Bagian 18
"Kalian boleh menilaiku sesuka hati, tetapi satu hal yang harus diketahui. Kalian tak pernah benar-benar tahu hal apa saja yang telah kulewati, dengar dan lihat hingga membuatku bersikap seperti sekarang. Semua sikap yang kutunjukkan karena sebuah alasan yang tak perlu kalian ketahui."
~Aksara Bagus Pramudya~
Keandra meminta izin untuk pulang lebih awal karena mengkhawatirkan Aksara. Ada hal yang ingin dia bicarakan pada remaja itu mengenai sang ayah. Pemuda itu dapat merasakan seberapa besar cinta Prima pada Aksara setelah pertemuannya di kafe tadi.
Saat sampai di rumah, dia melihat Aksara tengah merenung di beranda. Langkahnya dipercepat, dia turut duduk di samping remaja berlesung pipi itu. Cukup lama mereka terjebak dalam keheningan hingga Keandra mengawali pembicaraan malam itu.
"Sa, lo pernah nanya enggak sama Om Prima tentang perasaannya?"
Aksara menoleh, keningnya mengernyit heran karena tak paham arah pembicaraan pemuda itu.
"Asal lo tahu, selama ini dia juga menderita. Terpuruk karena kehilangan kakak dan nyokap lo, tapi enggak pernah sekalipun menunjukkan itu. Abang yakin dia jauh lebih terluka karena kepergian nyokap lo yang telah membersamai selama puluhan tahun."
Keandra melirik Aksara dengan ekor mata, remaja itu mendongak menatap gemintang yang bertaburan di angkasa. Sorot matanya tampak sendu, tetapi ia sama sekali tak berkomentar apa pun.
"Lo memang kehilangan sosok ibu. Namun, bokap lo kehilangan lebih banyak. Sosok istri, penasihat, sahabat, dokter, perawat, koki dan mungkin masih banyak lagi. Selama ini lo menuntut agar Om Prima memperhatikan, tetapi apa lo pernah sekali saja memperhatikan dia?"
Aksara tetap memilih membisu, tetapi mendengarkan dengan baik. Ia merenungi setiap kata yang diucapkan oleh pemuda beralis tipis itu dan membenarkan setiap pernyataannya dalam hati.
"Sekarang bokap lo dipaksa berperan ganda, sebagai ayah sekaligus ibu. Seorang ayah yang terbiasa dengan sikap tegasnya, dipaksa belajar menjadi lemah lembut dan penuh pengertian. Menjadi tulang punggung sekaligus menggantikan peran nyokap lo, itu bukan hal yang mudah. Sebaiknya lo menghargai itu semua, Sa." Keandra menepuk bahu Aksara pelan.
Aksara tersenyum sendu, hatinya mengiakan. Namun, logikanya berusaha menyangkal. Bukankah, memang sudah menjadi kewajiban sang ayah sebagai orang tua tunggal untuk melakukan itu semua? Ia memilih bangkit dan berlalu masuk.
"Saat menghampiri ke kafe tadi, dia dalam kondisi sakit. Demi bisa ketemu sama anaknya, Om Prima rela mengabaikan kondisinya sendiri. Buka mata hati lo, Sa! Gue yakin hati lo bisa merasakan itu."
Aksara terpaku, sekilas memang menyaksikan wajah pucat sang ayah. Namun, egonya tak mau mengalah.
"Saat gue sakit, Ayah enggak pernah ada. Dia sibuk kerja tanpa peduli kalau gue butuh perhatian, meskipun hanya secuil. Jadi, impas, 'kan? Biar dia tahu kalau sakit sendirian itu menyedihkan!" Aksara melanjutkan langkah yang tertunda.
Keandra berpikir bahwa Aksara akan kembali ke rumah ketika mengetahui sang ayah tengah sakit, tetapi ternyata dugaannya salah besar.
Sa, Abang hanya tidak ingin lo menyesal suatu hari nanti karena mengabaikan Om Prima. Cukup Abang yang hidup dalam penyesalan karena merasa benar hingga berani menyakiti hati Bunda, batin Keandra.
Ingatan tentang kejadian lima tahun silam kembali terputar di otaknya. Penyesalan itu masih ada hingga sekarang, tanpa berkurang sedikit pun. Justru semakin hari, bertambah besar hingga menimbulkan sesak tak terkira di dadanya.
"Perban di matamu akan segera dibuka, semoga kamu benar-benar bisa melihat lagi.
Keandra tersenyum senang, penantiannya selama bertahun-tahun akhirnya akan segera terwujud. Dia mengikuti seluruh intruksi dokter yang menanganinya.
"Bun, aku bisa melihat lagi. Kean bisa lihat wajah cantik Bunda lagi." Keandra mendekati sang ibu dan memeluknya erat.
Wanita berambut sebahu itu tersenyum menyaksikan kebahagiaan putra tunggalnya. Setelah menunggu sekian lama untuk mendapat donor mata, akhirnya dia bisa menemukannya. Namun, di sisi lain juga merasa bersalah karena melakukan semua itu tanpa persetujuan dari pihak keluarga pendonor.
"Bun, siapa yang sudah mendonorkan matanya untuk Kean? Aku ingin bertemu dia dan berterimakasih." Keandra menatap manik cokelat sang ibu.
Raina terdiam, wanita yang juga berprofesi sebagai dokter spesialis mata itu hanya menunduk tanpa menjawab pertanyaan putranya.
"Om Sakti, siapa yang sudah menjadi pendonor untukku? Aku harus mengucapkan terima kasih padanya." Keandra mengayunkan lengan rekan kerja bundanya itu, meminta penjelasan.
"Dia adalah pasien kecelakaan yang meninggal kemarin." Dokter Sakti buka suara setelah lama terdiam.
"Pasien meninggal? Apa itu artinya kalian ...."
"Keandra, semua ini Bunda lakukan untuk kebaikanmu. Bunda hanya ingin memberikan yang terbaik yang Bunda miliki untukmu." Raina menggenggam tangan putranya.
"Aku lebih baik buta selamanya daripada harus mendapat donor dengan cara kotor seperti ini. Bun, kembalikan kedua mataku ini pada pemiliknya. Kembalikan, Bun! Kembalikan!" Keandra membentak.
Raina dan Dokter Sakti berupaya untuk menenangkan remaja enam belas tahun itu, tetapi tak berhasil. Dia berlari keluar, mengabaikan orang-orang yang terus memanggil namanya.
Langkahnya sampai di tepi jalan raya, tetapi orang-orang itu masih tak lelah mengejar. Dia pun berlari menuju seberang sana, nahas sebuah mobil melesat cepat menuju ke arahnya. Keandra merasakan tubuhnya di dorong dari belakang dan berakhir jatuh di tepi jalan.
Ketika menoleh, dia melihat seorang perempuan dengan jas putih kebanggaannya tergeletak di tengah jalan dengan noda darah yang membasahi pakaiannya. Secepat kilat, dia berlari dan menghampiri.
"Bunda, jangan tinggalkan Kean. Hanya Bunda yang aku punya."
"Ma-afkan Bun-da yang mem-buatmu ke-cewa. Ma-af ...."
Keandra mengusap air mata yang mengalir membasahi wajah, dengan sebelah tangannya meremas ujung baju hingga kusut. Kebiasaannya ketika dihadapkan dengan situasi yang tak ingin diingat.
"Tatapanmu mirip dengan mendiang putra saya yang meninggal."
Suara Prima kembali terngiang di telinga, hal yang membuatnya berpikir keras untuk memecahkan teka-teki itu.
"Mas Cakra meninggal karena kecelakaan."
Kali ini suara Aksara yang masuk ke indera pendengarannya. Kedua suara itu terdengar saling bersahutan, membuat tubuh pemuda itu lemas seketika.
"Apa mungkin pendonor itu adalah Cakrawala?" lirihnya.
Keandra memilih masuk dan duduk di ruang tamu. Hanya dia sendirian karena pintu kamar Aksara telah tertutup rapat begitupun dengan kamar sang kakek. Otaknya berusaha mengingat kembali kejadian hari itu di rumah sakit. Namun, sama sekali tak dapat mengingat apa pun.
"Besok gue harus datang ke sana dan menanyakan pada Om Sakti tentang identitas pendonor, lima tahun yang lalu."
Keandra beranjak dan masuk ke kamar, tubuh lelahnya sudah minta untuk diistirahatkan. Dia membaringkan tubuh di kasur lantai tipis. Meskipun berkali-kali menguap, tetap saja kedua matanya tak mau segera terpejam.
Jika pendonor itu benar-benar Cakrawala, gue harus berterimakasih sekaligus meminta maaf atas kesalahan Bunda dan Dokter Sakti, batin Keandra.
Aksara sejak tadi pun hanya bolak-balik membalikkan badan karena rasa kantuk masih enggan menghampiri. Semua pernyataan Keandra tadi sedikit mengusik batin.
"Apa sikap gue keterlaluan? Enggak salah, kan, kalau seorang anak menuntut hak dari orang tuanya?"
Aksara menggeleng, merasa bahwa sikapnya adalah hal yang wajar. Semua anak pasti menginginkan perhatian dari orang tuanya, bukan? Meskipun itu hanya secuil saja, tetapi selama ini ia merasa bahwa sang ayah terlalu acuh tak acuh padanya.
Pernah enggak sih merasa bahwa orang tua kalian enggak peduli?
Kalau pernah, biasanya cara apa yang bisa digunakan untuk melupakan?
One Day One Chapter
Day 18
Kulon Progo, 15 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro