Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 3

"Setiap manusia diciptakan dengan berbagai karakter agar saling melengkapi satu sama lain."

"Maafkan Ayah karena belum bisa menjadi orang tua yang baik untukmu. Ayah janji mulai sekarang akan selalu ada buat Aksa." Prima mengelus puncak kepala putranya.

Aksara mengangguk, cukup senang  berpikir bahwa tak akan kesepian lagi. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk bersikap lebih baik, toh semua sikap menyebalkan yang dibuat hanya sekadar untuk mencari perhatian dari Prima.

Suara ponsel yang berdering nyaring mengalihkan perhatian Prima, kemudian sedikit menjauh untuk menjawab panggilan itu. Aksara tidak tahu apa yang dibicarakan oleh mereka. Namun, raut wajah sang ayah tampak sumringah.

"Aksa, Ayah harus segera kembali ke kantor karena ada klien yang datang dari Singapura. Mereka meminta Ayah sendiri yang datang ke sana kalau ingin mereka menandatangani kontrak kerja sama. Ayah akan segera pulang begitu urusannya selesai." Prima mengecup puncak kepala sang putra sebelum berlalu pergi.

Aksara hanya diam tak menjawab, membiarkan sang ayah pergi untuk mengurus pekerjaannya. Rasa kecewa menguasai hati dan jiwa, mendistorsi hingga benar-benar hancur. Janji yang baru saja ia dengar hanya nyatanya hanya sebatas fatamorgana.

"Untuk apa berjanji kalau akhirnya enggak bisa menepati? Aku hanya sebatas diberi harapan, kemudian dijatuhkan dari ketinggian," lirih Aksara.

Aksara memilih untuk memejamkan mata, berharap bisa segera terlelap dan melupakan semua rasa kecewanya setelah terbangun nanti. Ia masih berharap saat terbangun nanti sang ayah telah ada di sampingnya untuk memenuhi janji.

Remaja berlesung pipi itu kembali terbangun saat jam dinding di samping lemari menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi sang ayah tak ada di sampingnya. Ia beranjak dan duduk di sofa yang ada di balkon kamar sembari melirik ke arah garasi.  Mobil milik Prima belum terparkir di sana, yang berarti ayahnya itu masih belum pulang. 

Remaja itu menatap jalanan kompleks tempatnya tinggal, berharap mobil Prima akan terlihat. Namun, hingga satu jam menunggu, ayahnya masih belum kembali ke rumah. Aksara kembali masuk ke kamar karena hawa dingin terasa mendekap erat dan memilih kembali bergelung di bawah selimut.

"Katanya cuma ke kantor sebentar, tapi sampai sekarang masih belum pulang juga. Kalau memang sibuk, kenapa harus menjanjikan pulang cepat untuk menemani gue?" gerutu Aksara.

*

***

Aksara dan Davi sedang ada di belakang sekolah, dengan Aksa yang tengah sibuk mengisap rokok. Kebiasaan ketika ia sedang ada masalah. Baginya rokok adalah obat penenang jiwa paling mujarab, sedangkan Davi memilih menyibukkan diri dengan ponselnya. Dia bukan seorang perokok aktif seperti sang sahabat.

Aksara menyodorkan sebungkus rokok pada Davi, tetapi dia justru mengangkat kedua tangannya sembari memejamkan mata. Membuat sang sahabat mengernyit heran.

"A'udzu billahi minasy syaitonir-"

"Lo kira gue setan!" Aksara menggeplak kepala Davi.

"Nah itu nyadar, siapa lagi yang ngajak ke hal merugikan kalau bukan setan." Davi terkekeh.

Aksara diam tak menjawab, hal yang membuat Davi merasa bersalah karena menyinggung perasaan sang sahabat. Namun, senyum yang terukir di bibir gelap sahabatnya, membuat perasaan itu menjadi lega.

"Masih kepikiran masalah kemarin, Sa?" Manik cokelatnya menatap sendu Aksara.

Aksara mengangguk tanpa menoleh, sibuk mengisap rokok yang masih terselip rapi di bibir. Dalam hitungan menit ia bahkan sudah menghabiskan setengah bungkus rokok. Davi yang berada di sampingnya hanya bisa menghela napas karena tak tahu harus bersikap bagaimana.

"Merokok enggak bisa menyelesaikan masalah lo, Sa! Jadi, penyakit iya." Davi mengambil rokok itu dari genggaman Aksara dan melemparnya asal.

Aksara hanya menatap sekilas, kemudian kembali menikmati rokok yang baru saja dinyalakan dan menyembulkan asapnya ke udara. Aroma asap rokok bahkan tercium dari seragam putih yang dikenakan sang sahabat.

"Seenggaknya gue punya pelampiasan  sebagai penyalur rasa sakit," jawab Aksara santai.

"Pelampiasan sih boleh saja, tapi enggak dengan merusak tubuh lo juga. Jelas-jelas dibungkusnya tertulis 'merokok membunuhmu' tetap aja dilakukan. Kamu gila, Sa!" Davi menggeleng tak percaya.

Aksara terkekeh, hal yang membuat Davi semakin yakin bahwa sahabatnya yang satu itu memang kurang waras. Namun, dia telah berjanji untuk tetap berada di samping sang sahabat. Satu hal yang diyakini, orang seperti Aksara butuh teman untuk sekadar mendengarkan keluh-kesahnya.

"Lo lebih gila karena sahabatan sama orang gila." Kali ini Aksara tertawa lebar.

"Siapa tahu bisa lebih waras karena sahabatan sama gue." Davi percaya diri.

"Semoga aja enggak ikutan gila, tapi kalaupun iya bagus sih. Jadi, kalau masuk RSJ, gue tetap punya sahabat." Kali ini Aksara terbahak.

Suara tawa Aksara, nyatanya justru mengundang petaka karena membawa langkah Pak Dandi semakin mendekat. Guru ketertiban itu mendapati muridnya tengah merokok di belakang sekolah.

"Aksara, Davi, kalian ngapain ada di sini?" Suara Pak Dandi membuat keduanya tersentak kaget.

"Bapak enggak lihat, kami lagi duduk santai. Lagi pula ini, kan, jam istirahat. Jadi, bebas dong kami mau ngapain saja," jawab Aksara santai.

Davi menyenggol lengan Aksara, bisa-bisanya bersikap sesantai itu padahal sebatang rokok masih terselip rapi di bibir. Namun, remaja bermata bulat itu bersikap acuh tak acuh. Toh, ini bukan kali pertama baginya harus berhadapan dengan guru ketertiban dan berakhir masuk ruang BK.

"Kamu tahu, kan, kalau di sini melarang siswa untuk merokok? Apalagi di area sekolah karena bisa menjadi contoh buruk bagi yang lain," ucap Pak Dandi.

"Peraturan ada untuk dilanggar, kan, Pak? Lagi pula saya beli rokok tanpa minta uang ke Bapak."

Aksara membuang rokok ke lantai dan menginjak bara api yang masih menyala. Ia berlalu pergi tanpa peduli pada Pak Dandi yang masih berbicara panjang lebar.

"Aksara! Kamu saya hukum membersihkan ruang kelas selama seminggu penuh!" Titah Pak Dandi.

Aksara hanya mengacungkan jempolnya ke atas tanpa menoleh, itu bukan masalah berat baginya. Apalagi ada Davi yang pasti akan siap untuk membantunya.

"Kalau punya anak model Aksara bisa mati muda saya, ngeyelnya enggak ada tandingan." Pak Dandi mengelus dada.

"Orang seperti Aksa itu diciptakan untuk menguji kesabaran orang di sekitarnya. Jadi, Bapak sebaiknya lebih banyak sabar karena orang sabar disayang sama Tuhan. Saya permisi kembali ke kelas, Pak." Davi turut berlalu pergi.

Pak Dandi mengernyitkan dahi, memikirkan kata yang baru saja diucapkan oleh Davi. Remaja berkulit putih itu memang benar, Aksara diciptakan sebagai ujian bagi orang di sekitarnya.

Tak ingin semakin pusing, lelaki bertubuh tambun dan berambut cepak itu memilih kembali ke ruangannya. Namun, segera berbalik ketika melihat bungkus rokok yang tergeletak di lantai dan di dalamnya masih tersisa enam batang.

"Lumayan, dapat rokok gratis. Rezeki memang tidak ke mana. Buah kesabaran menghadapi si Aksara." Pak Dandi memungut rokok itu dan memasukannya ke saku kemeja sebelum kembali ke ruang guru.

Sementara itu, Aksara dan Davi pergi ke perpustakaan sekolah karena kebetulan guru yang mengampu pelajaran terakhir tidak datang. Alhasil, masing-masing muridnya mencari kegiatan sendiri. Mereka memilih perpustakaan karena hanya tempat itu yang tidak berisik.

Ruangan itu tampak sepi, hanya ada seorang penjaga perpus di dekat pintu masuk. Keduanya mencari tempat yang sekiranya aman dan duduk bersandar di dinding sudut ruangan. Kedatangan mereka bukan untuk mencari ataupun membaca buku, tetapi untuk numpang tidur. Lebih tepatnya, Aksara yang tidur dan Davi yang berjaga apabila ada guru yang melihat keberadaan mereka.

"Lo kalau malam ngapain saja, Sa? Tiap hari ngantuk mulu perasaan," ucap Davi tanpa menoleh.

Namun, yang ditanya tak menanggapi. Saat Davi menoleh, nyatanya Aksara telah tertidur. Dia menggeleng pelan melihat sang sahabat. Padahal belum ada lima menit bersandar, tetapi ia bahkan telah terlelap dalam buaian mimpi.

"Lo emang spesies langka, Sa! Enggak ada duanya. Jangan ada deh, makin hancur dunia ini kalau ada banyak orang model lo begini." Davi terkekeh.

Kalau enggak ada lo, dunia ini pasti damai banget. Lebih tepatnya sepi dan hampa. Gue harap suatu saat akan menemukan kebahagiaan yang lo cari selama ini, lanjutnya dalam hati.

One Day One Chapter
Day 3
Kulon Progo, 30 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro