05🕔My Dream
"Aku tahu segalanya tentang kamu."
–Bagas–
💙
LANGIT berubah warna menjadi abu-abu, tepat ketika Via melontarkan pertanyaan mengenai identitas sebenarnya pemuda dua puluh tujuh tahun di hadapannya. Udara dingin berembus, membuat bulu kuduk Via maupun Nuri seketika merinding. Aura negatif tengah merengkuh setiap makhluk di sekolah itu. Mungkinkah hujan akan turun, atau alien yang lain akan turun? Via sama sekali tak mengerti dengan fenomena alam ini.
"Memangnya kamu enggak dengerin? Aku ini pacar masa depanmu," cakap Bagas sambil mencondongkan tubuhnya, mengulas senyum.
Wajah keduanya berdekatan, Via tidak bernapas. Jantungnya masih berdegup kencang, ingin teriak tidak jelas rasanya.
Bagas menegakkan tubuh dan melangkahkan kakinya maju, hanya berjarak kurang satu meter dari Via. Netra gelapnya memandangi gadis imut yang masih menjadi patung dadakan. Lagi. Bagas mencondongkan tubuhnya. Kini mulutnya sejajar dengan telinga Via. Ia pun berbisik. "Aku tahu segalanya tentang kamu."
Seketika kaki Via tak bisa lagi menahan beban yang hanya empat puluh dua kilogram. Beruntung, Nuri segera menangkap sahabatnya sebelum itu terjadi. Ia segera membantu Via berdiri kembali dengan normal.
Via memegang sebelah kepalanya, bukan migren, hanya berusaha mencerna kalimat yang diucapkan pria bertudung itu. Setelah beberapa detik, otaknya mulai bisa berpikir dengan jernih. Ia mengungkapkan pertanyaan yang muncul dari dalam benaknya.
"Kalau begitu, Kakak tahu tentang masa depanku? Seperti apa aku di sana? Apa aku membahagiakanmu? Apa saja yang terjadi?" cecarnya tiba-tiba ingin tahu tentang dirinya dan Bagas di masa depan.
Bagas tak menjawab, hanya melukiskan senyum di wajahnya.
Via menghela napas kesal. Logikanya secara cepat mengganti topik lain. "Begini saja. Kalau Kakak memang dari masa depan, Kakak siapa di masa kini? Apa kita satu kota? Satu sekolah? Atau satu kelas?"
Bagas masih terdiam dalam senyuman. Via hanya mengelus batinnya. Ini orang model iklan kosmetik apa, ya? Dari tadi tebar pesona, mau bikin aku jadi lava cake apa? Oh Tuhan, kenapa banyak cowok ganteng di sekitarku?
Via hendak meluncurkan beberapa pertanyaan lagi, tetapi mendadak kaget dengan tingkah laku pria di hadapannya. Bola mata Bagas tampak berlarian ke sana kemari, tampak panik akan sesuatu. Entah apa yang dilihatnya, mungkin ada pocong di sore hari.
"Maaf, aku lupa ada urusan. Besok, ayo kita pergi!" kata Bagas tak lupa tersenyum, lalu menghilang begitu saja dalam sepersekian detik. Via tercengang dengan seorang pria yang dari pagi menunggunya, tetapi kini meninggalkannya begitu saja.
"Itu cowok mikir apaan, sih? Enggak ngerti, sumpah!" gerutu Via sambil menatap sahabat yang sama bingungnya. Sungguh, pria yang misterius. Mungkinkah karena dia dari masa depan, sehingga otakku enggak sampai?
Keduanya masih berdiri di tempat. Kepala Via rasanya hampir gila hanya karena seorang pria asing. Pikirannya masih melayang-layang, banyak pertanyaan yang ingin disampaikan pada Bagas. Banyak hal yang ingin ia ketahui tentang pria matang itu.
"Eh, eh, fansmu, tuh!" bisik Nuri sambil mencolek tangan Via, lalu menunjuk ke arah belakang. Via menoleh dan mendapati Railo tengah mengawasinya. Dirinya merinding dan malah kabur ke arah mobil yang telah terparkir di depan gerbang sekolah.
ヽ(。◕o◕。)ノ.
Via tak bisa berhenti memikirkan sosok pria misterius itu. Namun, dirinya sedikit bersyukur, karena pria aneh itu, bebannya mengenai tekanan dari Keza mulai berkurang. Fokusnya kini sudah teralihkan pada pria tampan yang matang. Seperti saat ini, Via disambut hangat ketika akan memasuki sekolahnya. Terasa ada bunga-bunga pink bersilauan di sekitarnya.
"Selamat pagi, Sayang! Semoga harimu berjalan dengan indah," ucap Bagas sambil memberi Via sekotak bekal makanan yang dibungkus kain motif kotak biru muda.
"Eh? Buat aku?" tanya Via tak percaya.
Bagas mengangguk dan meraih tangan Via untuk menerimanya. "Aku membuatnya sendiri, sesekali makan makanan rumah. Jangan jajan bakso dan mie terus, enggak baik buat pencernaanmu."
Via merasa menjadi lelehan gunung merapi. Please, freeze me softly!
"Buat aku aja, deh!" Tiba-tiba Nuri datang dan menyambar bekal Via lalu lari ke dalam.
"Nuri! Dasar anak cicak! Mana bekalku!" pekik Via lantas hendak mengejar sahabatnya ke dalam, tetapi dicekal oleh Bagas. Via menoleh bingung.
"Kali ini, aku akan benar-benar mengajakmu ke suatu tempat. Aku tunggu sepulang sekolah."
Bagas melepaskan tangan Via dan menyuruh pujaan hatinya masuk. Ia melambaikan tangan dan memberinya semangat. Via pun masuk ke dalam dengan canggung. Dirinya, sungguh tak tahu apakah ini hal benar atau tidak. Berkencan dengan orang asing? Aku pasti sudah gila!
ヽ(。◕o◕。)ノ.
Sudah dua hari, Bagas mengajak Via berkencan. Walau hanya sekadar berkencan ke taman Merak Hijau dan jembatan Merak Pelangi. Mereka hanya berbincang ala kadarnya yang tidak membahas soal masa depan atau masa kini. Kedua insan hanya menikmati panorama dan membicarakan hal-hal ringan. Masih dua hari, tetapi sudah membuat Via seperti orang gila.
Via berkali-kali meyakinkan dirinya, bahwa gadis itu hanya sekadar berkencan. Tak ada perasaan lebih yang spesial. Bukan seperti perasaannya terhadap Bara. Bukan. Rasa yang berbeda, sulit untuk diungkapkan melalui kata-kata. Hanya hati ini dan Tuhan yang tahu. Anggap saja teman baru!
"Vi, nanti amankan lukisanmu!" celetuk Nuri membuyarkan lamunan Via.
"Hih, enggak tahu apa aku lagi ngapain?" Via melirik tajam pada sahabatnya.
"Halu," jawab Nuri cepat seraya mengibaskan tangannya. "Beneran ini. Kamu inget 'kan apa yang dilakukan gengnya Kak Keza? Daripada rusak lagi, bawa pulang aja."
Via tertegun dan memikirkan ucapan Nuri. "Oh, gitu ya?"
Nuri melirik langit-langit sekilas. "Jaga-jaga sih. Emangnya mau ditaruh rumahku?"
"Boleh?"
"Janganlah! Tau sendiri rumahku sempit."
Via tersenyum kecut. Namun, ia juga harus memikirkan perkataan sahabatnya. Memang benar, Nuri bukanlah orang yang berada. Tidak seperti dirinya. Mereka sudah bagaikan langit dan bumi dalam status sosial. Meski begitu, tak jadi penghalang persahabatan mereka. Via menyukai Nuri apa adanya, yang selalu mengerti dan mau menerima segala curahan hatinya. Pun, peduli padanya. Benar-benar sosok sahabat sejati.
Sepulang sekolah, Via tak melihat Bagas. Gadis imut itu mengira Bagas sudah pulang. Memang dirinya pulang sedikit terlambat, karena mengambil lukisan miliknya terlebih dulu. Apalagi kunci ruangan dibawa oleh kakak tingkat yang sedang ke toilet cukup lama. Untungnya, supir pribadi Via masih setia menunggu dalam kendaraan ber-AC dan nyaman itu.
Sesampainya di rumah, Via terkejut melihat ayahnya sudah berada di rumah. Tak biasanya, masih jam empat sore pria pemilik perusahaan keripik jagung gepeng nomor satu di Indonesia itu sudah pulang. Biasanya baru malam hari pulang, bahkan sampai larut malam jika banyak rapat atau menemui klien.
"Papa ... udah pulang?" tanya Via sambil memasuki ruang tengah dan berjalan menuju ke arah ayahnya yang sibuk menata berkas.
Pria tinggi dengan kumis tipis itu menoleh dan membelalakkan matanya. Tangannya berhenti melakukan kegiatannya. "Buat apa kamu bawa itu?"
Via memandang ke bawah, ke arah lukisan yang tengah dalam genggamannya. "Oh, ini Pa. Aku ikut klub melukis."
Sang ayah segera berdiri dan merebut lukisan itu. Via tertegun dengan tindakan ayahnya.
"Sudah Papa bilang, 'kan? Jangan melakukan hal enggak berguna seperti ini!" bentak sang ayah membuat semua penghuni rumah berkumpul. Air dalam mata Via memberontak untuk keluar, tetapi ditahannya.
"Pa, aku ingin melukis. Bukan sesuatu yang enggak berguna, kok."
"Terus kamu mau jadi apa? Pelukis? Kamu enggak dengerin Papa? Kamu harus jadi pengacara!"
Bibir Via mulai bergetar, ingin rasanya melawan perkataan ayahnya, tetapi tertahan. Gadis pemilik bibir mungil itu harus tahu di mana batasan seorang anak yang berdebat dengan orang tuanya. Via takut, jika dirinya dicap sebagai anak durhaka.
Pupil Via melirik ke arah kanan, di mana ibunya sedang berdiri di sana. Diam, sama sekali tak membantu putrinya. Via merasa seperti orang asing, dan terkadang meragukan apakah dirinya itu benar-benar anak kandung ibunya atau bukan.
"Papa enggak mau tahu! Pokoknya, kamu harus berhenti melukis dan fokus belajar saja!" tegas sang ayah membuat Via menumpahkan air mata yang telah dibendungnya selama beberapa detik.
"Pa ...."
Sang ayah kembali bekerja dan tidak peduli apa yang terjadi pada putrinya. Via hanya berlari ke kamarnya dan menangis di atas kasur.
"Via ...."
Via menoleh sekilas dan melanjutkan tangisannya. Si kakek memasuki kamar Via dan mengelus puncak kepala gadis itu. "Sabar ya, ada Kakek di sini."
"Kakeeek! Huwaaa!"
Via hanya bermanja dan menangis dalam dekapan kakeknya. Seorang pria tua renta yang masih memiliki kasih sayang berlebih, memberi kehangatan pada Via dalam rumah yang cukup dingin. Gadis ini berharap, keluarganya bisa mendukung impiannya suatu saat nanti, walau sepertinya terlihat tidak mungkin. Impossible.
Setelah menata hatinya, Via menelpon Nuri dan menceritakan apa yang terjadi padanya. Agar bebannya bisa lebih ringan. Terkadang, gadis kaya ini merasa iri pada Nuri. Walaupun keluarga Nuri tidak sekaya dirinya, tetapi keluarganya sangat mendukung Nuri. Rasa hangat yang lebih terasa, seperti tak ada masalah apa pun. Daripada dirinya yang memiliki segalanya, tetapi seolah tak memiliki siapa pun.
"Aku punya saran, nih!" ucap Nuri dari seberang sana.
"Apa?" tanya Via sambil menegakkan tubuhnya.
"Gimana kalau besok, kamu tanya deh si Kak Bagas. Kan, dia dari masa depan, pasti tau dong, kamu masih melukis atau enggak nanti."
"Bener juga idemu! Tumben briliant!"
"Yeee, aku emang pinter."
"Pamer, dazar!"
Via menutup teleponnya. Gadis bermata indah kembali memikirkan Bagas. Secara tidak sadar, dirinya seperti ketergantungan Bagas. Bukan obat. Nafsu serakahnya menjalar dalam jiwa. Via ingin tahu bagaimana tentang masa depannya. Juga, siapa Bagas sebenarnya? Pria misterius itu berhasil mengusik rasa kepo Via yang telah tertidur lama.
(。◕‿◕。)➜(。◕‿◕。)➜
Dipublikasikan 12 Juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro