Bagian 15
"Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya."
(H.R. Bukhari dan Muslim)
"Ndra, kamu enggak ngasih kabar ke orang tuanya. Mereka pasti khawatir karena Aksara belum pulang hingga sepagi ini." Suara Kakek Ferdi membuat Keandra menoleh.
"Andra enggak tahu harus menghubungi siapa dan ke mana, Kek. Kami baru kenal baru-baru ini sehingga tidak banyak yang aku tahu." Keandra menunduk.
Kakek Ferdi mengamati wajah Aksara yang tampak pucat, diletakkannya punggung tangan itu ke dahi. Panas, itu yang dirasakan ketika kulitnya saling bersentuhan.
"Sejak kapan dia demam?"
"Dari semalam, Kek. Sudah dikompres, tapi suhunya masih cukup tinggi. Terakhir kali dicek setengah jam yang lalu dan suhunya masih 38°."
Kakek Ferdi hanya mengangguk, manik hitamnya mengamati Aksara dengan saksama. Wajah itu terasa sangat familiar baginya, tetapi tak dapat mengingat pernah bertemu di mana. Seketika tubuhnya menegang ketika sekelebat ingatan itu terputar kembali.
Dia yang ada di rumah sakit lima tahun lalu. Apa yang akan dia lakukan jika mengetahui fakta tentang Keandra? Enggak, selama aku diam tak akan ada yang tahu tentang kejadian itu. Lagi pula selama ini tak pernah ada yang menyadari tentang hal itu, batin Kakek Ferdi.
"Kek, Kakek kenapa?" Keandra cemas begitu melihat wajah pucat sang kakek.
Kakek Ferdi menggeleng sembari tersenyum, berusaha menyembunyikan gugup yang tiba-tiba melanda bahkan hingga membuat kedua tangannya gemetar hebat. Dengan cepat lelaki itu menyembunyikannya di belakang tubuh dan memilih berlalu keluar karena tak ingin Keandra menaruh curiga.
"Maafkan Kakek, Ndra. Kakek tidak bisa menceritakan masalah itu ke kamu," bisiknya.
Kamar berukuran 2x3 meter menjadi saksi bagaimana perhatian Keandra pada Aksara. Dia bahkan sengaja mengambil cuti agar bisa menemani dan merawat remaja berlesung pipi itu.
Nyatanya, menjadi perawat bagi remaja itu bukan hal mudah. Sifat manjanya benar-benar membuat pemuda itu kewalahan.
"Mas Cakra jangan pergi lagi, Aksa kesepian." Aksara meracau sembari memegang erat lengan Keandra.
Keandra hanya mengangguk tanpa berkomentar apa pun, agar bisa membuat Aksara tenang. Belum lama mengenal remaja itu, tetapi dia benar-benar merasa sangat dekat dengannya. Pemuda itu bahkan tak menolak dipanggil 'Cakrawala'.
Setelah Aksara tenang, Keandra membeli bubur ayam. Kemudian membangunkan Aksara untuk sarapan, tetapi ia hanya membuka mata sebentar kemudian kembali terpejam.
"Sa, bangun. Sarapan dulu, Abang sudah belikan bubur ayam. Setelah itu Abang antar lo ke klinik." Keandra menepuk pelan pipi Aksara.
"Gue enggak lapar, Bang. Buburnya buat Kakek atau Abang saja. Enggak perlu ke klinik, Aksa baik-baik saja kok. Mendingan Abang berangkat kerja saja, gue cuma butuh istirahat bentar." Aksara menjawab tanpa membuka mata.
Keandra menghela napas, tak tahu bagaimana cara untuk membujuk remaja di hadapannya itu. Hanya disuruh makan, tetapi susahnya minta ampun.
"Sa, nanti lo dehidrasi gimana? Badan udah lemes gitu, masih aja keras kepala. Makan, ya, sedikit aja." Keandra terus membujuk.
Gelengan kepala Aksara, membuat pemuda dua puluh satu tahun itu mendesah frustasi. Dia benar-benar khawatir dengan kondisi Aksara yang tampak pucat dan lemas, tetapi terus saja menolak untuk makan.
"Sa, ayo dong makan. Abang suapin, gimana?"
"Aksa enggak lapar, Bang. Gue cuma butuh istirahat aja sebentar, nanti juga sembuh dan enggak perlu ke klinik."
"Oke, kalau enggak mau ke klinik lo harus makan. Kalau enggak, Abang telepon ambulans biar dibawa ke rumah sakit sekalian." Keandra mengancam.
Keandra tak tahu ancamannya akan berhasil atau tidak karena Aksara tak menjawab, raut wajahnya pun datar. Namun, dia masih berharap remaja di hadapannya itu mau menurut. Jika cara itu masih tak berhasil, maka dia akan benar-benar menelepon ambulans.
"Oke, gue milih makan daripada ke rumah sakit." Aksara menyerah.
Sejak kematian Cakra dan sang bunda, remaja lima belas tahun itu tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah sakit. Baginya, tempat itu adalah kawasan paling menyeramkan. Bayangan kematian sang kakak dan ibunya selalu terlintas
ketika berada di sana. Hal itu yang menjadi alasannya menghindar dari segala macam hal yang berbau rumah sakit.
Keandra membantu Aksara untuk duduk dengan meninggikan bantal untuknya bersandar. Dengan telaten, dia menyuapi remaja yang sudah dianggap sebagai adiknya itu.
"Sudah, Bang. Gue udah kenyang." Aksara menepis sendok ke tiga yang disodorkan padanya.
"Baru dua suap, Sa. Habiskan, ya, mubazir buburnya masih banyak gini." Keandra membujuk.
Namun, lagi-lagi Aksara menggeleng dengan wajah yang dibuat sememelas mungkin. Akhirnya, Keandra menyerah untuk memaksa lagi.
"Lo istirahat dulu, Abang keluar sebentar. Kalau Kakek tanya, bilang aja ke apotek depan."
Keandra berlalu pergi usai membantu Aksara untuk kembali berbaring, dia kembali mengecek dahi remaja itu menggunakan punggung tangan. Hangat, itu yang dirasakan oleh indera perabanya. Demamnya sudah lumayan turun, tetapi dia tetap khawatir jika suhunya akan meningkat lagi jika dibiarkan. Maka dari itu, dia memutuskan untuk membeli obat demam untuk remaja bermata sipit itu.
Setelah kepergian Keandra, Aksara bangun dan berjalan keluar untuk menghirup udara segar. Pening di kepalanya diabaikan, ia terus melangkah dengan tangan yang berpegangan pada dinding. Wajah itu pucat dengn tatapan netra sayu, langkahnya pun tertatih, tetapi tetap dipaksakan untuk melangkah.
Aksara tak ingin memanjakan tubuhnya dengan hanya berbaring di ranjang, apalagi sedang menumpang di rumah orang. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, dinding biru muda itu tampak kusam dengan cat yang mulai mengelupas. Ruang tamu tempatnya berdiri itu tak terlalu luas, hanya ada tiga buah kursi rotan serta meja kecil di sana. Lantainya pun hanya sebatas dilapisi karpet bukan keramik.
Di beberapa sudut tampak foto yang menggangung di dinding. Orang yang ada dalam foto itu adalah Keandra dan seorang wanita dengan jas putih kebanggaannya. Aksara menebak usia wanita itu tak begitu jauh dari sang bunda, mungkin dia ibu dari Keandra.
Aksara meraih kemoceng yang tergantung di sisi televisi dan mulai membersihkan debu yang tampak tebal di berbagai perabot. Wajar saja jika rumah itu berdebu karena Keandra sibuk bekerja hingga malam, sementara kakek pemuda itu telah lanjut usia.
"Nak Aksa istirahat saja kalau masih sakit." Suara Kakek Ferdi membuat Aksara menoleh.
"Enggak apa-apa, Kek. Lagian kalau terus dimanja entar malah ngelunjak." Aksara terkekeh.
Kakek Ferdi tersenyum, diusapnya puncak kepala remaja di hadapannya dengan lembut. Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh Aksara mendapat perlakuan manis dari pria tua itu. Hal sederhana yang bahkan jarang didapat dari sang ayah.
"Badanmu masih anget gini, kamu istirahat saja nanti biar Keandra yang melanjutkan. Dia ke mana kok dari tadi enggak kelihatan?" Kakek Ferdi mengadarkan pandangan.
"Bang Andra tadi pamit ke apotek depan, Kek. Mungkin sebentar lagi pulang."
****
Keandra muncul dari balik pintu depan dengan membawa kantong plastik bertuliskan Apotek Sehat. Dia tampak terkejut ketika mendapati Aksara dan kakeknya tengah berbincang di ruang tamu. Apalagi ketika mendapati Aksa menggenggam kemoceng.
"Sa, lo istirahat aja. Biar Abang yang lanjutin bersih-bersih, tapi sebelum itu minum obat dulu." Keandra menyodorkan kantong plastik itu pada Aksara.
"Gue enggak apa-apa, Bang. Kita bersih-bersih bareng biar cepat kelar, anggap aja sebagai ucapan terima kasih karena Abang dan Kakek mengizinkan menginap di sini."
Keandra dan Kakek Ferdi saling pandang kemudian menggeleng bersamaan. Bagaimana mungkin mereka membiarkan Aksara yang tengah sakit untuk bersih-bersih rumah. Apalagi Aksara adalah tamu di rumah mereka, keduanya sangat tahu bagaimana seharusnya memperlakukan tamu dengan baik.
"Enggak! Lo istirahat aja di kamar, sebagai tuan rumah kita harus memuliakan tamu. Jadi, bantu Abang agar dapat pahala melalui jalan itu."
Aksara mengalah, dia berlalu menuju kamar milik Keandra dan kembali beristirahat usai meminum obat. Tak lama kemudian dengkuran halus terdengar dari bibirnya. Kakek Ferdi dan Keandra tersenyum di ambang pintu menyaksikan remaja itu yang telah kembali terlelap.
"Andra, dia butuh orang yang bisa selalu mengerti dan memahami hatinya. Bantu dia untuk menemukan kembali hidupnya yang penuh warna." Kakek Ferdi menepuk pundak cucunya.
One Day One Chapter
Day 15
Kulon Progo, 12 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro