Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 12

"Kata adalah senjata paling berbahaya yang mampu menimbulkan luka tak kasat mata. Kedalaman dan parahnya tak dapat diukur oleh alat canggih mana pun sehingga sangat sulit untuk diobati bahkan berpotensi membunuh tanpa menyentuh."

~Keandra Haris Pradipta~

Setelah berpikir panjang, Prima menemukan cara yang dianggap tepat untuk mengontrol Aksa. Dia berpikir bahwa cara itu bisa membuat putranya merenung dan menyadari kesalahan.

"Mulai sekarang Ayah enggak mengizinkanmu keluar selain ke sekolah, itu pun harus diantar-jemput oleh Pak Doni. Mulai besok motor kamu juga Ayah sita."

Aksara membuka mata, tatapannya berubah tajam. Tak terima dengan keputusan sang ayah yang telah merenggut kebebasannya.

"Enggak mau! Ayah enggak bisa seenaknya ngelarang aku keluar apalagi nyita motor. Aksa enggak setuju!"

Prima mengusap wajah kasar, menyaksikan sikap putranya yang benar-benar liar. Dia sama sekali tak melihat raut penyesalan di wajah Aksara, di sana hanya tampak emosi yang berkobar. Ia berdiri tegap dengan tangan yang menyilang di dada sembari menatapnya tajam.

"Ayah harus gimana biar kamu mengerti dan berubah menjadi lebih baik? Ayah benar-benar lelah berdebat sama kamu tiap hari, tetapi enggak pernah menemukan titik temu," ucap Prima pelan.

"Kalau Ayah lelah, enggak perlu ngurusin aku lagi. Toh, selama dua tahun terakhir aku baik-baik saja meski tanpa Ayah. Aksa juga lelah terus-terusan diperlakukan sebagai tersangka!" Aksara berlalu keluar.

"Kalau kamu enggak suka dengan aturan yang Ayah buat, kamu boleh keluar dari rumah ini. Ayah enggak butuh anak pembangkang sepertimu!
Ayah lebih baik enggak punya anak sekalian daripada hanya menambah beban dan masalah setiap harinya!" bentak Prima.

"Baik, aku keluar sekarang juga. Aksa di sini juga enggak bahagia, punya orang tua tetapi berasa yatim-piatu! Ayah lebih mementingkan pekerjaan dibanding aku." Aksa berlalu melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Prima terpaku, menatap punggung putranya yang menghilang di balik pintu. Air mata yang sedari tadi ditahan, mengalir deras dari sudut mata. Dia bersimpuh di lantai dengan kedua tangan menangkup wajah. Menyesali lisannya yang begitu lincah menghujat putranya sendiri.

Duda satu anak itu bangkit dan mendudukkan diri di sofa ruang keluarga sembari merapal istighfar dalam hati. Emosinya benar-benar berada di luar kendali. Prima meraup oksigen dengan serakah mencoba menguraikan sesak yang menghimpit dada, tetapi tak berhasil.

"Maafkan Ayah, Sa. Ayah enggak bermaksud ...."

*****
Aksara menunggangi kuda besinya membelah jalanan malam yang lumayan padat. Ia begitu lihai meliuk-liukkan motornya di antara padatnya kendaraan. Sejujurnya, tak tahu ke mana harus pergi. Namun, egonya terlalu tinggi untuk mengakui kesalahan dan menerima hukuman. Apalagi setelah mendengar kata demi kata yang terlontar dari bibir sang ayah.

Pernyataan Prima bagai belati yang menusuk tepat di jantung remaja itu. Meninggalkan perih yang tak terkira, tetapi tak bisa untuk diobati. Lukanya tak kasat mata sehingga dokter terbaik mana pun tak akan sanggup mengobati.

Aksara menghentikan laju motornya di tepi jalan tak jauh dari Kafe Cendana. Pandangannya tak lagi fokus akibat air mata yang tumpah. Ia memukul-mukul dada berusaha menghalau sesak yang dirasakan, tetapi tak berhasil. Rasa sesak itu tak mau beranjak.

Beruntung jalanan sepi karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam pun cahaya di sekitar sana yang temaram. Tak akan ada orang yang curiga dengan keberadaannya di sana.

"Bunda, Mas Cakra, Ayah enggak sayang lagi sama aku. Ayah benci Aksa," lirihnya.

Aksara mengepalkan tangan kemudian memukul pohon akasia di hadapannya, bukan hanya sekali melainkan berkali-kali. Tak peduli pada darah segar yang mulai menetes dan rasa perih yang menjalar. Ia terus memukul pohon tak bersalah itu dengan sekuat tenaga, melampiaskan segala rasa yang terpendam di hati.

"Pohon itu sama sekali tak bersalah. Jadi, kenapa harus kamu jadikan pelampiasan?" Suara Keandra membuat remaja itu menoleh.

Keandra segera menghampiri begitu sadar bahwa yang ditemuinya itu adalah Aksara. Diraihnya remaja itu ke dalam dekapan. Dia sama sekali tak menyangka akan kembali bertemu dengan sosok yang sudah dianggap sebagai adik kandungnya itu.

"Sa, apa yang terjadi?"

Keandra melepas dekapan dan memeriksa luka di tangan Aksara. Buku jarinya tampak berdarah karena kulit arinya mengelupas akibat beradu dengan pohon akasia. Namun, pemuda itu sama sekali tak menampakkan raut kesakitan. Wajahnya datar dengan pandangan kosong.

Keandra menarik Aksara menuju apotek tak jauh dari sana. Selagi membeli obat, dia meminta remaja bertubuh kurus itu untuk menunggu di luar yang hanya dijawab dengan anggukan pelan. Tak lama kemudian pemuda itu keluar dengan membawa kantong kresek berisi obat.

Keandra dengan telaten membersihkan luka itu dengan kapas yang telah dibasahi antiseptik untuk mencegah infeksi. Selanjutnya membubuhkan obat merah dan menutup luka itu dengan kasa, terakhir membalutnya dengan perban. Dia merasa prihatin melihat Aksara yang tampak seperti orang linglung.

"Sa, Abang antar pulang, ya?" Keandra berujar pelan.

"Aksa boleh ikut Abang pulang?" Aksara mengiba.

Keandra mengangguk, tak tega meninggalkan Aksara dengan keadaan seperti itu berkeliaran seorang diri di jalanan. Tanpa bertanya pun dia tahu bahwa remaja itu tengah ada masalah. Namun, belum berani menyakan apa pun. Memilih untuk menunggu hingga Aksara mau berbagi cerita.

"Motor kamu gimana?"

"Bang Andra bisa bawa motor?" Aksara balik bertanya.

"Enggak, Abang mana kuat bawa motor segede itu. Gue bukan Super Hero apalagi Samson yang punya tenaga kuda. Suruh gendong lo aja gue nyerah apalagi suruh bawa itu motor, kagak dah." Keandra terkekeh.

"Serius, Bang. Gue enggak mungkin bawa motor apalagi bonceng Abang." Aksara mendengkus kesal sembari memperlihatkan kedua tangannya yang terlilit perban.

"Abang juga serius, enggak lagi bercanda. Lagian siapa suruh berantem sama pohon? Mau dipukul seribu kali juga bakal baik-baik saja itu pohon. Tangan lo yang kenapa-napa, iya."

Aksara terkekeh, hal yang membuat perasaan Keandra sedikit lebih lega. Wajah itu tak semuram tadi, tatapannya pun tak lagi hampa.

"Sa, lo bisa cerita apa pun ke Abang, tapi jangan pernah menyakiti diri sendiri seperti tadi. Abang mungkin enggak bisa memberi solusi, tapi setidaknya itu bisa membuat perasaan lo lebih plong." Keandra kembali angkat bicara setelah lama terdiam.

Aksara tak menyahut, tetapi seulas senyum kembali terbit di bibir gelapnya. Sejak bertemu dan berbincang dengan Keandra perasaannya terasa lebih lega, walaupun belum bercerita apa pun tentang masalah yang dihadapinya sekarang. Keduanya kini tengah menatap langit malam tanpa bintang dengan duduk di emperan apotek.

"Gue enggak tahu harus mulai cerita dari mana, Bang. Masalah itu bak benang kusut yang tak bisa diurai lagi." Aksara menunduk lesu.

"Sa, enggak ada masalah yang tanpa solusi. Semua pasti ada jalan keluarnya selama lo mau mencari. Kalau Abang boleh tahu, ini menyangkut Rey atau bokap lo." Keandra menepuk pundak Aksara."

"Dua-duanya, Bang. Keduanya sama-sama punya andil dalam masalah ini, terutama Ayah." Aksara menghela napas.

"Barusan Ayah bilang kalau gue cuma nambah beban dia saja dan enggak butuh anak pembangkang yang hanya bisa membuatnya malu," lirih Aksara.

Keandra menatap Aksara iba, raut sedih tampak jelas di wajah bulatnya. Helaan napasnya bahkan telah terdengar berkali-kali. Di kedalaman mata itu, ada beban yang tak mampu dimengerti oleh siapa pun. Dia bisa menebak luka separah apa yang bersarang di hati remaja yang tampak rapuh itu. 

Keandra yang tak mendengar langsung pun merasakan sakit yang luar biasa, ditambah kata itu juga bukan tertuju padanya. Namun, hatinya benar-benar merasa nyeri ketika mendengar cerita dari bibir Aksara.

"Sa, Abang yakin beliau enggak pernah bermaksud seperti itu. Itu hanya luapan emosi sesaat, sekarang  pasti sedang menyesali kata-kata yang terlontar dari bibirnya."

"Gue udah capek, Bang. Setiap hari selalu saja diperlakukan seolah gue adalah tersangka kejahatan. Kata-kata yang Ayah lontarkan juga bikin hati hancur dan telinga memerah. Gue pengen bebas dari semua rasa sakit ini, Bang. Ditambah lagi dengan sikap Rey yang benar-benar memancing emosi." Aksara mendesah lelah.

"Sebenarnya ada apa di antara kalian berdua? Kalau belum siap cerita, enggak perlu dijawab. Abang enggak mau membangkitkan luka lama yang mungkin belum sepenuhnya sembuh."

Aksara menerawang jauh, mengingat kembali kisah yang membuat hubungannya dengan Rey terjeda.  Hal yang juga menjadi penyebab utama kematian Cakrawala—sang kakak.

Rey dan Aksara tengah berada di perpustakaan kota bersama Cakrawala, mereka sengaja diajak karena sedang mencari bahan untuk tugas sekolah. Keduanya tampak sibuk memilah buku mana yang akan diambil dan dibaca sebagai bahan acuan, sedangkan sang kakak telah sibuk dengan beberapa buku tebal di meja serta laptop miliknya.

Manik hitamnya tampak fokus membolak-balikkan lembar demi lembar buku yang sedang dibaca sembari tangan kanan yang sibuk menari di atas keyboard laptop.

"Mas, abis dari sini kita makan dulu, ya. Aksa udah lapar banget." Aksara merengek manja.

Cakrawala mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari laptop, dia sudah sangat terbiasa dengan segala macam rengekan si bungsu ketika diajak pergi. Salah satunya, minta makan.

"Mas, kita ke resto biasa ya. Aksa mau makan cumi goreng krispi sama ikan bakar."

"Oke."

Satu jam kemudian ketiganya telah selesai  berurusan dengan tugas, sesuai kesepakatan mereka akan makan siang terlebih dahulu di resto Raja Seafood. Sesuai namanya, resto itu menyediakan beraneka macam olahan makanan laut dan merupakan salah satu tempat makan favorit Aksara.

"Mas Cakra, Rey udah belajar naik motor kaya gini lho sama Ayah. Kemarin aku muter-muter keliling kompleks sambil bonceng Ayah. Aku mau bonceng Mas Cakra, ya," pamer Rey.

Cakrawala menggeleng pelan. Padahal usia Rey baru menginjak sebelas tahun, terlalu berisiko membiarkannya mengendarai motor sport di jalanan ramai.

"Rey, kan, belum punya SIM lagipula jalanan di sini ramai. Nanti kalau kenapa-napa gimana? Kamu bonceng Mas Cakranya nanti saja di jalanan kompleks setelah makan siang, gimana?" Cakrawala memberi pengertian.

"Enggak mau, Rey maunya sekarang. Aku udah pandai kok bawa motornya, Mas Cakra enggak usah khawatir, yuk!" Rey tak mau kalah.

Aksara yang sedari tadi menyimak, menarik lengan Cakrawala sembari menggeleng. Tak mengizinkan kakaknya pergi dengan dibonceng oleh Rey karena perasaannya yang tiba-tiba gelisah.

"Mas Cakra ayo, enggak jauh-jauh deh. Cuma sampai kafe sana, nanti balik ke sini lagi." Rey menunjuk kafe di ujung jalan.

"Mas Cakra enggak usah! Aksa udah lapar, ayo makan!" Si bungsu kekeh tak mengizinkan.

"Mas Cakra, ayo! beneran cuma sampai depan sana enggak lebih, janji. Abis itu kita makan siang, Rey juga udah lapar." Rey masih ngotot.

Cakrawala menghela napas, tetapi akhirnya menuruti permintaan Rey. Sebelumnya, meyakinkan Aksara bahwa semua akan baik-baik saja.

"Aksa tunggu di sini bentar, Mas Cakra enggak akan lama. Enggak jauh kok, paling cuma 150 meter aja."

Cakrawala memasangkan helm milik Rey dan memastikan penguncinya sudah benar, kemudian mengenakan helm miliknya. Dia merapal basmalah dalam hati, sembari mengenyahkan berbagai pikiran buruk yang menyapa benak.

"Rey, pelan-pelan saja."

Rey melajukan motornya dengan kecepatan standar, di belakangnya Cakra terus menginteruksi agar remaja itu mengurangi kecepatan. Namun, remaja itu justru menambah kecepatan laju motornya. Tepat di ujung jalan sebuah mobil sedan tiba-tiba muncul dari persimpangan membuat Rey yang tidak siap tak bisa menghindar.

Cakrawala memeluk tubuh Rey dengan erat berusaha melindungi karena sang ayah sudah menitipkan padanya. Keduanya terlempar sejauh tiga meter dan berguling-guling di aspal. 

Aksara yang melihat kejadian itu segera berlari menghampiri kakaknya yang telah tak sadarkan diri dengan darah yang mengalir di beberapa bagian tubuhnya. Di samping sang kakak, Rey juga tergeletak tak sadarkan diri. Namun, lukanya tak separah Cakrawala.

Orang-orang di sekitar sana segera membawa keduanya ke rumah sakit terdekat, tetapi terlambat karena Cakrawala telah meninggal ketika dalam perjalanan ke rumah sakit.

Sejak saat itu, Aksa menolak untuk menemui Reynald kerena beranggapan bahwa dia adalah orang yang menyebabkan sang kakak meninggal. Ia tak mau lagi bermain dan berhubungan dengan sahabat lamanya itu pun selalu mengatakan bahwa Rey adalah pembunuh Cakrawala. Namun, seiring bertambahnya usia, ia sadar semua yang terjadi adalah ketetapan takdir yang tak bisa diubah.

Aksara sempat meminta maaf pada Reynald, tetapi ditolak mentah-mentah. Hubungan keduanya terlanjur renggang hingga tak bisa diperbaiki. Sikap Rey pun perlahan berubah menjadi kasar ketika keduanya saling  berhadapan.

Aksara menutup wajah dengan tangan berusaha menghentikan laju air matanya yang mengalir semakin deras. Mengingat kejadian itu sama saja dengan menabur garam di lukanya. Perih itu masih terasa sama hingga detik ini, tak berkurang sedikit pun. Seberapa kuat pun ia berusaha untuk ikhlas, tetap saja masih tak mampu melakukannya.

Halo, Aksara balik lagi meski hampir tengah malam.
Apa sih yang membuat kalian menyempatkan waktu untuk berjumpa dengan si bandel yang satu ini?

One Day One Chapter
Day 12

Kulon Progo, 9 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro