Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06🕕Mata Panda

"Jangan-jangan bener, Kakak bohong selama ini."

-Via-

❤️

MATA panda. Via memandangi dirinya di depan cermin. Lagi-lagi gadis manja itu mendapati lingkaran hitam di bawah kelopak matanya. Setelah masalah perundungan geng Keza, sekarang masalah sang ayah yang tidak setuju mengenai hobinya. Melukis. Awalnya, Via memang memasuki klub itu karena Bara. Namun, dirinya juga menyukai kegiatan itu. Haruskah Via mengubur dalam-dalam mengenai hobi barunya itu? Haruskah dream catcher mengalahkannya?

Via menghela napas panjang. Kepalanya terasa sakit untuk memikirkan hal itu. Via segera berbenah, ingin cepat bertemu dengan Bagas. Gadis itu berharap segera mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Sehingga, dirinya bisa memutuskan lebih cepat dan akurat, apa yang harus dilakukannya.

Netra hitam Via memindai sekitar gerbang sekolah. Ia mencari ke sana kemari, tetapi sosok yang dicari tidak ditemukan juga. Via menjadi lesu seketika. "Kamu ke mana sih, Kak?"

"Uhuy! Nyariin pacar masa depan, nih!" goda Nuri yang baru datang, lantas merangkulnya. Gadis bibir tebal itu pun mendongak dan berdelusi di pagi hari. "Suami masa depanku masih menunggu di klinik. Tunggu aku ya, Om Dokter!"

"Ish! Halu mulu!" tepis Via sambil mengerucutkan bibirnya. "Aku 'kan mau nanya dan kamu sendiri yang nyuruh!"

"Iya, iya! Dasar tukang ngambek! Nanti pulang sekolah kita cari lagi, habis ini bel, nih!"

Kedua sahabat bagai kepompong itu pun masuk ke dalam sekolah. Meski berat, Via harus menunggunya lebih lama. Via berharap, dirinya bisa benar-benar bertemu dengan Bagas.

"Jadi, kamu pilih Kak Bagas atau Kak Bara?" celetuk Nuri sambil berjalan beriringan dengan sahabatnya.

"Hah?"

"Yeee. Eh, coba pikir! Kalau Kak Bagas itu pacar masa depanmu, artinya apa?"

"Hah?"

"Ish, lola!" Nuri mengusap wajah Via dengan kasar lalu berlari ke dalam kelasnya. Via mengejar sahabatnya, kesal. Namun, gadis kaya ini berpikir ulang mengenai perkataan gadis bersurai panjang itu. Jika memang Bagas adalah pacarnya di masa depan, artinya ia gagal mendapatkan cinta seorang Bara. Pandangan Via menerawang ke arah jendela, memandang Bara dengan kaos olahraganya. Gadis itu menimbang tentang perasaannya, haruskah ia merelakan Bara?

"Tapi, belum tentu juga pacarmu yang sekarang adalah Kak Bagas."

Via menoleh, mendapati Nuri yang mendekatkan wajahnya, ikut memandang sang idola. Dahinya berkerut.

Nuri melirik sekilas. "Kan Kak Bagas mengaku kalau dia pacarmu di masa depan. Artinya, di masa sekarang, banyak kemungkinan yang terjadi. Bisa saja, kamu memang pacaran sama dia versi sekarang, atau malah Kak Bara, atau orang lain, atau jomblo!"

"Hish! Jangan doain aku jomblo, dong!"

Nuri hanya tertawa, lantas menyiapkan buku untuk pelajaran pertama. Sedangkan, Via masih menatap Bara yang menyebarkan pesona manisnya. Tiba-tiba saja, Via membayangkan bahwa dirinya di masa kini berpacaran dengan Bara. Oleh karena itulah, Bagas jauh-jauh datang ke masa kini karena rasa cemburunya. Via memegangi pipinya yang sudah memerah, sebab membayangkan hal-hal yang aneh.

"Ih, bayangin hal mesum ya!" tukas Nuri melihat tingkah laku Via yang tidak wajar.

"Enak aja, emangnya aku Kak Danu? Dih!"

"Kali aja, 'kan? Enak ya, diperebutkan dua cogan?"

"Hehehehe." Via tertawa gila.

"Jangan lupa, satu lagi."

"Eh?"

Nuri melirik ke arah Railo yang masih setia mengawasi dua gadis cantik itu di bangku paling belakang. Bulu kuduk Via merinding melihatnya, seolah dirinya adalah penjahat yang diawasi polisi. Via segera menggelengkan kepalanya dengan cepat, hingga rambutnya bergoyang-goyang seperti kuda sedang berlari. "Enggak mau! Coret dari list!"

"Jahatnyaaaa, kena azab baru tahu!"

Via hanya menjulurkan lidahnya dan guru pun datang memasuki ruangan. Mereka segera menyiapkan buku dan kelas dimulai.

ヽ(。◕o◕。)ノ.

Bunga-bunga bermekaran dengan cepat, Via melihat seseorang yang sudah ditunggu sejak pagi tadi. Gadis ceria ini sempat pesimis jika Bagas tak lagi datang. Via segera berlari, tanpa menunggu Nuri yang berjalan dengan lambat.

"Kamu ke mana aja?" Sebuah pertanyaan dilontarkan begitu saja oleh Via, sebab sudah tak sabar.

"Maaf ya, aku sedikit sibuk."

"Ya udah aku maafin, tapi jawab pertanyaanku. Masa depanku nanti, apa aku masih melukis? Atau menggambar? Apa sih pekerjaanku di masa depan?"

Bagas meneguk salivanya, bibir terkunci rapat. Via semakin tak sabar menunggunya.

"Kenapa? Kenapa Kakak enggak jawab? Jangan-jangan bener, Kakak bohong selama ini. Jadi, enggak tahu 'kan masa depanku seperti apa?" tukas Via mulai mencurigai Bagas.

"Bukan seperti itu," sahut Bagas lalu melirik sesuatu. Via tertegun dengan lirikan mata lelaki dewasa itu. Lagi-lagi, sebuah tatapan panik atau takut akan sesuatu? Sebenarnya, apa yang dia lihat?

"Pertama, kita pergi dari sini!" ucap Bagas lantas menarik tangan Via dan berlari sekencang mungkin mengalahkan kuda yang sedang berjalan.

Dua insan itu menghentikan langkahnya di sebuah toko kacamata. Via heran dan takjub, tak pernah ia pikirkan akan berkencan di toko kacamata. Via menelengkan kepalanya, mencoba mengingat bahwa dirinya tidak mempunyai penyakit mata apa pun. Netra gelap Via masih normal, tidak rabun jauh apalagi dekat.

"Sore, Kak! Mau cari kacamata apa?" sambut si penjual cantik yang membuat Via sedikit minder padanya.

"Kacamata hitam, yang cocok untuk pasangan."

Pipi Via merona mendengar kata 'pasangan', rasanya tak sanggup untuk meneruskan perjalanan kencannya dengan pria asing yang menawan. Gadis penyuka makanan manis ini sedikit heran dengan hatinya, Bagas jelas-jelas orang asing, tetapi mengapa si hati merasa nyaman di dekatnya? Bahkan, aktor beken seperti Iqbal saja belum tentu hatinya mau merasakan perasaan yang sulit untuk diterjemahkan.

Tiba-tiba, Bagas sudah memasangkan sebuah kacamata hitam dengan bingkai merah muda di wajah Via.

"Nah, begini 'kan lebih baik dari pada mata panda."

"Eh?"

"Aku tahu, matamu bengkak. Maaf, aku belum bisa menjawabnya. Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu," ucap Bagas menyesal tak dapat membantu urusan Via yang sedang galau tentang mimpinya.

Via tersentuh dengan ketulusan itu. Matanya berkaca-kaca di balik sunglasses. Sebelum tumpah, Bagas segera membayar kacamata itu dan menggunakan kacamata pasangannya. Laki-laki itu sedikit berlaku konyol dengan kacamata barunya, bahkan tanpa menggunting label. Bagas melarang Via untuk memotongnya dan bersenang-senang sambil berjalan. Setidaknya, rasa malu telah tertutupi dengan pandangan gelap.

Mereka membeli cilok di pinggir jalan. Lantas, mereka menikmati jajanan asal Bandung itu sambil duduk di atas rumput.

"Kak, kamu beneran dari masa depan?" tanya Via membuka topik pembicaraan.

"Sudah kubuktikan 'kan dengan kejadian temen kamu yang pingsan?"

"Iya sih," jawab Via dengan lesu. Ia tak bisa memungkiri kejadian itu. Matanya beralih pada pakaian yang berbeda dikenakan oleh Bagas. Pria tinggi itu tampak lebih tampan ketika tidak tertutup tudung hitam lagi. Via bisa melihat rambutnya yang hitam dan jidatnya yang seksi. Namun, Via heran dengan pakaian training yang digunakan. Training merah yang menutupi lehernya.

"Kak, apa ini pakaian dari masa depan?" Via sungguh-sungguh penasaran.

Bagas melirik pakaianannya sendiri. "Heem," gumamnya.

"Emang, enggak gerah gitu? Kemarin-kemarin, Kakak pakai jaket hitam dan sekarang training. Kan panas, Kak?"

Bagas mengembangkan senyumnya. "Enggak kok, karena ada kamu yang mendinginkan aku."

Bukannya dingin, Via malah merasa kepanasan. Tangannya mengibas mencari kesegaran udara. "Aku malah kepanasan, Kak," gumamnya tak sanggup menatap mata Bagas.

Tiba-tiba, ada yang dingin di pipinya. Bagas menempelkan minuman kaleng dingin yang dibeli dari minimarket. "Sekarang, udah dingin?"

"Di-dingin, melting me softly, help meeeee!" teriak Via dalam hati, sedangkan lidahnya kelu dan hanya menatap sang kekasih masa depan.

"Via, jangan pernah lupakan aku. Karena aku tak akan pernah melupakanmu, sampai kapan pun. Aku berharap, cinta kita bisa menyatu selamanya. Seperti laptop dan keybord-nya."

ヽ(。◕o◕。)ノ.

"Jadi, kamu enggak dapat informasi apa-apa tentang masa depanmu?" tanya Nuri dengan antusias, setelah mendengarkan cerita dari sang sahabat.

Via mengerucutkan bibirnya. "Gagal total. Dasar cowok kebanyakan rahasia! Hufh!"

"Tapi, suka 'kan kencannya?" ucap Nuri yang memang gemar sekali menggoda sahaabatnya yang lajang dan mengakhiri statusnya.

Via hanya batuk pura-pura tersedak, sayang matanya beradu pandang dengan Railo yang berada di belakang. Via segera membalikkan tubuhnya dan melihat sahabatnya. Jauh lebih baik.

"Terus, sekarang gimana? Kamu bakal menyerah soal mimpimu?" tanya Nuri mengganti topik.

"Enggaklah!" sanggah Via sambil membetulkan ikatan kuncirnya yang tidak rapi.

"Eh? Tumben!"

"Sejujurnya, aku juga takut. Apalagi kamu tahu sendiri, keluargaku seperti apa. Aku juga enggak ingin melawan Papa, tapi ... aku masih ingin melukis, Nur!"

Nuri menghela napas panjang, merasa iba dengan nasib sahabat yang tidak seberuntung dirinya. "Terus, kalau ketahuan gimana?"

"Yah, jangan dong! Nanti, aku nggak bawa kanvasnya ke rumah."

"Ya udah, terserah kamu. Tapi, kamu harus mikirin konsekuensinya."

Via menggigit bibirnya, perasaan takut melakukan hal semacam ini. Namun, perasaan ingin meraih mimpi begitu besar. Entah kenapa, ia menikmatinya. Via menyengguk. "Aku tahu, jadi jaga rahasiaku yaaa!"

Nuri mendongakkan dagunya. "Hmmm, sekarang kamu ikut-ikut Kak Bagas gitu. Dasar cewek kebanyakan rahasia!"

"Ih, rahasiaku cuma satu, enggak banyak!"

Mereka berdua pun saling tertawa dan menjaga rahasia untuk mimpi Via. Jiwa Via terus terpanggil untuk melukis, meski hati terasa sakit saat keluarga sendiri tidak ada yang mendukungnya, kecuali si kakek.

Sepulang sekolah, Via pergi ke klub melukis. Ia mengambil sebuah kanvas baru. Hari itu, bukan jadwal klub. Namun, dirinya ingin melukis sesuatu. Tangannya gatal semenjak dimarahi oleh sang ayah.

"Via!"

Via menoleh mendapati panggilan seseorang. Matanya membulat, ketika Bara berdiri di hadapannya. "Lho, Kakak kok di sini?"

Bara menyengguk. "Aku janjian sama temenku di sini."

Via mengangguk dengan lambat, bibirnya mengulas senyum kecil. Meski hatinya sedang berbunga-bunga karena Bagas, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa ia masih menyukai idola tampan itu. Mungkin, ini yang namanya cinta pertama. Tak mudah untuk dilupakan.

Via berinisiatif untuk mendorong Bara dan mendudukkan di kursi dekat dengan kursinya. Gadis itu berharap, Bara akan menonton langsung dirinya yang sedang melukis. Walaupun ada perasaan grogi tentunya. "Sini, sini, Kak! Duduk sini, ada yang mau aku tunju-"

Bara menahan langkahnya dan menepis tangan Via. Via dibuat kaget oleh laki-laki itu.

"Kita memang sudah kenalan, tapi kamu masih junior aku. Hormatmu mana?"

Via tercengang dengan kalimat yang dilontarkan Bara. Via mengira, lelaki itu mudah untuk didekati. Gadis manja itu segera menunduk dan menyesal. "Ma-maaf, Kak. Maaf kalau aku kurang sopan."

"Ya sudah, lain kali jangan seperti itu! Kamu harus tahu, di mana batasan hubungan kita."

Via menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir tumpah. Telinganya terasa panas, entah kenapa hanya kalimat seperti ini saja sudah menusuk jantungnya. Via menjadi gadis yang sensitif.

Via pamit keluar ruangan, dirinya masih tak sanggup menghadapi kondisi seperti ini. Via hampir bertabrakan dengan Nuri yang baru datang. Sahabatnya telah berdiri beberapa saat di sana.

Nuri membisiki Via. "Jangan kamu masukkan hati. Kak Bara cuma masih belum kenal aja sama kamu. Semangat!"

Via hanya mengangguk dan tersenyum kecut. Bagaimanapun juga, mereka memang masih belum terlalu kenal. Hanya beberapa kali bercakap. Via yakin, Bara hanyalah sosok tsundere. Laki-laki pencinta basket itu pasti hanya judes di luarnya saja. Via kembali optimis, dan akan melakukan apa pun demi pujaan hatinya.

(。◕‿◕。)➜(。◕‿◕。)➜

Note:

~Tsundere = cowok cool, keras di luar, lembut di dalam

Dipublikasikan 12 Juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro