
Bagian 25
"Sesakit dan sepahit apa pun kisah di masa lalu, percayalah bahwa waktu akan mampu menyembuhkannya. Seberapa lama waktu yang dibutuhkan, tergantung dari masing-masing orang karena setiap dari mereka memiliki ketahanan mental yang berbeda-beda."
~Aksara Bagus Pramudya~
Sejak perjanjian itu dibuat, Aksara berubah menjadi lebih rajin dan giat dalam belajar. Tak pernah lagi telat ataupun membuat keributan. Semua itu dilakukan untuk memenuhi syarat yang diajukan oleh Keandra.
Ponsel yang biasanya tak lepas dari genggaman lebih sering teronggok di atas meja belajarnya dalam keadaan mati karena kehabisan daya. Ia lebih suka bergelung dengan buku-buku pelajaran, pena, serta buku tugas miliknya. Begitupun juga ketika tengah berada di sekolah, lebih memilih menghabiskan jam istirihatnya untuk belajar bersama Davi di perpustakaan sekolah.
"Sa, gue senang lo jadi rajin belajar sekarang." Davi tersenyum sembari melirik Aksara yang tampak fokus mengerjakan latihan soal.
"Seperti yang pernah lo bilang kalau memikirkan masa depan itu penting. Dulu gue emang enggak punya tujuan untuk dicapai di masa depan, tapi sekarang sudah menemukannya. Makasih Dav karena lo pernah mengingatkan gue." Aksara tersenyum manis.
Davi balas tersenyum, turut bahagia dengan perubahan sang sahabat yang cukup signifikan. Dia kembali menemukan sosok Aksara yang ambisius dan penuh semangat seperti beberapa tahun yang lalu sebelum kehilangan Cakrawala dan ibunya.
"Kalau masa depan enggak kita persiapkan dari sekarang, mau kapan lagi? Apalagi kita ini, kan, calon pemimpin negeri ini. Kalau pemuda-pemudinya saja tak peduli dengan masa depannya sendiri, lantas apa yang akan terjadi pada Indonesia beberapa tahun ke depan?"
Aksara mengangguk, membenarkan ucapan Davi. Peran pemuda sangat berpengaruh dalam kemajuan suatu bangsa karena mereka merupakan pilar-pilar kokoh suatu bangsa.
"Gue doakan lo terpilih sebagai presiden tahun 2045 nanti." Aksara mengacungkan kedua jempol tangannya.
Davi hanya terkekeh sembari menggeleng pelan, tak tahu harus mengaminkan atau tidak. Dia tak pernah bercita-cita menjadi presiden karena tanggung jawab yang tak main-main.
*****
Waktu berlalu dengan cepat, tak terasa lima bulan telah berlalu. Ujian semester pun telah selasai dilaksanakan. Semua murid SMA Pelita, kini menikmati kebebasan pasca ujian. Begitupun dengan Aksara, Davi serta Reynald. Ketiganya tengah berada di perpustakaan sekolah, sekadar untuk numpang ngadem.
Di sana, Aksara menceritakan tentang perjanjiannya dengan Keandra. Selama ini, ia memang tak pernah membicarakan soal itu pada siapa pun. Namun, kali ini memilih untuk buka suara karena hatinya yang dilanda gelisah akibat memikirkan perjanjian itu. Ia takut jika syarat itu tak bisa dipenuhi.
"Bang Andra bilang kaya gitu?" Davi serta Reynald menyahut bersamaan.
Tentu saja, keduanya terkejut dengan syarat yang diajukan oleh pemuda itu. Pasalnya, mendapat nilai sempurna di lima mata pelajaran bukan perkara mudah. Apalagi selama ini Aksara selalu mencetak rekor dengan nilai terbawah.
"Gue enggak yakin bisa memenuhi itu semua, justru takut kalau hasilnya nanti akan mengecewakan." Aksara menunduk dalam.
"Sa, kalau lo aja meragukan kemampuan diri sendiri? Lantas siapa yang percaya kalau lo bakal berhasil kali ini?" Davi menepuk pelan bahu sang sahabat.
Aksara mendongak, kemudian tersenyum hingga lesung pipinya tercetak jelas. Ia merasa begitu beruntung karena memiliki sahabat seperti Davi yang selalu tahu bagaimana cara untuk membuatnya kembali percaya diri.
"Davi benar, Sa. Lo harus yakin kalau hasilnya sesuai dengan apa yang diharapkan sebelumnya." Reynald turut menyemangati.
"Terima kasih, kalian berdua emang sahabat gue paling terbaik." Aksara merangkul bahu kedua sahabatnya.
"Oh iya, Dav. Masalah orang tua lo gimana? Mereka masih maksa biar lo milih salah satu dari mereka?" Aksara menoleh ke arah Davi.
Davi menggeleng sembari tersenyum, menbuat Aksara serta Reynald bernapas lega.
"Mama enggak jadi balik ke Shanghai dan tetap tinggal di sama gue, sedangkan Papa mengajak keluarga barunya untuk pindah. Enggak jauh, hanya berjarak sekitar lima rumah dari rumah gue." Davi tampak sumringah.
"Gue turut senang dengarnya. Jadi, lo enggak harus berpisah dari mereka." Reynald menyahut.
"Apalagi gue, seneng pakai banget. Ternyata gue selama ini salah dalam menilai mereka, apa pun yang dulu dilakukan karena sama-sama enggak mau jauh dari gue. Caranya emang salah sih, tapi sekarang gue sadar kalau mereka benar-benar sayang."
Aksara dan Reynald mengangguk, sedikit–banyak mereka juga turut belajar dari kisah Davi. Seburuk apa pun sikap yang ditunjukkan oleh orang tua, semua itu dilakukan demi kebaikan anak-anaknya. Setiap orang tua memiliki pola asuh yang berbeda, ada yang lembut dalam mendidik pun ada pula yang bersikap kasar dan tegas.
Terlepas dari cara yang digunakan, semua memiliki tujuan yang sama, yakni demi kebaikan anak-anaknya. Tak ada satu pun orang tua yang menghendaki keburukan bagi putra-putrinya.
"Gue juga salah sangka sama Ayah, selama ini dia selalu memperhatikan dengan cara yang berbeda. Dia emang enggak selalu ada, tetapi tetap melindungi dan merawat gue dengan caranya sendiri." Aksara menimpali.
Aksara dan Davi telah menyadari bahwa orang tua mereka bukan satu-satunya orang yang bersalah atas semua hal yang telah terjadi. Keduanya pun turut bersalah karena tak pernah bertanya maupun mencoba memahami, tetapi hanya menilai dari sudut pandang mereka sendiri.
*****
Semua wali murid X IPS telah hadir di sekolah untuk mengambil laporan belajar selama setengah tahun terakhir. Wajah-wajah itu tampak tegang bahkan sejak acara dimulai. Tak terkecuali, Prima. Duda satu anak itu cukup gelisah karena penasaran dengan hasil yang dicapai oleh si bungsu.
Sesi demi sesi telah dilaksanakan, kini tiba saat pengumuman tiga peraih nilai terbaik di semeseter genap ini.
"Baiklah, saya akan mengumumkan tiga murid peraih nilai tertinggi di semester ini. Di peringkat ketiga ada Naufal Darriyu Abimanyu, selanjutnya Davian Haris Pradipta di peringkat kedua. Kira-kira siapa yang menjadi terbaik pertama?"
Aksara yang berdiri di luar menutup telinga dengan kedua tangan, tak berniat mendengarkan. Toh, ia yakin bahwa itu bukan dirinya. Mungkin, dia juga gagal dalam memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Keandra.
"Jujur saya benar-benar tidak menyangka bahwa murid ini akan menjadi peraih nilai tertinggi karena semester sebelumnya sama sekali tak menonjolkan diri. Namun, di semester ini dia berjuang cukup keras. Hasilnya, tentu berada di luar dugaan kami, terutama saya sebagai wali kelasnya."
"Peringkat satu diraih oleh Aksara Bagus Pramudya dengan enam mata pelajaran berhasil meraih nilai sempurna. Beri tepuk tangan untuk Aksara," lanjutnya.
Semua mata memandang Aksara dengan takjub disertai dengan tepuk tangan yang cukup meriah, tetapi remaja berlesung pipi itu masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia sama sekali tak mendengar ucapan sang wali kelas karena larut dalam lamunannya.
"Sa, selamat!" Davi dan Reynald menubruk tubuh kurus Aksara hingga membuatnya terkejut.
"Kalian ngagetin aja sih." Aksara mendengkus kesal.
"Sa, lo berhasil. Lo dapat peringkat pertama dengan enam mata pelajaran memperoleh nilai sempurna." Davi menepuk-nepuk punggung sahabatnya.
Aksara justru cengo mendengar ucapan Davi, masih tak mampu percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Gue, peringkat pertama? Enam mata pelajaran dengan nilai sempurna?" Aksara menunjuk dirinya sendiri.
Setelah kesadarannya terkumpul, ia bersujud syukur atas pencapaiannya. Usahanya selama ini tak sia-sia, yang terpenting baginya adalah bisa menepati janji pada Keandra.
"Mas Cakra, Bunda, Aksa berhasil. Seandainya kalian masih ada di sini, kebahagiaan Aksa pasti terasa lebih sempurna," bisiknya sembari mengusap air mata yang membanjiri wajah.
Prima tersenyum sembari menangis haru dari tempat duduknya, tak menyangka bahwa si bungsu bisa meraih semua itu. Namun, dalam hati bersyukur menyaksikan keberhasilan putranya.
Terima kasih, Ya Rabb karena telah Engkau tunaikan harapan putraku sehingga aku bisa melihat pancaran kebahagiaan dari kedalaman matanya, batin Prima
Prima maju ke depan untuk mengambil rapor putranya karena Aksara berada di presensi pertama. Dia segera berlalu keluar dan mendekap dan menciumi wajah sang putra. Orang tua mana yang tidak bangga ketika anaknya berhasil meraih predikat terbaik, semua orang selalu mendambakan itu.
"Terima kasih, Sa. Maafkan Ayah karena selama ini selalu bersikap buruk dan meragukan kemampuanmu." Prima mengecup ubun-ubun putranya sekali lagi.
"Yah, semua yang berlalu biarlah berlalu karena kita tak lagi berada di masa lalu. Aksa juga minta maaf karena telah mengecewakan Ayah selama ini."
Ayah dan anak itu kembali berpelukan, mengundang haru orang-orang yang menyaksikannya. Pancaran kebahagian jelas terlihat di kedalaman mata keduanya. Perhatian Aksara teralih ketika melihat sosok Keandra yang berdiri tak jauh darinya. Ia pun melepaskan dekapan sang ayah dan berlalu menghampiri pemuda itu.
"Bang, Aksa berhasil." Aksara menghambur ke pelukan Keandra.
"Abang tahu lo bisa, Sa. Abang benar-benar bangga punya adik angkat model lo gini." Keandra terkekeh.
"Adik angkat?" Aksara mengernyit heran.
Remaja itu menatap Keandra dan Prima bergantian, tetapi tak ada yang menjelaskan lebih lanjut. Keandra pun mengulurkan sebuah amplop pada Aksara.
"Hadiah atas keberhasilan lo." Keandra tersenyum.
Aksara membaca isi amplop itu dengan teliti, senyumnya mengembang sempurna saat tahu isinya—surat adopsi milik Keandra. Namun, ekspresinya berubah kesal saat membaca tanggal pengesahan yang tertulis di sana.
"15 Juli 2019? Jadi, sejak awal Abang udah setuju? Tahu gitu, gue enggak bakal setuju sama syarat Abang." Aksara mendengkus.
"Abang tahu, makanya enggak memberitahu. Gimana rasanya menjadi murid teladan sekaligus berprestasi dadakan? Seru, enggak?" Keandra terkekeh.
Aksara memanyunkan bibir sehingga mengundang tawa dari beberapa teman serta wali mereka, terutama Davi. Remaja berkaca mata itu sangat tahu bagaimana perjuangan sahabatnya untuk meraih itu semua dalam waktu yang cukup singkat.
"Bagaimanapun perjuanganmu dulu, terbayar bukan dengan hasil yang lo terima hari ini? Semester depan, lo harus dapat nilai sempurna di semua mata pelajaran!"
"Ogah! Bang Andra aja yang sekolah dan ngejar itu semua, gue nyerah." Aksara mengangkat kedua tangannya ke udara.
Meskipun begitu, Aksara bersyukur dalam hati. Tanpa syarat yang diajukan oleh Keandra, ia yakin bahwa tak akan berjuang sekeras itu untuk mewujudkan. Kali ini, remaja berlesung pipi itu benar-benar tersenyum tulus bukan hanya sekadar kepalsuan seperti sebelumnya.
Aksara telah berhasil berdamai dengan semua yang telah terjadi, luka-luka itu perlahan disembuhkan oleh waktu. Memang belum sepenuhnya, tetapi yakin bahwa semua akan benar-benar terlupakan.
~Tamat~
One Day One Chapter
#TantanganWritora
Day 30
Kulon Progo, 28 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro