Bagian 23
"Pertemuan itu nyatanya bukan hanya sebuah kebetulan, tetapi semua memang telah dirancang oleh Sang Pemilik Semesta. Pada akhirnya hanya waktu yang mampu menjawab setiap tanya yang ada bahkan mengganti air mata duka menjadi bahagia."
~Aksara Bagus Pramudya~
Usai salat asar, jenazah Kakek Ferdi dibawa ke pemakaman. Keandra, Aksara, Davi, serta Prima turut dalam rombongan iring-iringan mobil pengantar jenazah. Davi serta Prima tahu tentang acara pemakaman Kakek Ferdi dari Aksara, keduanya segera bergegas begitu mendapat kabar dari remaja berlesung pipi itu .
Aksara, Davi, Kendra serta Prima berada di mobil yang sama dengan duda satu anak itu yang berperan sebagai sopir. Aksara dan Davi memilih duduk di jok belakang untuk menamani Keandra yang masih berduka, keduanya mengapit pemuda itu.
Isakan pemuda itu masih belum mereda, wajahnya pun sembab dengan bibir yang memucat. Meskipun air matanya tak lagi terlihat, tetapi duka di kedalaman matanya tampak begitu kentara.
Aksara serta Davi hanya mampu menatap Keandra dengan iba karena tak bisa melakukan apa pun untuk meringankan beban di hatinya. Jadi, mereka memelih bungkam untuk sementara waktu karena sadar bahwa sebanyak apa pun kata mutiara ataupun motivasi tak akan mampu mengembalikan keceriaan di wajah pemuda itu.
Prima pun turut terdiam, tak tahu harus bersikap bagaimana. Dia hanya mampu manatap ketiga pemuda yang duduk di jok belakang mobilnya dari spion. Ketiganya tampak tertunduk lesu, terutama Keandra.
Setengah jam kemudian mereka telah sampai TPU Flamboyan, sesi demi sesi pemakaman telah terlaksana dengan baik. Kini, jasad Kakek Ferdi telah tertutup sempurna oleh bentala. Di atasnya tertancap nisan yang terbuat dari kayu jati.
Semua pelayat telah kembali ke rumah masing-masing. Hanya menyisakan Aksara, Davi serta Prima yang masih setia menemani pemuda berwajah oval itu. Ketiganya tak tega meninggalkan Keandra seorang diri, sementara dia masih dalam keadaan berduka.
"Kek, semoga Kakek bahagia di sana. Sampaikan salam rinduku untuk Ayah dan Ibu. Sampaikan juga maaf dan rasa terima kasihku pada Cakrawala," lirih Keandra.
Keandra mengusap nisan kayu itu, kemudian berganti ke dua nisan lainnya yang berdekatan. Kedua makam itu adalah makam orang tuanya. Di sisi kanan, makam ayahnya yang meninggal sepuluh tahun lalu karena kecelakaan beruntun di Jalan Malioboro. Di sebelahnya, makam ibunya yang meninggal lima tahun lalu karena tertabrak mobil di depan RSUP Dr. Sardjito.
"Mungkin sekarang kalian telah berkumpul bersama, bercanda, tertawa seperti bertahun-tahun yang lalu. Namun, di sini Andra hanya sendirian tanpa memiliki siapa pun lagi." Keandra memejamkan mata.
Aksara, Davi, serta Prima tak kuasa menahan air mata mereka ketika mendengar kata demi kata yang terucap dari lisan Keandra. Mereka dikejutkan dengan kedatangan seorang lelaki yang kira-kira seumuran dengan Prima. Lelaki itu beruluk salam, kemudian turut berjongkok di samping Keandra.
"Andra, ikhlaskan kepergian Kakek Ferdi. Beliau sudah tenang dan bahagia dengan kehidupan barunya."
Keandra menoleh dan mendapati Dokter Sakti telah berada di sisinya, tanpa aba-aba dia memeluk lelaki itu cukup erat. Menumpahkan kembali air mata yang sempat mengering, bersembunyi di dada bidang lelaki bertubuh kekar itu.
"Om, Kakek pergi ninggalin Andra. Sama seperti Ayah dan Ibu, mereka enggak sayang sama Andra lagi." Keandra kembali terisak.
"Ndra, sebagai manusia kita hanya bisa menerima dan menjalani semua takdir-Nya. Cepat atau lambat, semua yang bernyawa akan mati. Hanya tinggal menunggu giliran kematian itu datang menjemput."
"Om tahu, kamu pemuda yang kuat dan hebat. Jadi, kamu pasti bisa melewati semua ini dengan baik," lanjut Dokter Sakti.
Dokter Sakti memapah Keandra untuk berdiri, dia berbalik dan tersenyum canggung pada Prima. Lelaki berusia 36 tahun itu masih mengenali Prima dan Aksara sebagai wali dari Cakrawala.
"Ada yang ingin saya bicarakan, tetapi tidak di sini."
Mereka mengangguk dan mengikuti mobil Dokter Sakti hingga sampai kembali di rumah Keandra. Prima, Keandra dan Dokter Sakti duduk berhadapan. Dengan Keandra yang berada di sisi lelaki berwajah bulat itu. Sementara, Aksara dan Davi memilih duduk di lantai beralaskan tikar.
"Saya Sakti, kita pernah bertemu di RSUP. Dr. Sardjito lima tahun yang lalu ketika putra sulung Anda meninggal karena kecelakaan."
Prima hanya mengangguk karena sama sekali tak mengingat kejadian itu, lebih tepatnya tak ingin kembali mengingat momen menyakitkan itu. Aksara, tertegun. Ia sudah bisa menduga tentang apa yang akan lelaki itu bahas pada ayahnya, sedangkan Davi memilih menyimak.
Dokter Sakti tiba-tiba berlutut di hadapan Prima, hal yang membuat Aksara, Davi, terlebih Keandra terkejut. Lelaki berambut hitam kecoklatan itu menunduk dalam.
"Saya ingin meminta maaf atas kejadian lima tahun yang lalu karena telah lancang mengambil mata Cakrawala untuk didonorkan pada Keandra tanpa izin dari kalian sebagai keluarganya. Atas nama pribadi, Dokter Clara serta Kakek Ferdi saya benar-benar minta maaf."
Prima mengepalkan tangannya kuat, ia bangkit dan melayangkan pukulan ke arah lelaki di hadapannya, tetapi tangannya berhasil ditahan oleh si bungsu. Remaja 15 tahun itu menggeleng pelan dengan tatapan mengiba, memberi kode pada sang ayah untuk duduk. Setelah ayahnya kembali duduk, ia melangkah mendekati Dokter Sakti.
"Om, jujur kami kecewa dan marah mendengar pengakuan itu. Namun, aku tak lagi terkejut karena Bang Andra telah lebih dulu menjelaskan semuanya."
"Semua itu telah lama berlalu dan aku sudah mengikhlaskan kejadian itu, apalagi tahu bahwa salah satu bagian dari Mas Cakra masih tetap utuh hingga sekarang. Semua yang telah biarlah berlalu, kita tak lagi hidup di sana. Jadi, mari mulai lupakan semua kejadian di hari itu." Aksara menyentuh pundak Dokter Sakti.
Dokter Sakti mendongak, dia bangkit dan memeluk Aksara dengan erat. Hatinya merasa lega karena tak lagi terbebani dengan perasaan bersalah atas kejadian itu, sedangkan Prima tersenyum dalam tunduknya. Tak menyangka bahwa si bungsu telah tumbuh dan belajar begitu banyak.
"Terima kasih karena mau memaafkan kesalahan kami."
Prima mendekati Keandra yang bergeming, mengangkat dagunya hingga tatapan mereka bertemu dalam satu garis lurus. Dia memeluk pemuda itu erat dan menangis di bahu lebarnya.
"Pantas saja tatapanmu terasa tak asing karena mata itu memang milik Cakrawala. Sedari awal pertemuan kita, Om merasa ada benang merah yang menghubungkan kita. Sekarang Om sudah menemukan jawabannya, kamu adalah pemilik mata si sulung."
Davi hanya terpaku di tempatnya menyaksikan dan mendengar semua hal yang telah terjadi. Cukup terkesima dengan rentetan takdir yang mengikat Keandra dan keluarga Pramudya. Dia tak akan pernah percaya bahwa kisah itu benar-benar ada, jika tak menyaksikan dengan matanya sendiri. Kisah itu layaknya cerita dalam novel-novel yang sering dibacanya di perpustakaan sekolah.
Aksara dan Dokter Sakti meleaskan pelukannya, keduanya beralih menatap Prima dan keandra. Aura kebahagiaan jelas terpancar dari mata keduanya karena apa yang ditakutkan tak benar-benar terjadi.
"Saya sebenarnya sangat takut untuk mengakui semua ini, tetapi tak mau terus terjebak dalam rasa bersalah berkepanjangan. sampai harus mengundurkan diri dari rumah sakit karena merasa tak pantas bergelar sebagai dokter." Dokter Sakti menerawang jauh.
"Sekarang saya benar-benar bersyukur karena berhasil lepas dari rasa bersalah itu. Nyatanya, semua ketakutan yang tersimpan selama ini tak terbukti," lanjut Dokter Sakti.
Aksara tersenyum hingga lesung pipinya tercetak jelas, bahagia karena sang ayah mau memaafkan kesalahan Dokter Sakti dan yang terpenting bisa menerima kenyataan bahwa Keandra adalah pemilik mata Cakrawala.
Mas Cakra, Bunda, hari ini Aksa benar-benar telah tumbuh menjadi dewasa. Semua yang sebelumnya tampak buruk, ternyata begitu indah ketika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, batinnya.
One Day One Chapter
Day 23
Kulon Progo, 20 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro