa memahami isi pikirannya.
ヽ(。◕o◕。)ノ.
Malam itu, pikiran Via sangat kalut. Beban dari keluarganya, sungguh beban yang berat baginya. Dimulai dari impiannya yang tidak direstui, perlakuan keluarga yang tidak ada dukungan. Bahkan beberapa kali Via juga mendengar ayah dan ibunya yang suka bertengkar meskipun di dalam kamar saja. Belum lagi jika keluarga besarnya yang suka membandingkan Via dengan sepupu yang lebih pintar dan hebat. Semua itu menjadi beban untuk seorang gadis remaja sepertinya. Itu baru keluarga, belum orang lain.
Beban itu telah menguras rasa laparnya. Via segera berganti pakaian kasual dengan jaket hoodie putih. Kaki pendeknya berdiri di depan cermin satu tubuh di kamarnya. "Hooo, aku kayak Kak Bagas kalau gini. Jadi cewek misterius!" gumamnya.
Via keluar dari rumahnya diam-diam. Sebenarnya, bisa saja gadis itu izin. Hanya saja, dirinya masih dalam mood yang jelek dengan keluarganya. Sesuatu yang tak pernah Via lakukan sebelumnya.
Sudah pukul sembilan malam, angin dingin menyapu wajahnya. Via bergetar walaupun sudah memakai jaket. Wajah dan tangannya mulai pucat, membuat dirinya mengusukkan kedua telapak tangannya. Kakinya setengah berlari, agar cepat sampai dan cepat pulang ke rumah.
Sebuah minimarket dengan spanduk merah membuat mata Via berbinar. Gadis penyuka makanan itu segera masuk dan berjalan di stan makanan ringan. Keripik kentang, biskuit, cokelat, segera diambilnya dan dimasukkan ke keranjang biru. Lantas, Via berjalan menuju stan minuman. Ada kaleng bir bintang satu di sana. Tangannya iseng untuk menyentuh kaleng itu, dan ditepis oleh seseorang.
"Dosa! Kamu jangan macem-macem!" tegur seorang pria tinggi dengan jaket hoodie hitamnya.
Via menutup mulutnya. "Kebetulan macam apa ini?"
Via mengerjapkan matanya berkali-kali, masih tak percaya bisa bertemu dengan pacar masa depannya. Padahal, dirinya sama sekali tidak janjian, bahkan nomor ponsel Bagas pun tidak punya. Ajaib!
Bagas mengulas senyumnya. "Enggak ada yang namanya kebetulan. Semua ini sudah digariskan oleh Yang Kuasa, yang mengizinkan aku untuk bertemu denganmu. Pilihanku, telah mengantar aku padamu."
Via hanya memegangi pipinya yang merona. Gadis kaya itu menyukai pilihan kata yang diucapkan oleh Bagas.
"Ngomong-ngomong, kenapa kamu keluar malam-malam begini? Jangan bilang, kamu kabur?" tukas Bagas sambil menatap Via menyelidik.
Kepala gadis itu hanya menoleh ke sana kemari, lalu menjulurkan kedua telapak tangannya yang bertumpuk ke arah mulut Bagas, tetapi tak sampai. Lantas, Via memberi kode diam dengan telunjuk yang ditempelkan pada bibirnya. "Ssst! Jangan keras-keras, dong!"
"Jadi bener, kamu kabur?"
Via menggeleng cepat. "Enggak kok, aku cuma ... cuma keluar diam-diam," sahutnya lirih.
"Kamu harus pulang! Ayo kuantar," kata Bagas sambil menarik tangan Via sedikit memaksa. Via menahannya.
"Tapi aku lapar!"
Bagas menoleh dan melihat tangan Via memegangi perutnya. Sebuah embusan geli terbit di bibir manis pria tampan itu. Bagas memindah posisi tangannya turun ke bawah, menggandeng gadis bunga hatinya. Ia mengajaknya untuk berbelanja sebentar, lalu mencari makanan cepat saji minimarket itu untuk di makan di luar.
Bagas menyodorkan sosis bakar yang besar dengan saus mayones bercampur BBQ, sementara dirinya menyantap pastri isi pisang. Pria dewasa itu menyadari betapa lucunya Via saat makan, begitu serius menikmatinya. Seolah, semua makanan yang ada pasti sangat enak. Via pasti sangat mensyukuri rezeki makanan yang didapatkannya, pikir Bagas.
Bagas juga menyadari hal lain. "Vi, kita cocok seperti pasangan, pakai baju couple!"
"Hm," gumam Via yang masih menikmati sosisnya.
Bagas tergelak geli, ia lupa jika makhluk manis ciptaan Tuhan di hadapannya gila makanan. Pria doyan pisang itu dengan setia menunggu Via menghabiskan makanannya, sebelum melanjutkan pembicaraan.
Via menyeruput kaleng soda dan mulai menaruh perhatian pada sang pacar. "Kakak tadi ngomong apa, ya?"
Bukannya menjawab, tangan besar pria misterius itu mengulur ke wajah Via, mengusap noda saus BBQ di ujung bibirnya. Jantung Via berdentum tak karuan, rasanya mau meledak! Kakeeeek, aku belum siaaap!
Bagas menarik tangannya kembali, lalu membersihkan jarinya dengan tisu. "Ada saus nempel di bibirmu, untung aku nggak khilaf."
"Eh? Maksudnya?"
Bagas lagi-lagi tertawa geli. "Lupakan aja. Sepertinya, kamu yang butuh menceritakan sesuatu."
Via terdiam. Pikirannya kembali ke rumah megahnya yang dingin seperti istana Frozen. Rasanya, ia tidak ingin kembali ke rumah itu. Gadis remaja itu hanya ingin bebas, bukannya diatur-atur oleh ayahnya. Sungguh menyesakkan dada.
"Kakak tau 'kan, aku suka melukis?"
Bagas terdiam sejenak, memorinya mengingat masa lalu. Tangannya mengepal di bawah meja. Bagas mengangguk.
"Papa nggak mendukung aku. Mama aku," ucap Via dengan mata yang berkaca-kaca sambil memandang langit gelap.
"Enggak tahu lagi apa yang dipikirin Mama. Kakakku, Kak Danu, dia malah mendukung semua ucapan Papa. Yang tersisa cuma Kakek, yang selalu di samping aku. Tapi, tapi, tetep aja rasanya itu sesak di dada."
Via menelan ludahnya. "Bayangkan aja, aku punya impian besar tentang melukis. Aku pengen dong jadi pelukis besar, atau paling enggak jadi mangaka, yang dikenal banyak orang atau menginspirasi banyak orang. Tapi, tapi semua itu rasanya seperti kabut. Rasanya impossible banget tanpa dukungan dari keluarga. Ini keluarga aku sendiri, tapi kenapa enggak ada yang mendukung aku? Kenapa sih, seni selalu diremehkan orang?"
Bagas meraih tangan Via dan mengelusnya di atas meja. Lelaki itu akan berbicara tetapi disela oleh gadis di depannya.
"Jangan bilang sabar! Aku udah ratusan kali denger dari Kakek. Aku ... aku bukan manusia sempurna yang bisa sabar setiap saat. Aku juga bisa muak, Kak!"
Via mendesah kasar, benar-benar perasaan yang sangat berat.
"Aku tahu. Tapi, aku yakin semua ini ada tujuannya. Apa ... enggak sebaiknya kamu turuti saja apa kata papamu?"
Via menepis kasar tangan Bagas. "Jadi Kakak juga nggak dukung aku? Apa nasibku ditakdirkan untuk merana? Apa aku jadi orang yang gagal di masa depan? Ahhh, bikin gila!"
Via tiba-tiba berdiri dan melengos pergi karena mood-nya yang sedang jelek. Bagas memegangi kepalanya, stres. Tak ia sangka, ucapannya malah semakin menyakiti hati gadis itu.
Bagas segera mengejarnya. "Vi, tunggu Vi!"
Via berusaha melepaskannya tetapi masih dicengkeram erat oleh Bagas. "Udahlah Kak, kalau Kakak jauh-jauh datang ke sini cuma bikin aku berhenti melukis, jangan harap. Mending Kakak balik aja ke masa depan!"
Bagas melepaskan tangan Via. Gadis itu malah mematung, tertegun karena pria misterius itu malah melepaskannya. Via takut, jika Bagas benar-benar pergi karena ucapannya.
"Maaf. Aku enggak bermaksud gitu, Vi. Sungguh!" tandas Bagas dengan tulus.
Via masih bergeming.
"Kamu bukan orang yang gagal. Aku cuma bisa bilang ini. Karena itulah, kamu jangan menyerah dengan mimpimu."
Bagas mengulurkan tangannya. "Aku akan mendukungmu. Ayo kita buat nasibmu berubah menjadi orang yang luar biasa. Kamu pasti bisa melakukannya!"
Via terharu mendengarnya. Baru kali ini, hatinya bergetar ketika ada seseorang yang mendukung mimpinya, selain Kakek dan Nuri. Semangat dalam jiwanya pun membara. Tangannya menjabat tangan Bagas.
"Mohon bantuannya, Kak!"
Sebuah angin melewati keduanya. Ada garis-garis aneh di udara. Bahkan bertuliskan angka. -2. Tak ada yang menyadarinya, tak ada pula yang mengerti maksudnya. Sesuatu, telah mengguncang sebagian isi bumi. Terutama, sebuah ruang antara Via dan Bagas.
(。◕‿◕。)➜(。◕‿◕。)➜
Dipublikasikan 19 Juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro