Bagian 1
Suara Pak Dandi yang tengah menjelaskan materi di depan sana bak dongeng pengantar tidur bagi Aksara. Di meja paling belakang ia tampak terlelap dengan kedua tangan sebagai tumpuan. Suara berisik dari beberapa temannya yang sedang berdiskusi tentang materi hari itu pun tak mampu mengusik tidurnya.
"Aksara!"
Suara Pak Dandi mengalihkan perhatian seluruh murid kelas X IPS dan menoleh ke arah Aksa. Namun, remaja 15 tahun itu hanya sekadar bangun untuk mengucek mata dan memilih tidur kembali.
Pak Dandi pun mengambil penggaris kayu yang terletak di samping papan tulis dan menghampiri Aksara yang tampak kembali terlelap.
"Aksa, bangun." Davi—teman sebangku Aksa—mengguncang pelan tubuh remaja itu.
Aksara mengejapkan mata sembari mengedarkan pandang ke sekeliling, sedikit terkejut ketika menyadari tengah berada di kelas. Seingatnya, ia masih berada di kamar. Di hadapannya Pak Dandi berdiri dengan penggaris kayu di tangan kanannya.
"Assalamualaikum, selamat pagi, Pak." Aksara menjabat tangan Pak Dandi dan mencium punggung tangannya.
"Semalam kamu ngapain sampai tidur nyenyak di kelas? kamu pikir di depan sana saya sedang mendongeng untuk menidurkanmu!" Kumis tebal Pak Dandi tampak naik-turun dengan mata yang melotot tajam.
"Nonton film horor, berakhir enggak bisa tidur sampai jam tiga pagi." Aksara menggaruk tengkuknya
sembari cengengesan. Suara tawa Pak Dandi dan murid lainnya menggema, begitu mendengar pengakuan Aksara. Namun, yang ditertawakan memilih tak peduli.
"Sekarang kamu lari keliling lapangan lima putaran, saya akan mengawasi. Jadi, jangan coba-coba untuk menipu."
Aksara segera berlalu menuju lapangan dan menjalankan hukumannya. Baru dua putaran, tetapi ia sudah kepayahan. Langkahnya sangat pelan hingga tidak bisa dikatakan berlari, napasnya pun terengah-engah.
"Aksara, saya bilang lari bukan jalan santai. Cepat selesaikan hukumanmu dan kembali ke kelas." Pak Dandi menginteruksi dari pinggir lapangan.
Begitu mendengar suara Pak Dandi, Aksara kembali berlari. Walaupun, hanya sekadar berlari kecil karena napasnya sudah mulai terengah. Setelah menyelesaikan lima putaran, ia tak lantas kembali ke kelas. Namun, menuju ke kantin untuk membeli minum.
Aksara membeli dua botol air mineral sekaligus. Satu botol air mineral tandas dalam sekali tenggak, sisanya digunakan untuk mengguyur kepalanya yang terasa panas.
"Gara-gara film horor sialan, gue kena hukuman," gerutu Aksara.
Usai dari kantin, Aksara kembali ke kelas daripada mendapat hukuman lagi karena tidak mengikuti kelas. Mata pelajaran berikutnya adalah sejarah, yang paling dibenci karena mirip dengan dongeng. Ia harus membaca berlembar-lembar dan menghafal banyak hal yang menurutnya tidak penting.
Penjelasan Bu Rani—guru sejarah— terdengar membosankan, justru terdengar tengah mendongeng sehingga banyak yang menguap atau sekadar menyandarkan kepala di atas meja. Dua jam terasa lambat, seakan waktu terhenti sejenak.
Bel istirahat menjadi penyelamat, semua siswa segera berhamburan keluar. Ada yang menuju ke kantin, perpustakaan, lapangan basket, ataupun hanya sekadar duduk di bangku panjang di depan kelas.
Aksara dan Davi lebih memilih pergi ke kantin untuk mengisi perutnya yang lapar, apalagi Aksa tak sempat sarapan karena bangun kesiangan. Keduanya membagi tugas, Davi mengantri makanan dan ia sendiri mencari tempat duduk.
Aksara mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin, mencari tempat yang sekiranya masih kosong. Setelah menemukan, ia mempercepat langkah sebelum meja itu ditempati oleh orang lain.
Brukk!!
Aksara mengusap kening yang mencium lantai cukup keras, dari mejanya Rey tertawa mengejek. Dia yang sengaja menjegal remaja bertubuh ramping itu.
"Kalau jalan itu pakai mata!" Rey menyeringai.
Aksara menarik lengan Rey hingga ikut terjerembab ke lantai, sontak mengundang perhatian seluruh penghuni kantin. Pasalnya, mereka berdua memang sering terlibat dalam perseturuan sengit. Dari yang mereka dengar, keduanya menjadi musuh sejak masih duduk di bangku SMP. Tak ada yang tahu pasti tentang alasan perseturuan itu.
"Impas, 'kan!" Aksara tersenyum mengejek.
Tidak terima, Rey memukul wajah Aksara cukup keras hingga meninggalkan bekas kemerahan di pipi kanannya. Ia pun tak tinggal diam, balas memukul lawannya hingga sudut bibirnya terkoyak. Aksi keduanya baru terhenti ketika Pak Dandi datang dan melerai. Mereka pun dibawa ke ruang BK.
"Kalian ini mau jadi petinju? Ini sekolah bukan arena tinju kalau mau berkelahi jangan di area sekolah!"
"Lain kali kita berkelahi di depan gerbang, Pak. Kan, itu sudah termasuk di luar area sekolah." Aksara menyahut santai.
Pak Dandi mengelus dada sembari beristighfar, benar-benar menguji kesabaran. Kalau saja ada lima murid yang memiliki watak seperti Aksara, bisa dipastikan dia memilih mengundurkan diri sebagai guru BK.
"Kalian ini teman sekelas, kenapa harus berkelahi? Bapak itu sudah bosan menghukum dan menasihati kalian berdua, tetapi tidak pernah berubah sedikit pun. Kalian ini maunya apa?"
"Pulang," jawab keduanya serentak.
"Kepala pusing, Pak. Pipi juga nyut-nyutan karena dijegal sekaligus dipukul sama Rey." Aksara memasang wajah memelas.
"Pipi sama perut gue juga sakit gara-gara lo pukul," Rey tidak mau kalah.
"Lo duluan yang jegal kaki. Gue, kan, cuma membela diri."
"Lo–"
"Cukup! Saya sudah meminta wali kelas menghubungi orang tua kalian. Kalian di sini sampai mereka datang. Setelah itu kalian boleh pulang bareng orang tua masing-masing." Pak Dandi menggebrak meja.
"Mampus, bisa kena marah lagi gue. Uang jajan bakalan dipotong beneran kalau kaya gini," gerutu Rey.
Sementara Aksara bersikap santai, seolah tidak terjadi apa-apa. Ia yakin bahwa Prima tidak akan datang ke sekolah apalagi hanya untuk mengurus masalahnya. Biasanya ketika sang ayah dipanggil ke sekolah, dia tak pernah hadir. Sebagai gantinya, Mbok Nah atau Pak Doni yang menggantikan.
Setelah setengah jam menunggu, Prima muncul dengan masih mengenakan setelan jas hitamnya. Aksara sampai dibuat ternganga melihat sosok sang ayah yang melenggang masuk ke ruang BK. Tak menyangka lelaki itu benar-benar datang. Kemudian, disusul oleh Risman—ayah Rey yang juga masih mengenakan setelan jas berwarna hitam.
"Begini, Pak. Aksara dan Rey ini terlibat perkelahian di kantin. Seperti yang kalian lihat, wajah keduanya babak belur. Dua-duanya punya luka memar. Kami dari pihak sekolah sudah bosan menasihati dan menghukum kedua anak ini, tetapi tak ada perubahan sedikit pun. Maka dari itu, kami memutuskan mensekors keduanya selama tiga hari."
"Kami memohon maaf atas nama anak-anak, Pak." Prima menyahuti.
"Mohon sekiranya sebagai orang tua mereka, kalian menasihati keduanya. Kami pihak sekolah hanya sekadar membantu, sedangkan pendidikan yang utama tetap berasal dari orang tua."
Kedua lelaki paruh baya itu hanya mengangguk sebagai jawaban dengan wajah yang merah padam karena menahan emosi. Rey menunduk melihat tatapan sang ayah, sedangkan Aksara memilih tak peduli.
Usai semua urusan selesai, mereka diizinkan pulang ditambah libur selama tiga hari ke depan. Bukannya merasa bersalah, keduanya justru bersorak senang. Mereka hanya kembali ke kelas untuk mengambil tas masing-masing kemudian menyusul ke parkiran.
Aksara duduk dengan santai di jok belakang dengan earphone terpasang rapi di telinga. Ia malas mendengar ocehan Prima yang panjangnya melebihi jalan kenangan.
"Jalan, Yah!" Aksara tertawa kecil sembari memejamkan mata.
"Anak kurang ajar, ayahnya sendiri dianggap sopir," gerutu Prima.
Prima melajukan mobil dan memilih untuk tetap diam tak berkomentar apa pun karena hanya akan percuma. Toh, Aksara menyumpal kedua telinganya dengan earphone.
Selama perjalanan pulang, Aksara terlelap. Diam-diam ayah satu anak itu, memperhatikan sang putra dari spion dalam. Di pipi kanan dan dahinya tampak luka memar. Ia meringis pelan membayangkan rasa sakit yang mungkin dialami oleh putra bungsunya itu.
Semenjak Sinta—sang istri—meninggal dua tahun lalu karena bunuh diri akibat depresi, dan Cakra—putra sulung mereka meninggal dunia. Prima harus berperan sebagai ayah sekaligus ibu. Namun, bagaimanapun ia tak pernah sebanding dengan sang istri apalagi dalam mendidik. Dia tak bisa menjadi sesabar dan selembut sang istri dalam menasihati, pun tak mampu peka dengan keinginan Aksara.
Seandainya kamu masih ada, Aksara pasti tidak akan menjadi seperti sekarang. Maafkan aku yang tidak bisa menjaga dan mendidik anak kita dengan baik, batin Prima.
****
Prima membangunkan Aksara dengan mengguncang pelan tubuhnya. Satu hal yang baru disadari oleh lelaki itu, putranya tampak lebih kurus.
"Aksa, bangun!"
Aksara mengejapkan mata,
lalu turun dari mobil. Ia melenggang santai masuk meninggalkan Prima yang masih terpaku di tempatnya. Begitu sadar, lelaki itu segera menyusul.
Aksara kembali merebahkan tubuh di sofa ruang tamu, matanya masih terasa berat untuk terbuka ditambah pening yang tiba-tiba menghantam kepalanya.
"Kamu maunya apa? Setiap hari ada saja masalah yang kamu timbulkan! Ayah capek hampir tiap hari ditelepon pihak sekolah karena kamu berulah."
"Bisa enggak marahnya ditunda dulu, Yah. Aksara pusing banget, mau istirahat." Aksara bangkit dan berlalu menuju kamarnya.
"Aksara, Ayah lagi bicara sama kamu! Kamu ini bisanya cuma nyusahin Ayah terus, kapan sih kamu bisa bersikap lebih dewasa. Kamu bukan anak-anak lagi!"
Aksara menghentikan langkah, hatinya mencelos mendengar penuturan Prima.
"Aksa bersikap seperti ini juga karena Ayah. Ayah selalu sibuk sama kerjaan hingga lupa kalau punya anak yang juga butuh perhatian. Berangkat pagi buta dan pulang larut malam, Ayah hanya bisa menyalahkan tanpa berpikir kalau juga bersalah di sini!"
Prima terdiam sejenak, tak menyangka Aksara akan berbicara seperti itu. Namun, egonya merasa tak terima ketika disalahkan.
"Ayah kerja banting tulang juga buat memenuhi kebutuhanmu, biaya sekolah, biaya hidup kita. Kamu pikir Ayah bersantai di kantor!"
"Oke. Ayah benar dan aku yang
salah. Ayah balik ke kantor aja sekarang, nanti kerjaannya terbengkelai lagi. Aksa juga enggak butuh perhatian dari Ayah." Aksara kembali melangkah menuju kamarnya di lantai dua.
Seandainya kalian yang jadi Ayah Prima ataupun Pak Dandi, bakal kalian apain si Aksara biar kapok?
One Day One Chapter
Day 1
28 September 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro