Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21 · Unwanted Encounter (2)

Penampilan Aji yang rapi dengan jas dan dasi semakin membuat tamu di hadapannya merasa getir. Zal hanya datang mengenakan kemeja dan celana jins, sedikit menyesali pilihannya untuk tampil terlalu kasual pada hari itu.

"Lama nggak, nunggunya?"

Pertanyaan Aji itu dijawab Juno dengan cengiran khasnya, sementara Zal hanya menggeleng kaku. Selama mereka lanjut berbasa-basi, Zal masih mengunci mulut, hemat bicara dan lebih banyak memperhatikan.

Yamamoto Aji, sosok yang selama ini hanya dia baca nama dan deretan prestasinya, sepak terjangnya, dan pesan-pesan profesional yang diteruskan oleh sekretarisnya, kini hadir di hadapan Zal dengan nyata.

Dan kenyataannya, meski sedikit enggan Zal akui, bahwa Aji adalah lelaki yang cukup nyaman untuk dipandang. Menarik. Charming

Lelaki itu kembali bersuara. "Jadi, gimana perjalanan kalian? Saya dengar baru sampai tadi ya, dan langsung ke sini?"

"Nggak Mas, yang dari Jogja itu Zal aja. Saya asli sini, native Jakartan. Hehehe." Juno menyenggol lengan sobatnya, usaha menarik pemuda itu pada realita.

"Oh gitu?" balas Aji, kali ini pandangannya berlabuh pada Syahrizal. "Benar langsung ke sini, Syahrizal? Nggak capek?"

Berkedip tersadar, akhirnya Zal mengangguk. "Eh... iya, benar. Nggak papa, Mas, santai saja. Saya memang ingin langsung ke sini. Sesuai janji." Pemuda itu tersenyum.

"Saya jadi tersanjung." Aji membalas senyuman pemuda itu. "Sebenarnya udah jadi SOP buat saya untuk ketemu langsung sama mitra seperti kalian ini. Biar lebih akrab."

"Ooo... gitu." Zal mengangguk. Benaknya mulai berkelana lagi. Fokusnya tipis sekali siang ini.

"Anyway, kita lanjut ngobrolnya sambil makan aja, gimana? Kalian belum makan siang, kan?" Aji bangkit dari duduknya. "Uwi udah mesenin tempat buat kita. Yuk."

"Wah, boleh Mas." Juno tersenyum lebar.

Zal sendiri bangkit dengan kaku, berusaha menjaga sikap, menjadi kontradiksi kelakuan temannya yang blingsatan di hadapan CEO Funance.

Untungnya, Aji tampak tak keberatan dengan Juno. Enjoy, malah.

Mereka mengobrol dengan lancar selama perjalanan menuju restoran sushi pilihan Aji. Dalam diamnya Zal jadi berpikir ulang, apakah seharusnya dia lebih lentur seperti Juno, memperlakukan Aji layaknya teman lama?

Sepertinya iya.

"Mas Aji ini memang sering ya, ngajak mitra makan-makan begini?" tanya Zal setelah menelan dua sushi pesanannya.

Aji mengangguk, sambil menyumpit sepotong sashimi salmon di piring besar mereka. "Bonding paling enak itu sambil makan-makan, bener nggak?" ucap pria itu.

"Tul!" Juno ikut menyumpit potongan salmon juga.

Mereka lanjut bersantap diiringi obrolan ringan. Di pertengahan makanan penutup (hanami dango dan es krim mochi rasa matcha), tiba-tiba Juno meraba kantongnya. Ternyata ponselnya bergetar.

"Saya angkat telepon dulu ya, Mas," pamit Juno sebelum bangkit dan meninggalkan meja.

Maka matilah Zal kini, ditinggal berdua dengan raja dunia.

"So, Syahrizal..." Aji berucap setelah menelan dango-nya. "Why so quiet? Beda sekali ya, kamu aslinya sama di email dan WhatsApp. Kamu kelihatan proaktif banget di dunia maya."

Zal batal menelan es krim. "Yah..." Dia tidak punya alasan yang solid.

"Typical orang IT banget ya, kamu? Sat-set di depan layar, tapi in real life-nya pendiam."

Ah, pikir Zal. Ternyata emang nggak ada manusia yang sempurna.

Dari percakapan pendek ini Zal menyimpulkan bahwa bos ini kelihatannya di awal aja karismatik, tapi ternyata lumayan judgemental dan gampang menggeneralisir orang. Sip deh, cukup tau.

"Memangnya di kantor Mas, staff IT-nya pada pendiam semua ya?" pancing Zal. Kali ini dia menyendok es krim matcha dengan lebih tenang.

"Typically, yes. Tapi nggak cuma di Funance aja kok. Banyak teman-teman saya yang sharing juga di perusahaannya rata-rata begitu," jawab Aji.

Oooh, mau flexing ceritanya? Circle dia eksmud-eksmud yang pada pegang perusahaan? Oke siap.

"Oooo begitu." Zal kembali menyumpal mulutnya dengan es krim matcha.

Percakapan berlanjut dengan Aji yang dominan menceritakan pengalamannya sekian tahun memimpin Funance, menerangkan pada Zal bahwa memang profesi tertentu biasanya diisi dengan orang-orang berkepribadian tertentu. Topik itu lantas berkembang pada jurusan akademis. Seperti lulusan business school biasanya pandai bicara, lulusan ekonomi cenderung frugal (bahasa halus dari pelit, bahasa elitnya berhemat), dan lulusan seni rata-rata tak taat aturan.

Yang terakhir ini membuat Zal agak sulit menelan es krimnya. Sayangnya Aji tidak melanjutkan pembahasan itu, sebab dia membanting setir dengan sebuah pernyataan.

"Kamu tau, Syahrizal, saya kagum sama kamu."

"Eh...? Kenapa, Mas?" bingung Zal.

"Kamu memilih merintis Artikulasi dari awal. Padahal saya tahu kamu kandidat yang berkualitas."

Zal masih tak paham. "Gimana-gimana?"

Aji terkekeh. "You know, dulu waktu Funance baru buka brach di Indonesia, ada salah satu kenalan ayah saya yang jadi dosen senior di Bandung, dan dia sempat merekomendasikan kamu lho. Kenal Pak Sunaryo?"

Zal merasakan dadanya mencelus. Pak Sunaryo adalah dosen pembimbingnya. "Kenal," ucapnya. 

Aji melanjutkan. "Dia sempat mention kalau kamu itu one brilliant programmer. Katanya skripsi kamu dikembangkan jadi program utama di departemen kampus. Benar itu?"

"Ya...." Zal tak lagi melanjutkan makan es krimnya. Napsu makannya sudah menguap entah ke mana. Pak Sunaryo mengambil alih prototipe program Zal ketik dia udah lulus. Sekarang, seluruh sistem kampus menggunakan program itu. Mana gue nggak kecipratan komisi sama sekali. Sialan, batin Zal.

"Tuh, kan." Aji menghela napas, memandang Zal seakan merelakan hal yang urung dimiliki. "Kalau saja dulu kamu bersedia direkrut, saya dengan senang hati memberikan posisi chief di kantor utama Funance. Sayangnya, Pak Sunaryo bilang kamu udah keburu merintis Artikulasi duluan."

"Ah..." Zal mengangguk. "Terima kasih, Mas, tapi kayaknya memang kita jodohnya jadi partner aja, bukan jadi atasan sama bawahan." 

Aji terbahak. "Yap! Dunia memang lucu, ya?"

Zal memaksakan tawa. Sejenak percakapan mereka terjeda dengan Aji yang menyisip ocha dingin.

Setelah menelan minumnya, Aji kembali bertanya, seakan teringat sesuatu. "Oh iya, kamu dulu kuliah di ITB, kan? Tunangan saya juga alumni ITB, lho." 

Mati. Zal membeku. Mendadak mulutnya kelu.

"Cuma beda jauh jurusannya sama kamu, dia Seni, kamu IT. Pasti nggak pernah ketemu lah ya." Aji melanjutkan.

Beruntung sebelum Zal mati kutu lebih lanjut, Juno sudah kembali ke meja mereka sambil mengantongi ponsel, tanda sudah selesai dengan teleponnya.

Obrolan pun berlanjut. Topik berganti. Zal sedikit bersyukur akan hadirnya Juno yang mampu mencairkan suasana.

Zal membuat catatan mental untuk memberitahu Juno semuanya tentang hubungan kerja ini; tentang Aji, Mora, dan dirinya yang terjepit di tengah-tengah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro