Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Day 1

"Cepat, pukul Vinci lagi...."

Satu pukulan buat giginya patah.

"Mana sisi nakal kamu, hah?"

Satu pukulan sebabkan hidung dan mulut berdarah.

"Hentikan!" Dan satu pukulanku mengenai angin. Badanku langsung mengapung ditarik seseorang, kayaknya guru. Bukan Venchy namaku jika belum puas hajar orang, sekalipun nanti kena skors. Kaki beralaskan sepatu warrior dengan angkuh menendang rahang seorang siswa bertubuh besar hingga tak sadarkan diri.

"Itulah akibatnya nggak dengarin aku, dasar kutu air!" Saat itu pula, mataku menyala penuh amarah.

Ah, aku belum cerita kenapa bisa kena peristiwa menyenangkan tadi.

****

Semuanya berawal dari aku menjadi murid baru di sekolah yang Vinci----dia adik kembarku yang menyebalkan----idamkan sampai jatuh sakit gara-gara belajar terus. Kau tau? Aku berharap banget bisa sekelas sama Vinci. Namun, Tuhan berkata lain. aku ditempatkan di kelas 11 MIPA 6, kelas sejuta julukan. Entah itu yang kudengar merupakan 'kelas buangan' lah, 'kutu airnya 11 MIPA 1' lah, atau paling parahnya----'supermarket langganan guru BK'.

"Sila duduk di bangku yang tersisa, Venchy." yep, itu namaku. Dengan senyum lebar, aku mampir ke kursi idamanku. Bangku paling belakang bin pojokan. Aku nggak tau kenapa, tapi setiap kakiku melangka, ada tawa yang terkssan sinis dari mulut mereka.

Emang kenapa kalau rambutku dikepang dua? mang kenapa kalau aku berkacamata? Dan apa salahnya aku berpakaian rapi? Bagus dong, malah diketawain.

Balik ke cerita.
Semuanya baik-baik saja. Aku belajar dengan tenang. Guru nggak sering pergi keluar. Suasana senyap, nggak ada tukang onar. Ah, kalimat terakhir nyaris masuk ke ingatanku saat....

Bruk!

"Tuh, kerjain tugas kita, ya." Suara cowok----kayaknya gendut, tadi aku dengar nadanya berat----yang bilang.

"Anggap aja salam perkenalan dari kita, dasar culun."

Jadi ini alasan mereka menertawaiku. Dengan enggan aku mendongak, muncul lah seringai-seringai mengerikan hampir mengelilingiku.

"Kerjain sana!" Ada orang di belakang, dengan seenak jidat dorong kepalaku ingga terantuk tumpukan buku. Namun, yang kulakukan hanya diam dan mulai mengamati stiap tugas yang diberikan untukku, berharap mereka bakal keluar kelas.

Apakah harapanku dikaulkan? Oh tidak.... Sampai aku selesai baca----aslinya cuma sibak-sibak halaman----satu buku, mereka ada di sana. Bahkan, tatapan dan seringai bernilai sinis makin kelihatan bangsatnya.

"Nggak bisa kerjain tugas, hm?" Seorang lelaki berbadan besar datang tunukkan muka menyebalkan depan mataku. Pengeeen banget kupukul.

Batinku menjerit 'iya', tetapi jawaban yang keluar justru, "B-bisa kok." dengan ogah-ogahan.

"MAKANYA KERJAIN!" pekiknya langsung dobrak meja. "JANGAN MELAMUN TERUS!"

Sebelum mereka semua pergi, wajahku jadi bahan empuk untuk tinju dan tamparan. Salah satu sudut bibirku berdarah. Haha, sakitnya nggak terlalu. Malahan, dari rasa sakit ini aku kepingin mengingat setiap wajah para kutu air tadi.

Mungkin hari ini, aku akan diamkan mereka. Nggak berlaku uat tumpukan buku ini.

"AKU KUDU GIMANA?" Aku merengek hingga usap-usap mta padahal lagi nggak nangis. "AKU G*BLOK, STRES SAMA KERJAAN BEGINIAN."

****

Berkat aktingku sebagai siswi culun----kata mereka sih----, tugas dan pekerjaan rumah sekelas murid sampai kubawa ke rumah. Otakku yang nggak seerapa ini memang utuh bantuan. Lail dan Vinci lah yang bisa kerjakan semua beban ini dengan cepat. Lail ... dia temanku saat di SMA lama.

"Ih, gue bilang juga apa, Ven?" Baiklah, Lail dengan mulut lemes mulai bercelote di samping kerjakan tugas alias beban sekolah ini. "Nggak usah lo nyamar-nyamar. Gue kasih saran jadi begini, jadi begitu, ujung-ujungnya lo milih nyamar jadi cewek culun."

Aku mulai tarik napas. "Kalau aku jadi cewek populer ala-ala karakter di novel, identitasku jadi terkuak. Makin susah ntar buat lindungi Vinci. Ya kali hampir tiap hari aku berantem-masuk BK, berantem-masuk BK. Lama-lama ketendang sebelum lindungi Vin----"

"Kenapa harus lindungi Vinci?"

Serempak kami menoleh. Aku sendiri menatap marah. "Kenapa harus lindungi kamu? Karena aku in kakak kembarku. Terus kamu mau aku diam dan nyaksikan kamu disiksa sama orang-orang yang kamu kenal, bahkan orang nggak dikenal sekalipun? G*BLOK BANGET JADI ORANG, VINCI!"

Nyaris saja pukulan kena muka Vinci jika Lail nggak peluk aku dari belakang dan menarik kepalan tangan.

"Sabar, Ven! Itu adik kembar lo sendiri!" pekik Lail di tengah gencar mencegahku memukul Vinci. "Kasihan sama dia!"

Namun yang kulihat, itu cowok berkacamata dan rambut klimis malah cuek bebek dan lebih pentingkan tugas-tugas. Nggak ada ekspresi yang mencerminkan bahwa dia patut dikasihani. Bahkan kalau menuruti bisikan negatid dalam pikiranku, Vinci mungkin menganggap aku ini setan yang layak diabaikan setiap kalimatnya.

Pada akhirnya, aku berdecak sambil lepaskan pelukan Lail. "Aku menyesal ajak dia kemari."

"Tapi lo butuh dia buat kerjain tugas, kan?" Lail lewat seringai jahilnya mencoba menebak. Anehnya tebakan dia benar. "Nggak mungkin lo bisa kelarin semua tugas bareng gue. Yang ada lo ketiduran."

Sial banget, kenapa bisa benar sih tebakan Lail hari ini?

"Tuh, tuh. Lo diam, berarti gue benar, kan?" Lama-lama seringaiann itu cewek bikin gedek.

"Iya-iya! Kamu benar, aku salah!" Mood aku hancur seketika. Mau taruh buku yang selanjutnya kukerjakan pun kayak orang lagi main gaplek. "Buruan kerjain! Aku ngantuk!"

"Dih, derita lo, Ven. Kerjain sendiri lah."

"ARGH!"

Dan pada akhirnya, kami baru selesai kerjakan tugas di detik-detik ganti tanggal. Vinci sudah tepar di jam sembilan malam, keukeuh tiba waktunya tidur. Kami dengan terengah-engah berbaring di lantai, sama-sama menatap langit.

"Untung besok gue nggak sekolah," kata Lail sewaktu redakan penat kebanyakan tugas alias bebanku di hari pertama sekolah.

"Kenapa nggak sekolah?" tanyaku melirik polos.

"Urusan keluarga, tapi gue nggak tau urusan apa."

"Syukur deh, besok kamu tinggal tepar di rumah."

Lail tertawa. "Sialan lo, Ven. Sisi rajin gue di pagi hari jadi hancur, kan."

"Dih, rajin di pagi hari. Situ noktunal tau, pake ngaku morning person segala."

"Apanya yang nokturnal?"

"Ya ampun...." Aku mendesah panjang, saat itu pula rasa penat dalam tubuh mulai menghilang. "Masa aku kudu kasih tau kalau kamu ngebut kelarin tugasnya pas tengah malam mulu?"

"Gue banyak sibuk, Ven!" sergahnya langsung bangun.

"Sibuk main hape."

Terbentuklah perang bantal dan buku sebagai manifestasi granat. Kami tak saling cemberut, malah terus ketawa-ketiwi sambil lontarkan kata-kata kotor se-kebun binatang. Satu-dua seranganku mengenai Vinci yang tidur memeluk guling di sofa, tapi beruntung dia tak terusik. Mungkin ... ada satu jam kami berperang hingga refleks tertidur di antara buku-buku.

"Ven, semangat ya dalam hadapi 'kutu air' lo itu." Itu kalimat terakhir Lail yang kudengar sebelum terlelap dibuai mimpi. Lalu kubalas dalam hati: Harusnya kamu doakan aku supaya nggak gampang emosian. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro