Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 17

"Sahabat terbaik adalah mereka yang tak pernah jemu mengingatkan ketika sahabatnya bersalah. Tetap menggengam tangan, meskipun seluruh dunia pergi dan membenci. Dia yang selalu ada di sisi untuk mendengar seluruh kesah, pun meraih tangan ketika kau berada di titik terendah."

~Aksara Bagus Pramudya~

Seperti saran dari Alia, Prima memutuskan untuk kembali ke rumah. Namun, dengan menggunakan jasa taksi online karena tubuhnya yang sedang tidak fit. Tak ingin mengambil risiko yang lebih besar, seandainya nekad mengemudikan mobil seorang diri.

Sesampainya di rumah, lelaki itu membaringkan tubuhnya di sofa. Tubuhnya benar-benar tak mau lagi diajak bekerja sama. Kepalanya pun terasa pening, pun dengan ulu hatinya yang perih serta mual yang cukup mengganggu.

Mbok Nah yang melihat kondisi Prima segera menelepon Dokter Rama, hanya dia yang terlintas di benaknya. Beliau meminta agar Rama segera datang ke rumah karena majikannya telah tak sadarkan diri.

Satu jam kemudian, Rama tiba di kediaman Pramudya. Rumah dua lantai itu tampak asri dengan berbagai jenis tanaman hias memenuhi halaman depan. Mulai dari anggrek, kaktus, Geranium, lavender hingga bunga matahari tampak tengah bermekaran.

Rama kembali melangkah dan menekan bel hingga tak lama kemudian seorang wanita paruh baya dengan daster batiknya muncul dari balik pintu. Tubuhnya pendek dengan badan yang cukup berisi, pun rambut yang digelung ke atas.

"Dokter Rama, ya? Silakan masuk!" Mbok Nah mempersilakan tamunya untuk masuk.

Wanita paruh baya itu membawa Rama ke ruang tamu, di sana Prima tampak terbaring lemah dengan wajah yang pucat. 

Dokter Rama memindahkan Prima ke kamar dengan bantuan Mbok Nah.  Kemudian beralih mengecek kondisi sang sahabat dan menanyakan gejala apa saja yang dialami oleh sahabatnya itu.

"Mbok, tolong buatkan bubur untuk Prima. Sementara ini biarkan saya yang menjaga dia di sini, lagi pula hari ini shift di rumah sakit juga sudah berakhir. Ini resep yang harus ditebus di apotek." Rama menyodorkan selembar kertas pada Mbok Nah.

"Baik, Dok. Simbok permisi ke belakang dulu, titip Tuan Prima sebentar." Mbok Nah berlalu pergi.

Rama mengiakan, netranya beralih memperhatikan Prima yang terbaring di hadapannya. Pipinya tampak lebih tirus dibanding saat pertemuan mereka terakhir kali, wajah pucat dengan kantung mata yang kentara, pun lingkaran hitamnya terlihat mengerikan.

"Lo udah mirip mayat hidup, Bro!" Rama tersenyum sendu.

Setengah jam kemudian, duda satu anak itu membuka matanya. Rama yang sedari tadi duduk di sisi ranjang segera menyodorkan secangkir air putih hangat pada lelaki itu.

"Minum dulu, Bro!"

Prima dibantu oleh Rama duduk bersandar pada bantal yang ditinggikan. Kedua mataya tampak sayu dan enggan untuk terbuka.

"Kurang asupan nutrisi, stres berlebihan, maag akut, darah rendah, kurang lengkap apa lagi coba penyakit yang bersarang di tubuh lo?" Ketus Rama.

Prima hanya mampu tersenyum kecil, tak bisa menggeplak sang sahabat  seperti beberapa tahun silam. Mengingat tubuhnya yang terasa lemas.

"Makasih, Ram. Lo udah nyempetin waktu buat datang ke sini, tapi enggak perlu bilang kalau gue penyakitan juga. Gue udah sadar tanpa lo bilang."

"Gue enggak bilang gitu, lo aja yang sensi." Rama terkekeh.

"Secara enggak langsung lo bilang kalau gue penyakitan, bego!" Prima mendengkus kesal.

Rama justru tertawa lebar, memang kenyataannya seperti itu, 'kan? Sakit seperti ini saja, bibirnya fasih banget mengumpat.

"Lo harus diinfus dah, badan lemas banget gitu. Gue bawa ke rumah sakit aja gimana?" 

"Enggak usah, istirahat bentar juga sembuh. Gue cuma merindukan kasih sayang doang, dibelai dikit langsung seger!" Prima terkekeh.

Rama tak menanggapi karena fokus memasang jarum infus di tangan sang sahabat. Dia khawatir jika Prima akan dehidrasi jika tidak diinfus, untung dia selalu menyediakan infus di tas kerjanya.

"Anak lo masih belum balik?" Rama memecah keheningan.

Prima menggeleng pelan, wajahnya semakin muram. Membuat pria berhidung pesek itu menyesali pertanyaannya. Salahkan saja dirinya yang terlalu kepo tentang keberadaan Aksara.

"Gue yakin cepat atau lambat dia bakalan balik ke rumah ini. Sementara ini, biarkan dia menenangkan diri di luar sana. Satu hal yang harus lo ingat, jangan pernah menghancurkan hatinya dengan kata-kata." Rama mengingatkan.

Mendengar itu Prima justru menangis, membuat Rama terkejut. Dia mengusap lengan sang sahabat pelan berharap bisa memberinya sedikit ketenangan.

"Menangislah sepuasnya, jika itu bisa membuatmu merasa lebih lega."

"Gue salah karena menghancurkan hati Aksara dengan kata-kata menyakitkan. Gue takut anak itu enggak mau kembali lagi, cuma dia satu-satunya harta yang tak ternilai harganya," lirih Prima dengan suara parau.

Rama menghela napas, tak tahu harus berkomentar bagaimana. Takut jika itu hanya akan semakin membuat Prima tenggelam dalam rasa bersalahnya. Jadi, yang dilakukan hanyalah menjadi pendengar yang baik bagi duda satu anak itu.

Ketukan pintu membuatnya keduanya menoleh, Mbok Nah masuk dengan membawa semangkuk bubur dan segelas air putih pun dengan beberapa butir obat yang telah diresepkan oleh Rama. 

"Lo makan dulu, apa perlu gue suapin?" Rama menyodorkan sendok berisi bubur pada Prima.

"Gue enggak ada nafsu buat makan."

"Apa perlu Simbok yang suapin, Tuan? Mas Aksa kalau enggak mau makan, Simbok juga yang nyuapin." Mbok Nah mengambil alih bubur itu.

Prima menggeleng cepat dan meraih bubur itu dari tangan Mbok Nah, memilih makan dengan tangannya sendiri. Membuat wanita paruh baya itu dan Rama terkekeh melihat tingkah lelaki berusia 39 tahun itu.

Setelah makan dan minum obat, Prima kembali tidur karena efek obat yang memang menyebabkan kantuk. Begitu memastikan sang sahabat telah terlelap, Rama pun memilih undur diri.

Suara telepon yang berdering membuat Prima segera meraih ponselnya. Dia menarik napas panjang begitu melihat nama yang tertera di layar ponselnya yang retak itu. Digesernya tombol 'jawab' dengan sekali sentuh.

"Bos, kami berhasil menemukan kebaradaan putra Anda. Saat ini dia berada di Kafe Cendana bersama teman sekelasnya yang bernama Davi." 

"Pastikan dia tidak pergi ke mana pun sebelum saya tiba di sana. Saya ke sana sekarang." Prima menutup panggilannya sepihak dan bergegas pergi.

Ditariknya infus yang melekat di pergelangan tangan kirinya, kemudian meraih jaket tebal yang tergantung di almari. Ia pun meraih plester untuk menutupi luka bwkas infus di tangannya.  Kemudian berlalu ke kamar mandi untuk sekadar mencuci wajah agar terlihat lebih segar, meski rona pucat itu masih mendominasi.

Dia keluar dengan tergesa, tak peduli pada tubuhnya yang menuntut hak untuk diistirahatkan. Hal yang terpenting baginya adalah bisa menemui Aksara.

"Pak, antarkan ke Kafe Cendana," titah Prima pada Pak Doni.

Lelaki berambut ikal itu segera membukakan pintu untuk majikannya, kemudian berlalu menuju jok kemudi. Atas permintaan Prima, mobil CUV itu melaju cepat menembus jalanan.

Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai di Kafe Cendana. Dia bergegas masuk untuk mencari keberadaan si bungsu yang melarikan diri dari rumah. Prima tersenyum senang ketika netranya menagkap sosok Aksara yang tenah duduk di meja paling pojok. Dia pun bergegas menghampiri, mengabaikan pening yang tiba-tiba menghantam kepalanya.


"Aksara."

Suara Prima membuat Davi dan Aksara menoleh bersamaan, sama-sama terkejut dengan kehadiran lelaki beralis tebal itu. Si bungsu memilih berdiri dan beranjak pergi dari sana. Tak peduli pada sang ayah yang terus memanggil namanya.

"Om, saya kejar Aksa dulu." Davi pun turut berlalu pergi.

Prima memijat kepalanya yang terasa berdenyut sakit dengan satu tangannya ditumpukan pada meja. Keandra yang menyaksikan itu segera menghampiri.

"Duduk dulu, Om." Keandra membantu Prima duduk di kursi yang tadi ditempati oleh Aksara.

"Terima kasih, Nak." Prima mendongak, netra keduanya saling tatap untuk beberapa detik.

Prima tertegun ketika bertatap mata dengan Keandra. Tatapan itu sama persis dengan Cakrawala, dia seolah bertemu kembali dengan si sulung.

"Boleh Om peluk kamu?" Prima berkaca-kaca.

Keandra mengangguk, keduanya pun akhirnya saling berpelukan.

"Seandainya Cakrawala masih ada, dia pasti setampan kamu. Melihatmu mengingatkan pada almarhum putra sulung saya yang meninggal lima tahun lalu."

"Saya kehilangan semuanya, sekarang juga harus kehilangan Aksara. Satu-satunya alasan agar saya tetap hidup di dunia ini," lanjut Prima.

"Om tidak perlu khawatir soal Aksara, dia aman tinggal bersama saya. Sementara ini, biarkan dia menenangkan diri dulu. Saya janji akan membujuk dia untuk kembali ke rumah, tetapi tidak dalam waktu dekat." Keandra tersenyum tulus.

Prima tersenyum senang, setidaknya dia tahu bahwa Aksara akan baik-baik saja di luar pengawasannya. Dia akan memberi waktu pada putranya itu sampai batas waktu yang tak ditentukan. Jika itu bisa membuat si bungsu merasa aman dan nyaman, dia akan mengorban perasaannya.

"Terima kasih, Nak."

"Saya Keandra, Om. Lebih baik sekarang Om pulang dan istirahat, sepertinya lagi kurang sehat. Apa perlu saya antar ke rumah?" Keandra menawarkan bantuan.

"Tidak perlu, saya ke sini bersama sopir pribadi. Dia menunggu di luar, kalau boleh bantu saya untuk ke parkiran saja."

Keandra mengangguk dan memapah tubuh ringkih Prima menuju mobilnya.

"Saya titip Aksara padamu, izinkan  dia tinggal bersamamu selama dia mau. Saya yang akan menanggung seluruh biaya kehidupannya dan juga kehidupanmu." Prima menggengam tangan Keandra.

"Om, saya tidak mengharapkan apa pun ketika membantu Aksara. Dia sudah saya anggap sebagi adik sendiri. Satu hal yang harus Om tahu, Aksara lebih butuh perhatian dan kasih sayang dari ayahnya daripada sekadar mendapat limpahan materi. Saya permisi." Keandra berlalu masuk dan melanjutkan pekerjaannya.

Prima terdiam di tempatnya, mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Keandra.

Dia sangat mirip dengan Cakrawala, tatapan, nada bicara, bahkan kebijaksanaan yang dimiliki, batinnya.

One Day One Chapter
Day 17
Kulon Progo, 14 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro