Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 5

Bisakah memberitahuku bagaimana cara untuk menyembuhkan luka di jiwa?
Terasa menghujam, tetapi tak tampak oleh netra
Pun tak dapat diukur seberapa dalam dan  parah luka yang menganga di sana

"Dasar, anak tidak berguna!"

Kalimat itu terus terngiang di telinga Aksara. Membuatnya berjalan tanpa tujuan, hanya mengikuti ke mana langkahnya mengarah.

"Apa gue benar-benar enggak berguna? Jika memang seperti itu, kenapa Tuhan masih memberi kesempatan hidup sampai sekarang," lirih Aksara.

Langkah membawa Aksara ke taman kota. Ia berhenti dan duduk di bangku taman seorang diri. Pandangannya hampa menatap lalu-lalang manusia yang tengah menikmati senja bersama keluarganya. Canda dan tawa mereka mengusik relung hati, bahkan ia sudah lupa kapan terakhir kali berada di situasi yang sama.

Aksara tersenyum sendu, hatinya seketika nelangsa mengingat bagaimana kehidupannya sekarang yang jauh dari kata bahagia.

"Seandainya saja kalian masih ada, hidup Aksa enggak akan sehancur sekarang," lirihnya.

Suara keributan membuat Aksara menoleh, di seberang jalan sana ada seorang pemuda yang tengah dikeroyok oleh beberapa preman. Awalnya mengabaikan, tetapi karena tak ada seorang pun yang berani melerai, ia akhirnya menghampiri.

"Lo semua banci banget sih, beraninya keroyokan." Suara Aksara membuat mereka menghentikan aksinya.

"Guys, ada pahlawan kesiangan. Hajar dia!" Seorang pemuda bertato naga menginteruksi.

Aksara yakin bahwa pemuda itu sang ketua kelompok, terbukti rekan-rekannya segera mematuhi. Mereka mendekati Aksa yang tampak santai. 
Awalnya, ia melawan dengan sekuat tenaga. Namun, ketika ucapan Prima kembali berdengung di telinga. Ia berhenti melawan dan memilih  menikmati rasa sakit yang menghujam fisiknya.

Pukulan demi pukulan dilayangkan ke tubuh remaja itu, wajah, dada dan perut menjadi sasaran empuk. Namun, ia sama sekali tak melawan,   membiarkan tubuhnya dijadikan bulan-bulanan. Rasa sakit di tubuhnya tak pernah berarti, dibanding rasa sakit yang mendera batinnya.

"Dasar anak tidak berguna!"

Suara Prima kembali terdengar bak kaset rusak yang terus mengulang   bagian yang sama. 

Gue anak yang enggak berguna. Ayah pasti lebih seneng kalau gue mati dan enggak ngerepotin lagi," batinnya.

Orang-orang di sekitarnya mulai berteriak histeris melihat remaja itu terus dipukuli. Mereka yang tadinya hanya sekadar menonton, mendekat dan mengancam akan melapor ke polisi seandainya mereka tidak pergi.  Ancaman itu berhasil, terbukti mereka segera berlalu pergi.

Aksara dibantu oleh beberapa pengunjung untuk duduk di trotoar, begitupun dengan pemuda sebelumnya. Luka memar di wajah Aksa semakin banyak, dengan sudut bibir yang berdarah. Namun, raut wajahnya sama sekali tak menampakkan ekspresi kesakitan.

"Kalian berdua baik-baik saja?" 

Aksara hanya mengangguk, begitupun dengan pemuda yang lainnya. Beberapa pengunjung yang tadinya berkerumun telah pergi satu per satu meninggalkan keduanya dalam keheningan.

"Gue Keandra, makasih karena sudah membantu. Lo beneran enggak apa-apa?" Keandra menoleh ke arah   Aksara yang menunduk.

" Aksara. Gue baik-baik saja. Jadi, lo enggak perlu khawatir." Aksara mendongak.

Keandra mengamati wajah Aksa yang babak belur, terkejut dengan penampakan wajahnya yang penuh memar. Sekaligus merasa heran karena ia sama sekali tak menampakkan ekspresi apa pun.

"Lo beneran enggak apa-apa? Di dekat sini ada klinik, gue antar ke sana, ya? Luka-luka lo lebih parah dari gue."  tawar Keandra.

"Luka-luka ini enggak sesakit luka di hati gue. Paling dua–tiga hari juga sembuh, paling lama seminggu." Aksara berujar santai.

Keandra terpaku, hatinya berdesir mendengar penyataan Aksara.  Namun, tak bertanya lebih karena masih belum tahu bagaimana karakter remaja yang baru ditemuinya itu. Dia memilih berdiri, tetapi tubuhnya limbung ke belakang. Beruntung karena Aksara dengan sigap menahan.

"Gue antar ke klinik, lo sepertinya lebih butuh ke sana. Orang tua lo pasti bakalan khawatir kalau tahu anaknya babak belur seperti ini." Aksara memapah Keandra.

Jarak antara klinik dengan taman kota tidak terlalu jauh, hanya sekitar 300 m. Jadi, keduanya hanya berjalan untuk bisa sampai ke sana. Sesampainya di sana, Keandra segera diberi perawatan. Begitu pun dengan Aksara, walaupun sempat menolak.

Dahi Keandra dijahit sebanyak enam jahitan, sedangkan Aksara mendapat masing-masing lima  jahitan di  pelipis kanan,  dan dagu. Usai dari klinik, keduanya memilih  kembali ke taman kota untuk sekadar berbincang.

"Orang-orang tadi itu siapa, Bang?" Aksara memecah keheningan yang sempat tercipta.

"Anak buahnya Bang Rojak, rentenir di kompleks tempat Abang tinggal."

"Kenapa mereka mukulin Abang? Bang Andra punya utang dan enggak mau bayar?" Aksara menebak.

Keandra menunduk, tebakan Aksara benar. Wajahnya tampak murung, sorot kesedihan tampak kentara di manik hitam yang terbingkai kaca mata. Helaan napas terdengar dari bibir tipisnya.

"Almarhum Bapak yang punya utang, dulu uangnya dipakai judi dan main wanita. Setelah dia meninggal, Abang yang harus tanggung jawab."  

Aksara dapat melihat kobaran emosi dari tangannya yang mengepal kuat. Tatapan matanya pun tak lagi sendu, tetapi penuh dengan kilatan amarah. Ia menepuk bahu Keandra, berharap bisa meredakan amarah pemuda itu.

" Gue sadar, sebejat apa pun dia tetap orang tua Abang. Darahnya mengalir dalam tubuh ini, hal yang membuat gue enggak bisa membenci. Tanpa dia gue enggak akan ada di dunia ini." Keandra mengusap wajahnya kasar pun kepalan tangannya mengendur.

Aksara menyimak tanpa berkomentar, membiarkan Keandra meluapkan perasaannya. Ia sendiri tidak tahu harus menanggapi bagaimana karena tak pernah ada di posisi itu.

"Bang, kenapa lo enggak pergi jauh aja? Lagian Abang enggak pernah pakai uang itu, 'kan?"

"Bisa saja Abang pergi jauh kalau mau, tapi enggak akan melakukan itu. Utang tetaplah utang yang harus  dibayar. Cukup Bapak yang tidak bertanggung jawab, jangan sampai gue melakukan kesalahan yang sama. Tanggung jawabnya berat, gue enggak akan kuat." Keandra tersenyum tipis.

"Abang juga masih ada tanggung jawab untuk merawat Kakek, satu-satunya keluarga yang masih ada," lanjutnya.

Sejenak Aksara lupa dengan masalah yang sedang dihadapi, ia turut prihatin dengan apa yang dialami oleh Keandra. Pemuda itu mengingatkannya pada almarhum Cakrawala—sang kakak. Tatapan dan senyum keduanya benar-benar terlihat sama.

Andai tak menyaksikan sendiri jasad kakaknya yang terkubur tanah, ia pasti mengira bahwa pemuda yang bersamanya itu adalah Cakra terlepas dari wajah mereka yang berbeda. Ia memperhatikan Keandra dengan saksama dari ujung kepala hingga kaki dan membuat pemuda itu mengernyit heran. Ditatap seperti itu, membuatnya salah tingkah sendiri.

Apa mungkin Mas Cakra dan Bang Andra adalah orang yang sama? batin Aksara

"Ada apa?" Keandra menaikkan alisnya.

Suara Keandra mengalihkan perhatian Aksara, ia menggeleng berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran konyol yang merasuki otak. Ia tersenyum untuk menutupi rasa gugup yang tiba-tiba menghampiri.

Mas Cakra udah meninggal, Sa! Dia enggak mungkin bangkit dari kubur, batinnya lagi.

One Day One Chapter
Day 5
Kulon Progo, 2 Oktober 2020



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro