
Bagian 16
Davi telah berdiri di depan sebuah rumah yang tak terlalu besar dengan halaman depan yang dipenuhi oleh rumput liar. Langkahnya semakin mendekat, tetapi dia hanya menatap pintu kayu berwarna cokelat pudar itu tanpa mengetuk. Terlalu takut seandainya Aksara tak berada di sana.
Keandra yang berencana keluar, terkejut ketika mendapati Davi di depan pintu rumahnya. Membuat remaja bermata sipit itu tersenyum canggung.
"Apa yang membuatmu datang ke sini?" Keandra to the point.
"Aksara ada di sini enggak, Bang? Sejak semalam dia pergi dari rumah dan belum balik, gue cuma khawatir."
Keandra mempersilakan Davi untuk masuk dan duduk di ruang tamu tanpa menjawab pertanyaannya. Dia berlalu ke dapur meninggalkan remaja itu sendirian. Tak berapa lama kemudian, pemuda itu muncul dengan membawa dua gelas teh hangat serta setoples keripik singkong. Dia pun mempersilakan tamunya untuk menikmati hidangan serta minuman yang telah disediakan.
"Lo dapat alamat Abang dari mana? Kenapa mencari Aksara ke sini?" Keandra memecah keheningan yang sempat tercipta.
"Kalau soal alamat, dapat dari teman Bang Andra di Kafe Cendana yang jaga di kasir itu." Davi menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Aksara adalah orang yang enggak punya banyak teman, selama ini gue satu-satunya orang yang dekat sama dia. Firasat yang mengatakan kalau anak itu ada di sini karena Abang satu-satu temannya, selain gue," lanjut Davi.
Keandra paham, tetapi tak tahu harus memberitahu atau tidak. Dia tak bisa bertanya lebih dulu karena Aksara tengah tidur di kamar.
"Aksara memang ada di sini, sekarang lagi istirahat di kamar. Abang enggak tega untuk membangunkan karena baru terlelap." Setelah berpikir cukup lama, Keandra akhirnya memberitahu.
Davi bernapas lega karena berhasil menemukan Aksara. Perjuangannya untuk sampai ke tempat itu benar-benar membuahkan hasil. Seulas senyum terbit di bibirnya.
"Gue boleh lihat dia, Bang? Janji enggak akan ganggu tidurnya. Eh, tumben banget itu anak tidur jam segini, dia sakit, Bang?" Davi melirik arloji di pergelangan tangannya, di sana menunjukkan pukul setengah lima sore.
"Aksara demam sejak semalam, tetapi sekarang sudah membaik. Jadi, lo enggak perlu khawatir." Keandra menepuk bahu remaja itu.
Keandra membawa Davi ke kamarnya untuk menemui Aksara. Dia mendekati remaja berhidung mancung itu dan mengecek dahinya dengan punggung tangan. Panasnya sudah berkurang, meskipun wajah bulat itu masih pucat pun bibirnya yang tampak kering.
"Terima kasih karena membiarkan dia tinggal di sini dan merawatnya dengan baik," ucap Davi tanpa mengalihkan pandangan dari Aksara.
Keandra hanya mengangguk, Aksara telah dianggap sebagai adiknya sendiri. Dia cukup senang dengan kehadiran remaja itu di hidupnya, membuatnya benar-benar merasa mempunyai saudara. Selama ini selalu kesepian karena merupakan anak tunggal pun yatim-piatu karena kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
Aksara terbangun karena mendengar suara orang yang tengah berbincang. Saat membuka mata, sedikit terkejut ketika menyadari Davi dan Keandra telah berdiri di sisi ranjang.
"Dav, lo kenapa bisa ada di sini?" Aksara mengernyitkan dahi.
"Nyariin pangeran yang kabur dari istana," ketus Davi.
Aksara terkekeh mendengar jawaban Davi hingga kedua lesung pipitnya tercetak jelas. Merasa bersalah sekaligus takjub karena kehadiran sang sahabat di rumah itu, sedangkan Keandra hanya tersenyum simpul mendengar percakapan kedua sahabat itu.
"Lo tahu dari mana kalau gue kabur dari rumah dan ada di sini? Jangan-jangan lo suka nguntit gue, ya? Ngaku!"
Davi terkekeh mendengar penuturan sang sahabat. Dia pergi kesana-kemari mencari informasi, tetapi malah dikira menjadi penguntit.
"Bokap lo telepon gue, bilang kalau anaknya minggat dan belum balik. Dia cemas sama keadaan anaknya yang bar-bar itu."
"Mustahil, dia sendiri yang ngusir gue dari rumah. Dia juga bilang kalau enggak butuh anak pembangkang model gue." Aksara menggeleng pelan.
Davi dan Keandra menghela napas, ternyata sulit untuk membuat Aksara percaya. Mereka tidak bisa membayangkan apabila harus berada di posisi Prima sebagai ayah dari remaja berlesung pipit itu, makan hati tiap hari. Namun, semua itu hanya tersimpan dalam benak masing-masing tanpa diungkapkan.
"Sa, Om Prima benar-benar khawatir sama lo." Davi meyakinkan Aksara.
"Gue malas bahas masalah ini." Aksara membalikkan badan dan memunggungi Davi dengan selimut yang membungkus seluruh tubuhnya.
Keandra memberi kode pada Davi agar meninggalkan Aksara seorang diri. Remaja beralis tebal itu hanya butuh waktu untuk berdamai dengan semua yang terjadi. Dia tak bisa membenarkan ataupun menyalahkan sikap Aksara yang terkesan membenci sang ayah karena tak pernah berada di situasi yang sama.
"Bang, gue titip Aksara. Dia sebenarnya baik, hanya terkadang sikapnya memang terkesan keterlaluan. Gue yakin sedikit-banyak Abang sudah tahu soal dia."
Keandra hanya mengangguk, berada di dekat Aksara membuatnya mulai memahami remaja itu. Namun, sampai detik ini masih belum berani untuk sekadar menasihati karena takut salah kata hingga berujung menambah luka.
"Gue balik, Bang. Oh iya, tolong bujuk itu anak biar balik ke rumah atau setidaknya berangkat ke sekolah. Kalau kelamaan bolos entar dikeluarkan pula," ucap Davi dari balik kemudi.
Usai mobil Davi menghilang di ujung jalan, Keandra kembali masuk ke kamar untuk menemui Aksara. Dia rasa sudah waktunya untuk berbicara dari hati ke hati dengan remaja itu. Masalah hasil, dia tak peduli. Setidaknya, dia sudah mengingatkan.
"Sa, Abang boleh bicara sebentar." Keandra duduk di kursi kayu samping ranjang.
Aksara diam tak menjawab, membuat pemuda itu mengusap wajahnya kasar karena frustrasi. Baru sehari tinggal bersama remaja itu, tetapi sudah berhasil membuat stok kesabarannya semakin menipis. Bagaimana kalau tinggal serumah dengan anak itu?
"Sa, enggak ada orang tua yang menginginkan keburukan untuk anaknya. Semua yang dilakukan oleh Om Prima, semata-mata untuk kebaikan lo. Cara pengungkapannya mungkin memang salah, tetapi percayalah bahwa beliau enggak pernah sekalipun membenci."
Aksara mendengar semua itu, tetapi tak berkomentar apa pun. Otaknya berusaha mencerna setiap kata yang dilontarkan oleh Keandra. Namun, ia tetap tak bisa menerima cara yang digunakan oleh sang ayah. Terlampau melukai hatinya yang telah rapuh.
"Sa, gue tahu lo enggak tidur. Mau sampai kapan terus bersikap seperti ini? Abang memang enggak tahu apa pun tentang kehidupanmu. Jadi, yang bisa dilakukan hanya sebatas mengingatkan," lanjut Keandra.
Pemuda itu memilih berlalu dari kamar. Meninggalkan Aksara yang masih setia bersembunyi di balik selimut tebalnya.
Kenapa gue yang selalu disudutkan dan dianggap tersangka utama di sini? batinnya.
****
Wajah kuyu Prima dengan rambut yang tak disisir, lingkaran hitam di kedua mata, serta baju yang tampak berantakan menjadi bahan gibah baru di kantor. Tiga hari ini, lelaki yang biasanya selalu tampak rapi itu benar-benar mirip orang gila yang baru lepas dari rumah sakit jiwa.
"Pak Prima lagi ada masalah apa sih?" Monica bersuara.
"Anak bungsunya kabur dari rumah karena sejak Bu Sinta meninggal, bandelnya enggak ketulungan. Setiap hari ada saja masalah yang ditimbulkan, gimana Pak Prima enggak stres. Amit-amit jabang bayi punya anak kaya gitu." Risa-tetangga Prima-mengelus perutnya yang tampak membesar.
"Pantas saja Pak Prima belakangan ini uring-uringan, kita yang dijadikan sasaran terus." Monica menimpali.
Prima yang berada tak jauh dari keduanya mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih. Ingin sekali dia menyumpal mulut kedua wanita itu agar tak berbicara sembarangan.
"Siapa yang enggak uring-uringan kalau punya anak model gitu. Kalau aku yang jadi orang tuanya, enggak bakalan kucari."
Suara meja yang digebrak, membuat mereka mendongak bersamaan.
Keduanya menunduk takut begitu menyadari kehadiran Prima dengan wajah merah padam berdiri di hadapannya. Tatapan matanya tajam seolah siap mengoyak tubuh mangsanya.
"Kalian masih mau bekerja di sini atau tidak? Kalau tidak, silakan keluar dari kantor saya! Saya tidak butuh karyawan yang kerjanya ikut campur masalah orang lain!" Bentakan Prima membuat keduanya semakin menunduk.
"Maaf, Pak. Kami janji tidak akan mengulangi lagi, tapi jangan pecat kami. Kami sangat butuh pekerjaan ini," lirih Monica.
Prima berlalu dan membanting pintu ruangannya yang membuat semua karyawan kembali harus merasakan sport jantung. Lelaki itu mengusap wajah kasar, setelahnya memilih duduk di sofa sembari merapal istighfar dalam hati.
Suara ketukan pintu membuat Prima menoleh, dia mempersilakan orang di luar sana untuk masuk. Sesosok wanita berjilbab hitam muncul dari balik pintu.
"Pak, rapat ha-"
"Batalkan dan atur ulang semua jadwal saya hari ini," potong Prima cepat.
"Baik, Pak. Sebaiknya Bapak pulang dan istirahat di rumah karena sepertinya Bapak kurang sehat. Apa perlu saya panggilkan dokter?"
Namun, lelaki itu tak menjawab. Pandangan matanya kosong, hal yang membuat wanita itu merasa prihatin. Ini kali ketiga, Prima bersikap seperti itu. Pertama, ketika Cakrawala meninggal. Kedua, ketika Sinta-istrinya-meninggal. Ketiga, sekarang ini. Ketika si bungsu pergi dari rumah.
Tak mendapat jawaban, Alia memilih meninggalkan ruangan bos besarnya itu. Dia salah tingkah sendiri karena diabaikan. Usai sekretarisnya berlalu, Prima meraih ponselnya dari saku kemeja. Mencari kontak anak buahnya dan menekan tombol panggil.
"Kalian sudah menemukan Aksara?"
"Maaf, Bos. Kami belum berhasil melacak keberadaan putra Anda karena ponselnya masih belum diaktifkan hingga sekarang. Sementara ini, kami hanya menempel selebaran tentang hilangnya Aksara dan menunggu kabar."
Prima menghela napas sembari mematikan teleponnya sepihak. Bukan kabar itu yang ingin dia dengar, tetapi mengenai keberadaan si bungsu.
"Ponsel enggak berguna!" Prima membanting ponselnya hingga layarnya retak di beberapa bagian sembari mendengkus kesal.
Enggak terasa, ya, 16 hari telah berlalu. Adakah yang menunggu kisah Aksara ini?
Kasih semangat dong buat Aksa dan Ayah Prima!
Kalau ada yang mau ngasih saran untuk bapak dan anak itu, boleh banget.
Oh iya, apa sih yang membuat kalian mengikuti kisah Aksara hingga sekarang?
Aku tunggu jawaban kalian di kolom komentar.
Salam hangat dari Aksara
Ttd:
Bintang_Senja_
One Day One Chapter
Day 16
Kulon Progo, 13 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro